01. Amanah leluhur

253 60 136
                                    

❝ Seandainya aku tidak memilih untuk hidup, itu jauh lebih baik dari pada hidup hanya berbalutkan dengan kisah penderitaan yang tak kunjung menemukan sebuah kebahagiaan.❞

-Zalya Queenazwa

-------------


"Elleza ... buka matamu ... Elleza!" suara berat yang terdengar nyaring itu terus menerus menggoda Zalya untuk bangun dari tidurnya.

Dari pandangannya yang setengah terbuka, Zalya melihat seseorang yang tengah berdiri di samping tempat tidurnya.
Bagaimana membulatnya kedua netra milik Zalya terbuka dengan sempurna. Dengan tubuh yang bergetar, lantas ia merangkak- menjauhi sosok yang berdiri di sampingnya.

Sosok pria tua berambut yang sudah penuh dengan uban, memiliki jenggot panjang, pakaiannya hanya menggunakan celana setinggi lutut dengan kain batik yang dililitkan di pinggangnya. Di kedua bahunya terdapat benda seperti gelang yang terbuat dari besi dengan keris yang diselipkan di pinggang kanannya.

Pria tua dengan bola mata abu-abu itu terus menatap ke arah gadis yang tengah menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rasa takut Zalya semakin menjadi-jadi ketika si pria tua tersenyum kepadanya seraya mengusap pucuk kepala Zalya dengan tangan dinginnya.

"Mama ...," teriak nyaring Zalya memanggil orangtuanya. Namun, nyatanya sia-sia, ia baru menyadari bahwa kedua orang tuanya tengah pergi ke luar kota, untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ia hanya seorang diri dalam rumah yang ramai akan makhluk yang tak kasat mata.

"Jangan takut, Nak! Abah baik, kok," ucapnya samar seraya mengangkat pelan dagu Zalya.

Zalya menelan salivanya susah payah dengan detak jantung yang rasanya ikut terhenti. Gadis itu berusaha menetralkan dirinya supaya tidak menangis sedikit pun karena rasa takutnya. Dengan perlahan, kedua netranya menatap balik ke wajah pria tua di hadapannya.

Zalya menatapnya cukup lama, sehingga tidak ada lagi rasa takut yang terasa. Wajah pria tua itu sama sekali tidak menyeramkan seperti makhluk-makhluk yang biasa Zalya lihat secara tidak sengaja.
Hanya kulit yang keriput termakan usia, dengan rambut yang sudah memutih.

"Jangan takut, ya, Nak!" bisiknya menenangkan gadis di hadapannya.

Zalya hanya terdiam tak berani berucap sepatah kata pun. Yang dapat dirasakan saat itu hanyalah keringat dingin.

"Kenalin, ini Abah, Nak, Abah Prabusarya ... leluhurmu!" ucapnya, yang kemudian duduk menyila di hadapan Zalya.

"Leluhur?" beo Zalya seraya memiringkan kepalanya- heran.

"Iya, Nak, Abah dahulu pendiri kerajaan Cahya Tunggal di salah satu daerah terpencil namun banyak penghuninya," jelasnya yang membuat Zalya semakin tertarik untuk mendengarkan kisahnya.

Begitulah Zalya, seorang gadis yang sangat tertarik terhadap sejarah kuno ataupun kehidupan di masa lampau. Karena menurutnya, semuanya mengandung banyak misteri untuk dijelajahi sekaligus memperdalam pengetahuannya.

"Kamu ingin tahu kisah selanjutnya?" tanya Abah Prabusarya, yang dengan cepat diiringi anggukan Zalya dengan penuh semangat.

Terbitlah sebuah senyuman dari pipi keriput Prabusarya dengan tawa khas pria tua.

"Kerajaan Cahya tunggal yang Abah pimpin sangatlah makmur, ratusan tahun berdiri dengan pemimpin yang turun temurun ... setelah Abah meninggal, dan kerajaan sudah sampai dalam kepemimpinan cucu Abah yang ke-176, seiring berjalannya waktu, kerajaan Cahya tunggal mulai hancur ka--"

"Kenapa hancur, Bah?" tanya Zalya memotong pembicaraan Prabusarya.

Prabusarya kemudian melanjutkan kembali pembicaraannya yang belum usai.
"Karena kerajaan kami diserang!"

Zalya mengernyitkan dahinya.
"Diserang? Sama siapa? Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris, atau Jepang?"

"Jauh sebelum para penjajah menguasai negri ini, Nak! Tidak ada banyak waktu bagi Abah untuk menjelaskan semuanya secara detail!"

"Yang Abah lihat, kamu adalah cucu buyut Abah yang kesekian rarus dengan ciri khas yang Abah sukai! Kamu mandiri, memiliki jiwa pemimpin yang berwibawa, kamu pemberani dan kamu kuat."

"Abah percaya kamu bisa menjaga amanah ini." Lanjutnya.

Zalya semakin terheran-heran, berusaha mencerna ucapan Abah Prabusarya.
"Amanah?"

"Naga putih!" tegasnya dengan singkat yang menimbulkan tanda tanya di relung kepala Zalya.

"Sebenarnya sudah sejak kecil dia bersamamu, mengikuti kemana pun kamu pergi!"

"Siapa?" tanya Zalya dengan seribu tanda tanya yang menginginkan sebuah jawaban.

"Boleh Abah lihat tanda lahir di paha kirimu?"

Pertanyaan itu membuat Zalya teringat akan sebuah tanda lahir berwarna putih dengan corak seperti naga bersayap.
Segera ia menyingkapkan piyamanya dan menunjukan sebuah tanda lahir berwarna putih di paha kirinya.

"Ini yang Abah maksud ... dia Naga putih, yang menjadi Khodam pendamping sekaligus sahabat Abah sewaktu memimpin kerajaan Cahya tunggal ratusan tahun silam!"

"Ketika dia keluar, tanda lahir putih di paha kiri kamu tidak terlihat lagi ... dan ketika dia kembali masuk pada tubuh kamu, tanda lahirnya akan kembali terlihat di paha kiri kamu!"

"Dan kamu adalah cucu terakhir yang mewarisi kesaktian naga putih dari kerajaan Cahya Tunggal ... kamu juga perempuan pertama dalam keturunan Abah yang mendapatkan amanah besar ini!"

"Amanah besar?" tanya Zalya.

"Disebut amanah besar karena dampak dari khodam pendamping ini sangatlah dahsyat, Nak! Berdampak pada kehidupan kamu juga! Dan dia berwatak jahat, serta mematikan ... bila saja kamu tidak bisa mengendalikannya."

Rasa penasarannya kini bertambah setelah mendengar penjelasan Prabusarya mengenai dirinya dan kehidupannya yang dibilang sangat berat itu.

"Dampak dalam kehidupan? Contohnya seperti apa, Bah?"

"Kamu akan selalu gagal dalam percintaan. Sekalinya kamu merasakan bahagia, penderitaan akan hadir setelahnya!"

Tanpa sadar, kedua air mata Zalya keluar membentuk sungai kecil di pipinya.
"J-jadi Zalya gak akan pernah merasa bahagia? Zalya gak akan pernah merasakan dicintai atau kasih sayang seorang kekasih?"

Haru penuh sesak ketika pertanyaan Zalya terlontar kepada Prabusarya.

"Kenapa harus Zalya yang menanggung semua ini? Harusnya cucu Abah dengan jenis kelamin laki-laki agar semuanya berjalan ringan, Zalya juga berhak bahagia!" tangisnya semakin terisak penuh tekanan dalam kehidupan yang amat mengerikan.

"Abah percaya sama kamu! Kamu perempuan hebat ... cucu Abah yang sangat kuat ... Abah percaya sama kamu!" ucapnya meyakinkan si gadis yang tengah terisak dalam tangisannya.

"Sebenarnya ada dua macam makhluk yang selalu mengintai semua aktifitas kamu!"

Prabusarya membuang napasnya perlahan dan kembali melanjutkan penjelasannya.

"Abah tidak bisa menjelaskan semuanya, waktu Abah sudah habis untuk berkomunikasi denganmu langsung!"

"Ingat pesan dari Abah ... kamu perempuan kuat, kamu hebat! Rebut kembali kerajaan kita yang diambil alih mereka ... jaga diri baik-baik, Nak, Abah sayang sama Elleza!"

Sosok pria tua itu perlahan memudar dari pandangan sayu Zalya. suara Abah prabusarya perlahan terdengar sayup dan kemudian tak terdengar sedikitpun.

Hanya air mata yang tersisa, mengingat penjelasan Prabusarya tadi masih terngiang-ngiang dalam relung kepala zalya. Semuanya seperti mimpi. Namun, ini terjadi secara nyata yang tidak bisa Zalya ceritakan kepada siapapun.

"Kenapa harus aku ... kenapa harus aku!" lirihnya begitu pedih dalam setiap deru nafasnya.

Zalya mengepalkan kedua tangannya kemudian memukul-mukul tembok dengan keras sehingga menimbulkan luka lecet dan memar pada punggung jari jemarinya.

Semesta seolah tidak berpihak pada dirinya, dengan alur hidup yang seakan-akan menjadikan manusia paling menderita di seluruh alam semesta.
Apa yang seharusnya ia rasakan, dan apa yang sewajarnya ia dapatkan, mungkin hanyalah angan-angan belaka.

----

ELLEZALYA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang