Padepokan Tengkorak Putih.

11 4 0
                                    

PANGERAN DALAM MIMPI.

Oleh: Bunga Senja.

Chapter 21: Padepokan Tengkorak Putih.

“Kakang Jalu Kuning, dimana Guru resi, ini gawat”.

“Hei, Adik Braja, kamu ini datang-datang bukanya ucap salam malah langsung teriak-teriak kaya yang kesurupanlelembut aja”.

“Aduh kang, jangan bercanda deh, aku ini kan jin , bagaimana bisa jin seperti aku kesurupan”?

“Oh iya ya, lupa”.

Ujar Jalu Kuning sesosok manusia halimun yang juga menjadi murid Resi Wisang Kala, hanya saja ia tidak hanya menjadi sosok murid, namun ia juga menjadi wakil gurunya untuk mengajar adik-adik seperguruanya.

“Guru Resi baru saja bersemedi di gua belakang padepokan ini, tunggulah sejenak sampai nanti malam purnama”.

“Apa kang Jalu, aku harus menunggu sampai malam purnama, tidak, itu tidak bisa, manusia yang kusertai sedang dapat masalah, jadi aku butuh pertolongan Guru Resi sekarang juga”.

Ujar Ki Braja menggebu-gebu.

“Tapi dik, Guru resi tidak bisa di ganggu begitu saja, kamu sendiri tahu kan, Guru tidak suka dibangunkan paksa dari semedinya”.

“Aku tahu dan akupun tidak lupa itu kakang Jalu Kuning, tapi ini gawat, ini mengenai keselarasan manusia dan alam Gaib di Gunung Merapi, sudahlah, kalau kakang tidak mau bantu, biar aku saja yang bangunkan Guru Resi, aku yakin, Guru Resi pasti mau bantu aku”.

“Dik, Adik Braja, tunggu tidak bisa begini dong, ah gimana ini? Semoga saja Guru Resi tidak marah”.

Jalu Kuning yang tak bisa mencegah adik seperguruanya pun hanya bisa geleng-geleng kepala dan berharap yang terbaik untuk semuanya, karena ia ingin tak akan ada sengketa lagi seperti beberapa malam lalu ketika Ki Braja menghajar Mbah Murti yang juga saudara seperguruanya.

Uhuk uhuk...

Suara batuk sang Guru Resi mengejutkan ki Braja yang sudah tiba didepan gua dimana tempat gurunya bersemedi.

“Kau kah itu yang datang Braja”?

Suara serak tua namun berwibawa itu menyapa dirinya yang tertegun didepan pintu gua.

“Iya, guru Resi, mohon maaf kalau kedatangan murid bukan saat yang tepat”.

“Sejak kapan aku mempermasalahkan kehadiranmu Braja? Masuklah duduk disini dan mari bercakap”.

Mendapat ijin dari sang Guru Resi pun bergegas Ki Braja masuk kedalam gua dan merubah wujudnya menjadi sosok manusia dan lalu duduk dihadapan gurunya.

“Apakah kedatanganmu ada hubunganya dengan cucuku Ayunda Kirana”?

“Benar guru Resi, dia sedang menghadapi bahaya yang dia sendiri tidak tahu sumbernya, tapi murid tahu, sumbernya dari kerajaan Bayu Geni yang ada di pasar bubrah”.

“Maksudmu, kerajaan milik nyai kunti Cempaka”?

Tanya Sang Guru Resi Wisang Kala nampak terkejut, sehingga ia bangkit dari duduknya, dan menggenggam gagang keris yang terselip di pinggang kananya.

“Benar Guru Resi”.

Jawab Ki Braja singkat.

“Apa yang mereka lakukan terhadap cucuku”?

“Ah, bukan guru bukan Ayunda Kirana yang terancam, tapi, Ayunda Kirana sedang menolong seorang ibu-ibu yang anaknya hilang di pendakian merapi, dan ini sudah malam ke tujuh”.

Klotaak...

“Maaf guru Resi, murid salah apa? Mengapa kepala murid ditempeleng ”.

Tanya Ki Braja, ia nampak sekali terheran-heran dengan gurunya tersebut.

“Memang, kamu tidak salah, tapi membuatku panik, aku kira cucuku langsung yang berurusan dengan nyai Cempaka”.

“Jadi, bagaimana duduk perkaranya”?

Setelah Guru Resi Wisang Kala bertanya demikian lalu ki Braja pun menceritakan semuanya, dimana ia melihat Ayunda Kirana yang begitu semangat membantu seorang ibu-ibu yang bernama Ningsih, padahal saudara bukan, teman pun bukan.

Sang Guru pun mendengarkan cerita Ki Braja sambil mengangguk-angguk, ia tersenyum-senyum senang mengetahui perbuatan terpuji sang cucu, yang sudah tidak pernah ia temui selama belasan tahun, semenjak Ayunda Kirana umur 5 tahun, bukanya sang Guru Resi tak rindu, namun tak pernah tega ia melihat penderitaan sang cucu, ingin mengajak, akan tetapi ia tak mau cucunya itu hidup terasing, biarlah, ia hanya berharap suatu saat sang cucu itu akan bertemu orang-orang baik yang bersedia melindunginya dari keluarga yang tidak adil itu.

“Jadi begitu ceritanya guru”.

“Hmmm, baiklah Braja, sekarang tunggulah aku didepan padepokan ini, aku akan menyiapkan murid-murid pilihan terlebih dahulu untuk ikut bersama kita, dan kau pun harus ikut, nanti juga aku ingin bertemu dengan cucuku Ayunda Kirana sebelum kita naik keatas”.

“Baik guru Resi, terimakasih sebelumnya atas bantuan ini”.
“ sementara itu di pos pendakian kepanikan , dan kekalutan masih menghiasi bu ningsih , serta squad tiga serangkai.”

“Tan, selanjutnya apa yang harus kitalakuin , kasihan ibu itu”.

“Nda, lo bisa enggak sabarbentar, biar gue yangcoba terawang , Karin, lo siap sedia ya, kalau raga gue kelihatan enggak baik-baikaja , lo cepet bangunin gue”.

“Tan, kamu enggak lagi coba ngelakuin hal yang membahayakan diri kamu sendiri kan”?

Tanya Karin nampak cemas.

“Udah, percaya aja sama gue”.

Setelah berkata demikian, Intan pun segera duduk bersila lalu memejamkan kedua belah matanya.

Namun, aneh, dalam pengelihatanya, yang ada semuanya kegelapan bahkan nampak tak ada petunjuk, padahal berbekal foto yang telah ditunjukan Ibu Ningsih, seharusnya ia bisa melacak keadaan Bara dan kedua temanya.

“ hai, PDM lovers, makin seru aja nih, di chapter berikutnya bakal ada pertempuran sengit, seperti apa kelanjutannya? Terus ikutin chapter-chapter berikutnya ya, dan jangan lupa kasih vote, like, komen, and share ya”.

Continue the next chapter...

pangeran dalam mimpi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang