20. Mulai serakah.

849 36 1
                                    

Sehabis minum obat, Renja mengoles salep pada koreng keringnya, ia lakukan secara rutin agar hasilnya maksimal sehingga tidak ada bekas jelek kelak. Dokter bilang jangan mengelupas kulit koreng kalau enggak mau berbekas. Walaupun geram, Renja menahan dirinya sekuat tenaga.

“Jelek sekeli.” Renja merinding pada lempengan hitam bercorak menjijikkan baginya. “Kapan mereka akan terlepas sendiri? Padahal sudah kering-kerontang begitu.” Entah berapa kali ia bergidik sendiri, alhasil harus mencari kesibukan agar matanya tidak tertuju lagi pada koreng.

Renja pergi ke dapur, berpikir untuk membuat kue coklat saja menjelang Darel pulang nanti sore. Tiba-tiba ada rasa khawatir. Bagaimana jika kulit koreng nya jatuh, masuk ke dalam adonan?

Renja langsung mual membayangkan itu.

Berat hati dia mengurungkan niat, meletakkan kembali tepung ke dalam stoples. Renja bergerak cepat kembali ke kamar, menghempas diri ke kasur, dia kesal pada dirinya sendiri yang menjijikkan. Menangis, memendam suara di bantal.

“Renja? Kenapa kau menangis?”

Saking sedihnya ia, tidak sadar dengan kedatangan Darel yang biasa ia tandai melalui suara motor pria ini.

Renja tersentak, malu mengangkat wajah setelah ketahuan menangis.

Darel menarik Renja dari posisi tengkurap wanita tersebut, memaksa Renja untuk memperlihatkan wajah cengengnya. “Kenapa?” tanya Darel lagi, memangku Renja seperti anak-anak karena tubuh Renja yang ringan.

“A-aku mau buat kue, tapi takut kulit korengku jatuh ke adonan,” adu Renja terisak.

Darel mengulum bibir, berusaha tidak menertawakan kesedihan yang terlihat sepele itu. “Kau mau kue?”

“Iya, rencananya begitu.”

“Kue apa?”

“Coklat lumer.” Renja menyeka air mata, juga menarik ingus. Tanpa ia sadari sisi manja yang ia tahan selama ini mulai tidak terbendung sebab tidak mendengar tuntutan memaksa lagi setelah sekian bulan.

“Pergi beli saja, di toko ada.”

Renja mendongak berbinar. “Kita pergi ke luar bersama?”

“Kau sendiri saja. Pakai motor tuh di depan, tapi hati-hati jangan sampai jatuh lagi.”

Renja menekuk wajah kecewa, pupus sudah angan-angan sesaatnya. Dia turun dari pangkuan Darel, beralih turun dari kasur untuk memakai jaket.

“Darel mau ke kamar sebelah lagi, ya?” tanya Renja berdiri menghadap Darel. Kalau Darel pulang cepat, dia akan berakhir ke kamar sebelah menghadap laptopnya—Renja pernah melihat saat mengantar kopi atau teh.

“Iya.”

“Memangnya pekerjaan apa yang kau lakukan di dalam sana?” Renja penasaran.

“Kalau aku jelaskan kau juga enggak bakal mengerti.”

Benar, Renja tidak mengerti meski dia sudah melihat. “Be-begitu, ya? Ok, aku pergi keluar dulu. Malam ini mau makan apa?”

“Apa pun aku makan.”

“Ok.” Renja keluar memendam keinginan kuat untuk jalan-jalan bersama Darel. Dia mulai serakah, tidak cukup dengan kebaikkan Darel saja, Renja menginginkan perhatian lebih besar. Perasaannya bergejolak panas—jiwa anak muda kasmaran—wajar bagi Renja yang sebelumnya tidak pernah merasakan pacaran.

“Hai, Renja.”

Baru Renja menaiki motor, Dorie berhenti di jalan berbatu di depan rumah Renja. Dia duduk di atas motor matic bersama suaminya, Bour, pria yang lebih tua empat tahun dari Darel.

“Kalian mau ke mana?” balas Renja. Dia juga memperhatikan tidak ada anak di antara mereka berdua.

“Kami mau dinner di luar.”

