XXXI.

19 1 0
                                    

Welcome to Chasing Shadows
Jangan lupa tinggalkan jejak, sekalian tandain kalau ada yang typo.
Mohon kerjasamanya.

***

HAPPY READING

***

Beberapa hari telah berlalu, namun suasana kamar masih sama seperti pada hari itu. Hari dimana hancurnya seseorang.

Cahaya redup dari jendela yang tertutup rapat masih menciptakan atmosfer yang suram. Tangis yang terputus-putus masih memecah keheningan ruangan, mencerminkan betapa dalamnya rasa sakit yang dirasakan di dalam hatinya selama beberapa hari terakhir.

Suasana yang hampa dan penuh dengan kesedihan masih terasa begitu kuat, menunjukkan bahwa luka yang ada di hatinya belum sembuh dan masih membekas dengan kuat.

Tok Tok Tok

Suara ketukan pintu dari balik kamarnya tak pernah dia hiraukan. Bukan karena dia tuli, melainkan karena dia terlalu tenggelam dalam kesedihannya hingga tidak mampu mendengar apapun selain suara-suara di benaknya.

Jangan, nanti perut lo sakit.

Ck, bisa ga, sih, kalau makan ga usah pake diingetin terus?

Kalau maag lo kambuh gimana? Gue yang bakal susah.

Nanti kalau gue ga ada, siapa yang ngingetin lo?

Lo kenapa ga pernah dengerin gue?

Ngeyel banget di bilangin.

Lo harus peduli sama tubuh lo, Leon.

Semakin ia mendengarkan suara-suara itu, semakin hancur pula hatinya. Tangisnya yang awalnya hanya isakan kecil, kini berubah menjadi tangisan yang tak terbendung. Air matanya mengalir dengan deras, membasahi seluruh wajahnya.

***

Di lantai bawah rumahnya, seorang pemuda sebaya dengan Leon sedang berkunjung. Ia datang untuk melihat kondisi Leon, satu-satunya sahabat dari mendiang sepupunya.

Pada hari pemakaman, pemuda itu melihat seberapa hancurnya Leon, bahkan terlihat lebih hancur daripada dirinya yang hampir setiap hari selalu bersamanya.

"Tolong, b-bantu Leon," suara gemetar keluar dari mulut Lea, ibu Leon.

"Le-Leon ga mau makan. Dia cuman m-minum aja," tambah Lea sambil menangis.

Ia tidak sanggup melihat keadaan anaknya yang begitu kacau sejak kepergian seseorang yang telah pergi selamanya.

"Iya, Tante. Alan usahain," balas Alanda sambil bangkit, melangkah menuju kamar Leon berada.

Sejujurnya, Alanda tidak ingin melakukan ini. Bahkan di dalam hatinya, ada sedikit rasa benci terhadap Leon. Namun, mengingat seberapa pedulinya sepupunya pada Leon, membuatnya harus melangkah ke sini.

Tidak hanya karena itu. Tapi juga karena ia harus menyampaikan pesan terakhir dari sepupunya untuk Leon.

Setelah mempersiapkan diri untuk bertemu dan berbicara dengan Leon, ia terkejut melihat keadaan Leon yang jauh dari baik-baik saja.

Alanda tidak pernah membayangkan ini, karena selama hidup sepupunya, Leon selalu menjauh dan menghindar. Namun, lihatlah sekarang.

Kamarnya terlihat rapi, namun gelap dan suram. Ditambah, di atas kasur, seseorang meringkuk di bawah selimut.

Alanda mendekati jendela, menarik tirai kamar Leon. Cahaya terang langsung memasuki kamar, membuat Leon semakin membenamkan diri dalam selimutnya. Alanda menatap Leon tanpa ekspresi, duduk di tepi ranjang, memperhatikan Leon yang masih tersembunyi di dalam selimut dengan tatapan kosong.

Dengan ragu, ia menarik selimut Leon sedikit untuk melihat wajah Leon, namun Leon menahannya, membuat Alanda harus menarik selimut dengan sedikit lebih keras.

Akhirnya, setelah usaha keras, Leon menampakkan wajahnya. Namun, ia segera menutupinya kembali. Alanda mencoba lagi, namun Leon terus menutupi wajahnya. Proses ini berulang sampai Alanda menunjukkan ekspresi kesal.

