11. Tugas dan tanggung jawab.

82 7 1
                                    

Di depan cermin yang menampilkan seluruh tubuhnya, Renja berputar-putar memandang kagum piama baru nan cantik. Dia melupakan fakta beberapa jam yang lalu telah mengeluhkan pengeluaran untuk semua itu.

Pakaian menang berpengaruh besar dalam untuk penampilan cantik, terbukti dari Renja yang seperti orang berbeda padahal sama sekali dia tidak menggunakan riasan. Ini baru piama, masih banyak gaun serta aksesoris indah lainnya.

Renja berbalik girang. "Apa aku masih seperti gembel, Darel?" tanyanya pada sang suami yang bersandar di atas kasur tengah memperhatikan.

Pria itu tersenyum tipis, istrinya jauh lebih cantik dari pada ekspetasinya. Terbayar sudah rasa lelah Darel dalam memilih pakaian wanita yang ternyata tidak mudah.

"Pakaian dalamnya juga kau pakai?"

Renja mengangguk malu, Darel berbelanja sampai ke titik itu; ada yang kebesaran juga ada yang kekecilan, tetapi yang pas lumayan banyak.

"Kalau mau tidur enggak usah memakai bra, menurut dokter itu tidak bagus intuk kesehatan," saran Darel dalam intonasi santai.

"Be-begitu, ya? Aku akan lepas." Telinga Renja memerah, dia membuka pakaian di depan Darel dan tak luput dari perhatian Darel. Renja pikir ini bagian dari latihan, membuang malu menunjukkan bagian tubuh. Melempar bra, lantas memasang piama lagi.

Darel meringis tertahan, apa Renja tidak tahu jika itu sangat berbahaya? Ia menatap lekat, membuat Renja tersenyum kikuk serta tegang.

"Aku harus memperlihatkan tubuhku padamu, kan?" ucap Renja, secara tidak langsung dia mengatakan tengah mempersiapkan diri.

"Kemarilah." Darel memanggil. "Aku bantu kau menjelang hari H."

Membantu seperti apa? Renja penasaran serta gugup, tetapi dia menurut, menaiki kasur berbaring terlentang menghadap langit-langit di samping Darel.

"Aku harus apa?"

Darel menarik tubuh Renja menghadap ke arahnya, mata mereka saling tatap sampai rasanya telinga berdengung menyembunyikan suara alam di luar, menyisakan irama jantung berdebar kencang.

"Jangan tutup matamu, dan bernapaslah." Darel memberikan peringatan sebelum dia mencium Renja perlahan-lahan agar tidak menakutinya.

Seperti kata Darel, Renja menahan agar tidak menutup mata di antara rasa malunya. Membiarkan Darel melakukan apa yang ia mau, tetapi Renja kesulitan akan satu hal. Bernapas! Bagaimana caranya dia bernapas saat debaran jantungnya saja seakan merenggut oksigen juga.

Darel melepaskan. "Bernapas, Renja."

"Kau menyumbatku."

"Mulutmu, bukan hidungmu. Coba lagi."

Mereka terus mengulanginya, mau berhasil atau pun tidak, Darel tetap mencium Renja atas keinginannya sendiri bukan karena membantu Renja mempersiapkan diri.

"Ok, sekarang tidurlah." Akhirnya dia selesai. Membalik tubuh Renja, dia memeluk dari belakang mengendus aroma sabun dari leher Renja.

Renja menahan geli pada hembusan napas di lehernya, kemudian dia terpekik ketika tangan Darel tiba-tiba menggenggam dadanya yang ukurannya tidak seberapa itu.

"Apa yang kau lakukan?" ringis Renja, tetapi tangannya tidak mencoba menjauhkan tangan Darel dari dadanya.

"Tidak apa-apa, abaikan saja tanganku, kau bisa tidur." Darel berbisik sayu.

Tentu tidak semudah itu, ini adalah hal baru bagi Renja, dan dia harus menerima selayaknya istri yang baik. Renja memejamkan mata, merapatkan bibir agar tidak mengeluarkan suara keluhan atau apapun juga.

"Pintar," puji Darel berbisik, bangga memiliki istri penurut. Istri seperti Renja tidak mungkin menciptakan masalah, dia akan terus mengikuti ke mana arah telunjuk orang yang memiliki hak terhadapnya.

Penurut atau mungkin bodoh. Seperti boneka benang sempurna.

***

Tidak seperti pagi sebelumnya, hari ini Renja tidak menangisi makanan di atas meja. Piring kosong membawa kegembiraan tersendiri bagi sang koki yang sangat menghargai makanan.

Renja kembali ke kamar, pada suami yang berbaring tanpa niat beranjak dari tempat tidur.

"Darel, kau mau makan apa?" tanya Renja tersenyum cerah, berdiri di samping menyambut hangat sebagai sapaan selamat pagi.

"Apa pun akan aku makan." Darel menjawab lesu. Kasurnya memang yang paling nyaman, Darel akhirnya bisa tidur nyenyak setelah beberapa hari tidak pulang.

"Kalau begitu nasi goreng."

"Hmm."

Semangat Renja mengalahkan cerah pagi ini. Padahal tempatnya sama, namun Darel merasakan sesuatu sensasi berbeda dari kehidupan dia sebelum membawa anak orang.

Rumahnya terasa lebih hidup, dari pada suram seperti rumah hantu yang selalu berantakan ketika dia masih melajang.

Aroma sedap tercium, suara denting wajan adalah pagi yang asing bagi Darel. Beranjak ia dari tempat tidur, pergi melihat sumber bising di dapur.

"Sebentar lagi selesai, mandilah dulu." Renja menyadari keberadaan Darel, dia mulai menjelma sebagai seorang ibu penuh perhatian lembut.

Darel berbalik badan untuk mengambil handuk, lantas Renja memanggil kembali dalam sebuah perhatian.

"Kau kerja hari ini? Mau bawa bekal? Aku masak lebih."

Alis Darel berkedut. Bekal katanya? Kalau dipikir teman Darel di bengkel terkadang membawa bekal masakan istri mereka. Tapi menurut Darel itu seperti anak kecil.

"Tidak perlu, aku makan di rumah saja." Kemudian Darel pergi, dia kembali dengan handuk melilit di pinggang lantas menghilang di balik salah satu pintu melewati dapur.

Renja tidak masalah, yang penting Darel memakan masakannya. Usai itu dia menyajikan dalam piring, lengkap dengan toping khas nasi goreng: timun, ayam suir, telur goreng, dan kerupuk.

Renja menunggu di meja, duduk bersila bersandar di dinding menantikan Darel menggunakan pakaian di kamar. Tak butuh waktu lama Darel keluar, duduk berseberangan dari Renja.

"Kenapa tidak makan duluan?" tanya Darel.

"Lebih enak makan bersama. Di rumah orang tuaku kami makan masing-masing, jadi..." Pipi Renja memerah pada kata yang belum ia ucapkan. "... jadi aku ingin punya keluarga sendiri yang makan bersama. Maksudnya kita."

"Begitu, ya. Tapi kalau aku belum pulang bekerja, tidak perlu menungguku."

Renja mengangguk paham.

Mereka menyantap lahap, Darel makan tanpa mengeluhkan rasa. Dari piring yang kosong telah membuktikan tidak ada yang salah dengan masakan Renja, dia juga nambah beberapa kali.

Darel berdiri. "Aku pergi kerja dulu," ucapnya, meraih jaket serta kunci motor yang tergantung di dinding.

"Nanti siang pulang?"

"Tidak. Jadi tidak usah menungguku."

"Baiklah."

Darel pergi keluar, Renja mengintip dari jendela sampai Darel menghilang dari pandangan. Setelah itu dia membersihkan meja tanpa air mata, tidak ada makanan yang akan dibuang. Renja hanya perlu mencuci piring dan menyapu ruangan.

Itu saja, lantai masih bersih sehingga tidak perlu di pel. Tidak ada tumpukan baju kotor juga. Halaman terlihat cantik dengan daun berjatuhan, jadi Renja ingin menikmatinya hari ini lalu besok akan disapu.

Renja duduk di teras, bersamamu teh hangat sama seperti hari sebelumnya.

Dan ... haruskah dia pergi keluar? Renja memiliki banyak pakaian cantik untuk dipamerkan. Suasana Renja bagus hari ini, aroma teh terasa lebih harus, menghangatkan sampai ke jiwanya.

"Sepertinya aku tidak perlu melakukan banyak persiapan mental." Dia menyeruput teh, teringat hal yang diminta oleh Darel. 'Selama itu memang tanggung jawabku ..." Renja tersenyum tipis, dirinya seakan memiliki kutukan bernama Tugas dan Tanggung Jawab. Setakut apa pun dia menghadapi itu, dia akan merasa berdosa besar jika belum menyelesaikannya.

Bersambung....

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang