"Astaga abang, kamu kenapa merah merah gini sih mukanya! Pasti habis berantem lagi. Kalau papa tau bisa di ulek kamu pakek cobek!"
"Awsh, sakit ma. Pelan pelan dong ma. Udah tau muka abang sakit gini harusnya mama elus bukannya malah mama kosek brutal gini. Aduh!" Pekik Lian kembali karena mamanya menekan kasar luka di wajahnya.
"Makanya kalo dibilangin itu nurut! Setiap hari kalo nggak tawuran, balapan, bolos sekolah. Nggak kapok kapok heran mama tu sama kamu!"
"Namanya anak sekolah ma." Mendengar jawaban anaknya Mirna semakin tidak bisa menahan amarahnya, dia toyor kepala Lian.
"Astaga ma, bisa lupa ingatan abang kalo ditoyor mulu."
"Biarin dah, biar kamu sadar. Itu lihat kakak kamu bang. Kakak kamu cuma sekolah, les, belajar, nggak pernah keluyuran. Ini kamu malah urakan. Nggak malu apa sama kakak dan adikmu." Lian memiliki seorang kakak laki laki bernama Paul dan adik perempuan yang bernama Nadira. Paul saat ini SMA kelas 12, sedangkan Lian kelas 11. Mereka terpaut usia 1 tahun. Sedangkan adik mereka bernama Nadira yang masih duduk di bangku SMP kelas 9.
Paul dan Nadira anak yang gampang diatur menurut Mirna, sedangkan Lian begitu bandel dikarenakan terbawa circle pertemanan. Namun meski seperti itu, Lian tidak pernah mempermainkan perempuan. Dia merasa perempuan hanya mengganggu kesehariannya saja. Sehingga Lian memilih untuk menjomblo.
.....
"Lian! Sekali lagi kamu berulah, sampai papa dapat surat panggilan lagi, kamu papa pindahkan ke pesantren!" Ancam Aris pada anak tengahnya itu. Dia begitu jengkel dengan ulah Lian. Bagaimana tidak, dia merasa hampir setiap bulan pasti ada saja surat panggilan dari sekolah untuknya, dikarenakan kenakalan Lian.
Lian hanya diam tidak menanggapi omelan Aris. Karena Lian takut jika papanya serius dengan perkataannya. Selama ini memang Lian nakal hanya di luar rumah, saat di rumah dia menjadi anak yang penurut dan menyayangi keluarganya.
"Kenapa diam saja kamu! Jawab! Di luar kamu bisa betingkah, kenapa kalo papa ngasih tau kamu diam aja. Bicara kamu." Mirna mengelus pundak suaminya agar tidak berlarut larut memarahi Lian.
"Maaf pa, Lian salah." Lian menunduk sembari jarinya memainkan ujung bawah kemejanya.
"Sudah pa, kasian abang. Tadi kan papa sudah kasih ancaman ke abang." Mirna menengahi agar suaminya menyudahi sesi menghakimi Lian kali ini.
"Abang dengerin papa kan tadi? Mama berharap abang serius menjaga kepercayaan mama papa ya. Mama nggak nuntut apapun, asal abang mau sekolah dan nggak bikin onar lagi. Ya sudah abang istirahat sudah malam ini." Mirna meminta Lian untuk kembali ke kamarnya. Biarlah dia yang akan meredam emosi suami setelah ini.
"Sekali lagi maafin Lian ma, pa." Lian menatap bergantian wajah kedua orang tuanya. Mirna mengangguk kecil sedangkan suaminya tidak menatap anaknya karena masih emosi.
Setelah Lian kembali ke kamar. Barulah Mirna membuka obrolan dengan Aris. "Jangan terlalu keras pa sama abang. Nanti semakin papa kerasin, semakin Lian nggak nyaman. Takutnya bukannya semakin paham, justru semakin Lian bertindak nekad. Yang penting kan anak kita nggak narkoba atau main cewek pa." Mirna sedikit membela anaknya itu.
"Begini ini, Lian merasa mama selalu belain dia. Makanya dia nggak pernah kapok. Apa mama lupa gimana mama nangis nangis saat Lian dibawa polisi sama teman temannya pas tawuran kapan itu? Papa nggak tega melihat mama kayak gitu. Papa nggak pengen ya Lian kenapa napa. Makanya papa ngrasa harus bertindak tegas terhadap dia." Aris sedikit mengingatkan hal yang menjadi pelajaran baginya. Dimana dia sampai menjadi penjamin agar anaknya bisa dibebaskan. Aris sebenarnya ingin membiarkan Lian mendapat pelajaran beberapa hari di penjara, namun Mirna memohon pada suaminya agar segera membebaskan anaknya.