Mendengar itu Renja iri. Suami Dorie pandai bersikap romantis, enggak seperti Darel yang hanya tahu: makan, tidur, kerja, bercinta. Ya, dia bukan tipe pria yang lebai, tapi sekali-kali lebai tidak apa-apa bukan?”

“Anakmu mana?”

“Kami titipkan di rumah mertua. Mau ikut enggak? Ajak suamimu, kita double date. Kami tunggu kalian bersiap-siap.”

Renja menggeleng. “Tidak, suamiku sedang sibuk dengan pekerjaannya.”

“Baiklah aku mengerti. Sampai jumpa, Renja.”

Mereka berdua pergi, Renja masih menatap penuh iri sampai Dorie tidak terlihat lagi oleh mata. Desahan keluar dari mulutnya, bergerak malas mengarahkan stang motor untuk beranjak juga.

“Sepertinya kau sudah berlebihan, Renja,” tegur Renja pada dirinya sendiri.

Darel sangat baik, kenapa mengharapkan sesuatu yang besar tanpa bercermin bahwa dia tidak melakukan banyak hal? Sudah cukup, hidupnya sudah lebih baik berkat siapa kalau bukan Darel?

***

Renja berkeliling sendiri cukup lama, menikmati angin perjalanan di sepanjang sore. Dia sudah membeli kue, dan … lauk. Sudah tidak sempat memasak jadi Renja beli saja, pun dia berpikir negatif tentang korengnya yang bisa jatuh kapan saja.

Benar saja, sedikit kulit koreng Renja menghilang tertiup angin, Renja melihat ketika itu terlepas dari sikut kirinya.

“Nah, kan! Bagaimana bisa aku memasak jika mereka belum lepas semua? Menjijikkan!” Renja merinding lagi, terbayang Darel tidak sengaja mengunyah kulit korengnya, terus pria itu menceraikannya.

Ketika sampai di rumah, ternyata cukup banyak yang terlepas hingga tersisa sedikit. Renja bersyukur, sedikit lega sambil mengelus dada.

“Benar-benar kering.” Renja bangga pada dirinya sendiri, karena berhasil menahan diri untuk mendapatkan kembali kulit mulusnya. “Tidak sia-sia aku minum obat.”

Renja masuk ke dalam rumah, menutup pintu rapat, tidak membiarkan hantu magrib masuk. Ruangan gelap, lampu-lampu belum dihidupkan, menandakan Darel belum ada keluar dari bilik sebelah.

Renja mengintip ke dalam, ruangannya lebih gelap dan hanya mendapatkan sinar dari laptop saja. “Darel, ayo makan dulu.”

Darel menoleh sebentar, usai itu kembali pada layar menyala. “Makan saja duluan, aku nanti.”

“Makan sebentar saja.”

“Renja.” Ada sedikit penekanan dalam tegurannya, seakan memberi peringatan awal agar Renja tidak mengusiknya saat ini.

Renja mundur tanpa sanggahan lagi, menutup rapat pintu yang mengurung Darel di dalam secara pelan-pelan. “Montir mana yang bekerja dengan komputer dan kertas?” gumamnya mencibir Darel yang menurut Renja sok sibuk.

Renja duduk di depan meja. Baiklah dia akan makan sendiri walau ada Darel di rumah. Sengaja ia makan lamban, melirik-lirik pintu Darel dengan harapan pria itu keluar ikut makan bersamanya. Sampai makanan habis pun Darel tidak keluar, Renja masih menunggu di tempat yang sama, sambil memakan kue coklat yang ia beli.

“Kapan dia akan makan!” Renja menggeram tertahan. Ia melipat tangan di atas meja, kemudian menyandarkan kepalanya di atas tangan—mulai mengantuk. Berkedip-kedip perih, Renja memejamkan matanya, setelah itu dia tidak membukanya lagi.

Dua jam kemudian barulah Darel keluar, menemukan istrinya tertidur di tempat makan dengan hidangan yang masih terbuka.

“Astaga, aku sungguh tidak mengerti jalan pikirannya.” Darel memijat pangkal hidung, Renja terlalu perhatian dan baik sampai rasanya Darel pusing atau mungkin overdosis oleh sikapnya.

Karakter Renja bertentangan dengan kebiasaan hidup Darel, dia bagai bulu lembut yang terbang di atas tumpukkan duri besi. Ringan, tampak lemah, namun duri tidak bisa menghancurkannya.

Bersambung....

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang