"Polisi woe! Cabut!" Teriak Lian pada semua teman temannya.
Lian dan teman-teman balap motornya kelabakan karena polisi mengepung jalanan disaat mereka sedang balapan. Bagaimana tidak, banyak geng motor selalu membuat keresahan warga karena balapan di jalanan umum pada dini hari.
Semua berhamburan ke arah yang berbeda menyelamatkan diri masing-masing. Lian menancapkan gas motor Ninja miliknya ke arah markas milik geng motornya. "Bangsat! Belum juga mulai uda datang itu keparat!" Umpat Lian yang kini sedang duduk bersama beberapa temannya.
Lian Jati Maheswara, seorang ketua geng motor yang bernama Tiger. Sudah lama geng motornya ini didirikannya bersama beberapa rekannya yaitu Paul, Rahman dan Abi.
"Ya gimana Li. Pasti ada warga yang ngelaporin kita. Secara kita balapan di jalan umum. Ya marah ege!"
"Kita tadi kan cuma nurutin tantangan dari geng The Wolf. Lagian mereka nggak modal banget, ngajak balapan di jalanan."
"Gue mau balik. Besok ke kampus pagi." Titah Lian pada teman-temannya.
"Gue juga mau cabut Li." Jawab Rahman.
Lian dan Rahman bergegas pulang. Diikuti juga oleh Paul dan Abi. Mereka mengendarai motor masing-masing menuju ke rumah.
.....
"Balapan terus! Makin hari kamu itu makin liar Lian! Mau jadi apa kamu." Lian yang baru saja sampai rumahnya, dia bertemu dengan Surya papanya.
"Peduli apa papa."
"Anak kurang ajar!" Surya sudah emosi dan hendak menampar Lian. Namun tangannya ditahan oleh Arni, mama tiri Lian. Mama kandung Lian sudah meninggal sejak Lian duduk dibangku SMA. Itulah alasannya mencari kesibukan hingga dia mendirikan sebuah geng motor. Hingga kekecewaannya berlanjut karena setahun setelah mamanya meninggal, papanya menikah kembali.
"Pa cukup. Jangan selalu menggunakan kekerasan sama Lian." Arni yang memang tidak pernah suka dengan cara suaminya mendidik Lian. Lian sendiri menjadi anak yang cukup dingin dan acuh terhadap keluarga karena kekecewaan yang dia rasa menyakitinya. Lian masih belum menerima karena mamanya meninggalkannya, padahal memang karena sakit yang lama telah di derita mama kandung Lian.
"Sudah makan nak? Mau ibu panaskan makanan?" Tawar Arni pada Lian.
"Nggak perlu tante. Lian sudah makan." Lian masih memanggil Arni dengan sebutan tante. Namun Arni membiasakan dirinya menyebut ibu pada Lian. Meski Lian tidak mau memanggilnya ibu. Arni tau bahwa memang Lian yang begitu dekat dengan mamanya, merasa tidak rela jika posisi istri dan ibu di keluarga itu digantikan oleh wanita baru.
Lian menghargai Arni dengan cara tidak berbicara keras maupun membantah. Hanya saja dia memilih sering menghindari kontak dengan ibu tirinya. Arni pun yang tidak memiliki anak karena sebelumnya dia pernah menikah namun tidak diberikan keturunan hingga suaminya wafat, dan bertemu dengan papa Lian. Membuatnya menerima dan menyayangi Lian seperti anak kandungnya.
"Lian permisi dulu." Pamit Lian pada Arni dan Surya.
"Jangan selalu membentak Lian mas, kasian Lian. Dia perlu lebih kita perhatikan mas. Kehilangan mbak Linda sudah cukup membuat Lian terpukul sampai saat ini. Belum lagi karena pernikahan kita. Aku berharap mas Surya lebih memahami Lian."
"Maaf ya Arni, Lian masih saja bersikap dingin denganmu. Menyebut kamu ibu saja dia masih tidak mau. Aku tidak sepenuhnya menyalahkan dia. Namun aku juga tidak mau terus menerus dia seperti ini. Sering balapan liar, ngurus geng motornya yang nggak jelas itu." Balas Surya menggebu karena memang dia ingin Lian berubah menjadi anak yang hangat saat seperti dulu Linda masih hidup.