Ia kemudian diam, membiarkan Leon. Ingin berbicara, namun bibirnya kelu, sulit mengeluarkan suara, terutama dengan kondisi Leon yang seperti ini.

Beberapa menit Alanda habiskan dengan hanya duduk diam di tepi ranjang, sementara Leon tetap membelakangi Alanda tanpa bergerak sedikitpun.

Setelah memikirkan lebih dalam, Alanda masih tidak bisa memahami. Arveno begitu menyayangi Leon, sehingga ia benar-benar memperlakukan Leon seperti adiknya sendiri.

Alanda sangat sadar akan hal itu. Setiap kali mereka berdebat tentang Leon, Arveno selalu menegaskan bahwa Leon adalah adiknya, dan sikapnya wajar.

Namun, melihat bagaimana Leon memperlakukan Arveno, membuat Alanda merasa marah. Leon tidak pernah memedulikan Arveno. Bahkan, Leon sepertinya tidak mengakui keberadaan Arveno sama sekali. Leon tidak menghargai Arveno.

Meskipun Arveno telah menjelaskan alasan di balik perilaku Leon, Alanda tetap merasa kesal terhadap Leon. Walaupun dari cerita Arveno, jelas ia menyimpulkan bahwa Arveno tidak bersalah. Begitupun dengan Leon, Leon juga tidak bersalah. Kesalahpahaman yang membuat hubungan mereka seperti ini.

Dan juga, sifat kekanak-kanakan Leon.

"Pasti perut lo sakit banget," ucap Alanda tiba-tiba, memecah keheningan. Ia teringat ucapan Arveno tentang riwayat maag Leon.

"Kalau Veno tau, dia bakal marah banget pasti,"

"Dia ga marah sama lo, tapi dia marah sama dirinya sendiri,"

"Bisa-bisanya dia lupa buat mastiin lo udah makan atau belum."

Leon mendengarkan, memperhatikan setiap kata yang diucapkan Alanda.

Alanda terdiam setelahnya, ia menoleh pada Leon yang masih tetap dalam posisinya. Ia heran, apakah Leon nyaman bertahan dalam posisi itu begitu lama?

"Leon, lo ga bakal selamanya kayak gini, kan?" tanya Alanda, tanpa tahu apakah Leon mendengarkan atau sedang tertidur.

"Lo mau tau sesuatu?" tanya Alanda lagi, meskipun pertanyaannya sebelumnya tidak dijawab oleh Leon.

Alanda mendekatkan wajahnya pada Leon, membisikkan sesuatu tepat di telinganya yang tertutup selimut.

"Arveno di sini," bisiknya.

Hal itu membuat Leon menepis wajah Alanda dengan sikunya tanpa sadar. Tidak bermaksud seperti itu, Leon tidak menyadari keberadaan Alanda yang masih di dekat telinganya, sehingga siku Leon tanpa sengaja mengenai pipi Alanda.

Alanda mendesis kesakitan, memegang pipinya dan menatap Leon dengan tatapan tajam.

"Keluar," perintah Leon, namun Alanda tetap tidak bergeming, masih menatapnya tajam.

Hey, dude! Pipi Alanda terasa sangat sakit sekarang, akibat sentuhan tidak disengaja dari Leon. Dan pelaku, tanpa meminta maaf, malah menyuruhnya pergi.

"Keluar, gue bilang!" Leon menegaskan dengan marah. Ia memandang tajam pada Alanda yang tetap diam. Leon akhirnya turun tangan, mendorong Alanda. Namun, karena berhari-hari tidak makan, tenaganya telah berkurang, sehingga ia tidak mampu mendorong Alanda yang tetap bertahan setelah Leon mendorongnya dengan segenap tenaga.

Hal kecil yang tidak dapat dilakukannya itu membuat air matanya kembali menetes. Leon kembali ke posisinya semula, meringkuk di bawah selimut.

Alanda merasa sedikit iba melihatnya, Leon tampak sangat rapuh saat ini. Ia bingung harus bertindak bagaimana. Awalnya, ia hanya ingin menyampaikan sesuatu. Ingin menyampaikan pesan dari Arveno, namun sepertinya ia salah dalam memulai kalimatnya.

***


SEE YOU NEXT PART, JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT

CHASING SHADOWS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang