Gue masih hidup kan?

18 4 0
                                    

PANGERAN DALAM MIMPI.

Oleh: Bunga Senja.

Chapter 17: gue masih hidup kan?

“Selama 5 tahun, kau tidak boleh turun gunung kecuali mencari keperluan untuk menyambung hidupmu! Paham Murti”?

“Ba, ba, baik gusti, hamba paham, tapi bagai mana jika guru resi mencari hamba”?

“Kau mau menuruti perintahku atau sekarang kucabut nyawamu”?

Ucap Ki Braja simacan putih sambil mencengkram kembali leher mbah Murti.

“Aaah, sakit gusti, am, aam, ampun, baik gusti hamba akan menuruti, tapi lepaskan hamba”.

“Untung aja ini macan putih sialan ini peliharaan guru kalautidak , pasti sudah aku habisi ”.

“Oh, jadi kau menuruti aku hanya karena terpaksa dan bukan karena kau jera”!

“Ki Braja, rasanya aku tak sabar, musnahkan saja manusia keparat ini, ingat Ayunda Kirana butuh pertolongan kita, ki, gara-gara peletnya kondisinya memburuk”.

Ucap Karin dengan nada kesal, andai tak dilarang oleh Intan, pasti Karin sudah menghajar Mbah Murti dengan ke lima inti elemenya.

“Stttt, Rin, kalaumau balik , balik aja dulu, dan tolong Yunda, pake gelang biru gue ini buat teleporter kesana, soal urusan ki Braja sama mbah Murti kita enggak bisa ikut campur itu urusan rumah tangga seperguruan tengkorak putih, milik Resi Wisangkala, tinggalin gue disini, biar nanti gue balik sama ki Braja”.

“Huahahaha, sepertinya benar usul kalian berdua, tapi, tidak untuk dimusnahkan, sebab begini Nyimas Intan dan Karin, guru melarang saya untuk membunuh, jadi biar saya kurung dia disini dengan inti tenaga bumi dan batu, selama 3 hari berturut-turut, masalah nanti manusia busuk ini dapat bertahan atau tidak, itu tergantung kejernihan batinya”.

Setelah berkata demikian pun Ki Braja simacan putih segera mengalirkan tenaganya di sekitar Mbah Murti.

Kraaaaaaasssssy...

Arrrrggggggh...

“Ampun gustiiii, ampunkan saya, i, iya, saya tidak akan melawan lagi, tapi tolong lepaskan”!

Segala tindakan ada konsekwensinya, segala bentuk kejahatan ada balasnya. Teriakan ampunan dari sang dukun mbah Murti tak mereka bertiga hiraukan lagi, mereka berpikir lebih baik begitu, supaya di kemudian hari, kejahatan itu tak akan terulang kembali, ya, sang gurunya resi WisangKala memang pernah mengajarkan ilmu pelet, namun bukan, bukan untuk kejahatan apa lagi memaksa seseorang.

“Ilmu yang kalian pelajari, tergantung dari tangan kalian, tindak tanduk, serta tingkah laku kalian, jika kalian pandai memanfaatkan ilmu dengan bijak, maka ilmu jahat sekalipun bisa kalian gunakan untuk kebajikan dan menolong sesama, akan tetapi jika hati sudah dikuasai iri dengki, maka selembar kertas putih bersih pun bisa kalian gunakan untuk membunuh”.

Itulah petuah dari sang guru yang tak pernah ia lupa, ya, ki Braja memang sesosok makhluk astral berwujud macan putih, namun karena keberhasilan didikan dari kakek buyut Ayunda Kirana serta sang guru Resi Wisangkala, ia pun menjelma menjadi sosok khodam yang baik, lalu ia pun memilih dimana ia akan menjaga, dan Ayunda Kirana si gadis malang nan baik hati lah yang dipilih olehnya, tak berarti juga ia mengajarkan Ayunda Kirana untuk musrik dan lalai kepada tuhanya, maka dari itu ia tak pernah memaksa Ayunda Kirana untuk mempercayai keberadaan dirinya pun selalu minta tolong padanya ketika Ayunda Kirana terancam bahaya, ia hanya sesosok hamba yang juga sama layaknya hamba-hamba lainya, ia sadar hanya sebagai perantara untuk menjaga sang junjungan Ayunda Kirana dari segala gangguan yang pelik nan mendesak.

Sementara itu disisi lain, di sebuah rumah sesosok gadis terlihat sangat tidak berdaya, ya, gadis itu ayunda kirana.

“Ya Allah, sakit bangetbadan gue rasanya remuk, tenaga gue juga rasanya terkuras sampe abis, sebenernya pelet macam apa sih ini”?

“Hmmm, tega banget Kak Farhan ngelakuin hal sejauh ini sama gue, gue nyesel selalu ngelindungin dia dari anak-anak kelas 9 C, hmmm, gue bukan ngarepin balas budi juga, sih, tapi siapa nggak kesel sih kalau ketulusanya dipermainkan”?

Monolog Ayunda Kirana yang baru saja tersadar dari pingsanya, ia pun menengok kekanan lalu kekiri.

“Karin, Intan, lah kok pada diem bae sih? Masih pada hidup kan? Nggak di gondol demit merapi kan”?

Ucapnya sambil mengguncang-guncang badan kedua sahabatnya tersebut.

“Yunda”...

1 kata dari Intan dan Karin sontak mengejutkan Ayunda Kirana hingga ia terlonjak.

“Buseet, sadar-sadar suara kalian setatis banget, macam jin dari maroko”.

“Eh, tapi, gue masih hidup kan? Kita nggak lagi pindah alam kan”?

Klotaaak...

Intan yang kesal pun menjitak kepala Ayunda Kirana, pasalnya dari tadi mereka berjuang mati-matian, namun setelah semuanya usai bukanya ada ucapan terimakasih malah dikatakan mereka pindah alam.

“Dih, apaan sih lo, tan? Gue kan nanya, asal main jitak aja lo, kaya yang punya tenaga gede aja bakal bikin kepala gue pecah”.

“Udah-udah, napa sih kalian berdua malah pada ribut, iya Nda, kamu masih hidup kok, yaudah ya, kalau begitu aku sama Intan mau pulang dulu, ini udah jam 04.10, takutnya nanti semuanya keburu bangun, yang bener aja kan, nanti kita dikira maling, karena lewat pintu belakang”.

“Buset, jadi tadi gue pingsan berjam-jam, gue rasa baru sebentar”.

“Iya Nda, lo pingsan dari jam setengah dua dini hari, pas kita tinggal ngehajar si dukun sialan itu”.

“terus siapa dalang dibalik ini tan”?

“Besok ya, gue sama Karin ceritain, gue tunggu besok malam di tempat biasa, sekarang lo istirahat dulu walau Cuma 30 menitan, abis itu lo jangan lupa subuh”.

“iya sob, hati-hati ya kalian berdua, inget, jangan goes sepedah sambil tidur, takutnya nyungsep ke selokan, pagi-pagi bukanya mandi wangi tapi malah bau comberan”.

“Kampret lo Nda, untung aja sahabat, kalau nggak, udah gue goreng buat sarapan, yaudah, gue sama Karin cabut dulu, kalau gini aja terus nggak bakalan selesai-selesai”.

Setelah berkata demikian Intan dan Karin pun melompat keluar dari pintu jendela dengan sangat hati-hati, lalu menutupkan kembali pintu jendela kemudian mereka bergegas jalan menuju regol belakang, dimana sepeda dan motor mereka di tinggalkan disitu. Dengan sangat perlahan dan mengendap-endap, mereka berdua mengunci kembali pintu regol dan menuntun kendaraan mereka masing-masing, setelah lumayan jauh dari rumah Ayunda Kirana, mereka baru menyalakanya, dan Karin pun segera mengayuk sepedanya.

Sementara itu di sisi lain gunung merapi.

“Ndra, ini udah pukul 21.00, mendingan kita nginep di pasar bubrah aja ya, besok baru kita lanjut jalan ke puncak”.

Ucap Sena Saputra Sambara memberikan usulanya.

“iya deh bar, gue pikir juga gitu, soalnya si penakut satu ini nafasnya udah kaya udah ikan yang kekeringan, jangan sampe ada insiden pingsan dua kali gegara kehabisan ogsigen”.

“Setan alas lo ya Ndra, gue mulu yang selalu dijadiin bahan”.

Sahut DeFano kesal.

“Ya, gimana lagi ya Fan, abisnya asyik ngerjain lo itu, rasanya kayakhiburan tersendiri buat gue ”.

“Stop, Ndra, Fan, kalian ini kaya anak kecil aja yang lagi rebutan permen”.

Tiba-tiba ditengah-tengah percakapan mereka terdengar sayup-sayup bisikan setatis dan mengerikan.

“Le, tolong carikan jariku di kawah merapi, tanganku sakit tanpa jari le”.

Mendengar hal itu tubuh Defano pun kembali gemetar ketakutan, bulu kuduk nya seketika ikut berdiri.

Ndra, Bar, su, su, suara apaantuh ”?

Continue the next chapter...

pangeran dalam mimpi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang