49. Maaf.

813 37 1
                                    

Renja duduk di depan meja hias, rambutnya dibungkus handuk karena ia baru saja selesai mandi sebab pesan terakhir Kinda memberitahu bahwa Darel pulang hari ini. Meski sudah sore, Renja menggunakan riasan, berusaha menyembunyikan jejak wajah sembab. Dia juga sudah selesai memasak, sebentar lagi Darel pasti akan sampai.

Jantungnya menggebu-gebu, menimpal pewarna pipi membantunya terlihat lebih segar. Air mata yang ingin jatuh, ia tahan mati-matian, berulang kali menimbulkan pikiran positif untuk menghibur diri sendiri.

[Kali ini kau harus tegas, Renja.] ~Kinda.

Pesan Kinda terngiang-ngiang, pria itu terus mengirim pesan mendorongnya untuk lebih berani.

[Bersikap adillah pada diri sendiri. Kau terlalu banyak mengalah.] ~Kinda.

Tangan Renja langsung jatuh ke atas meja, kuas make-up ikut berceceran akibat senggolan tangan Renja. Wanita itu mendongak ke atas, air matanya tidak terbendung lagi. Tarik napas dalam-dalam, hembuskan, lakukan berulang kali meski tidak merasa lebih baik.

‘Harus cepat, Darel akan segera sampai!’ Ia mengipas-ngipasi wajahnya, kembali menghadap cermin membiarkan satu tetes air dari sepasang mata jatuh. Mengelap pelan pipi, selepas itu kembali menimpal bedak.

Baiklah, ia sudah siap. Rambutnya juga sudah dikeringkan dan terjuntai rapi. Kebetulan suara motor Darel juga terdengar di depan. Renja berdiri, memastikan penampilan di cermin yang lebih besar.

“Renja.”

Pria itu memanggilnya sembari ia membuka pintu utama. Renja yakin penampilannya sudah segar, ia keluar dari kamar kemudian tersenyum melihat Darel semakin dekat dengannya.

Yang tidak Renja percaya ialah, Darel memeluknya, mencium puncak keningnya penuh kelembutan. Apa ini sikap pria sehabis berselingkuh? Sebelumnya Darel begitu datar, tidak ada peluk dan cium sehabis pergi.

“Wangi lemon, baru selesai mandi, ya?”

“I-iya.”

Darel terkekeh, mencium Renja sekali lagi. “Ada apa ini? Kau sepertinya menggunakan riasan wajah. Tidak biasanya.”

“Aku tahu Darel akan pulang. Instingku tajam.”

Darel memberikan jarak, ia mengangkat dagu Renja untuk melihat wajahnya. “Bohong, kau pasti tahu dari Kinda.”

Intonasinya datar, tapi terdengar sarkas di telinga Renja. Apa dia tahu Kinda mengikutinya dan diam-diam mengambil foto? Renja menelan ludah kasar, mendadak ia kesulitan bernapas.

“Ta-tahu dari mana?”

“Kami bertemu tadi, sempat mengobrol ringan sebentar.”

Dari jawaban Darel sepertinya pria itu tidak tahu telah diikuti Kinda. Renja jadi lebih lega, belum saatnya ia melakukan pembahasan berat. Pastikan Darel sudah kenyang, dan ia beristirahat sejenak melunturkan lelah agar bisa sama-sama berkomunikasi dengan kepala dingin.

Renja pernah membaca hal itu di internet.

“Begitulah. Sudah, ayo makan dulu.”

“Tapi ini belum malam.”

“Tidak masalah, kan? Dengan begitu Darel bisa beristirahat dengan cepat tanpa memikirkan perut yang belum diisi.”

Darel menimbang niat, menjepit dagu seolah dia memiliki pilihan sulit. Di meja piring-piring telah tersaji, Renja masak bermacam-macam hari ini. Ia lirik Renja, dan wanita itu balas tersenyum. Dari pada makanan, Darel lebih tergoda memakan Renja. Kalau begitu bukan ide yang buruk makan lebih awal meski tidak lapar, sisa waktunya ia bisa bermanja di ranjang.

“Baiklah.”

***

Selesai mencuci piring Renja berdiri di depan pintu kamar, tangan yang menyentuh knop pintu berkeringat dingin mempertahankan keberanian. Ya, dia harus membuka pembahasan tersebut apa pun konsekuensinya.

“Darel pasti sudah cukup beristirahat. Aku harus bicara! ” Ia menekankan keteguhan dalam dirinya, sekalipun berakhir mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya.

Kala pintu terbuka lebar, ia menyaksikan Darel bersandar di bantalan kepala ranjang, sibuk memainkan ponselnya secara santai. Sejenak Renja terdiam, memikirkan apa reaksi pria itu selanjutnya setelah Renja bicara.

“Kenapa melamun di situ?” Darel menegur, menepuk-nepuk kasur menyuruh Renja untuk datang.

Sebelum duduk seperti permintaan Darel, terlebih dahulu ia mengambil ponselnya di dalam laci. “Aku ingin menayangkan sesuatu padamu.” Renja menghadap Darel mempertahankan kelembutan di wajahnya.

“Iya, apa?” Darel menoleh, terkejut akan mata Renja yang berkaca-kaca. Ponsel tidak lagi menarik baginya, tanpa sadar melepaskan benda pipih itu.

“Apa maksud dari foto ini? Wanita ini mantan terindahmu, kan?”

Wajah Darel mendadak suram, rahangnya mengeras seiring menahan kemarahan. “Dari mana kau tahu?” Ia tak ingat ada bercerita tentang masa lalu dengan Renja. “Siapa yang mengirim foto itu?” Bahkan di sini dia tampak lebih marah dari Renja, seperti aura hitam keluar dari tubuhnya.

‘Kinda!’ Darel yakin pertemuannya dengan Kinda bukanlah kebetulan, pria itu pasti mengikutinya.

Renja gemetar, ia sudah terlanjur memulai, maka dia tidak boleh mundur meski ia tak mampu membendung air mata.

“Tidak penting aku tahu dari siapa, masalah sebenarnya adalah darimu. Jujur, Darel.”

Menarik napas dalam-dalam, Darel mengusap wajahnya dengan kasar. “Aku tidak berselingkuh, Renja, dia menawariku jalan-jalan.”

“Kenapa kau mau? Seharusnya kau menolaknya!” Ternyata Renja tak bisa menahan emosinya, ia membentak melakukan perlawanan keras untuk pertama kalinya hingga Darel tertegun oleh sikap Renja.

“Renja aku—”

“Di sini aku tidak boleh ke mana-mana, di sana kau bersenang-senang dengan wanita lain. Kau tahu Darel? Aku ingin kau membawaku jalan-jalan seperti wanita itu juga. Kenapa wanita itu bisa sedangkan aku tidak?!” Renja menutup wajahnya, menangis terisak-isak. Penjelasan Darel bukanlah jawaban dari masalah ini, malainkan tekanan untuk Renja membuang pedomannya.

Darel diam, tangannya terulur untuk menyentuh pundak Renja, namun langsung ditepis oleh wanita itu.

“Sepertinya aku tidak bisa mengikuti langkahmu. Mari bercerai,” ucap Renja lemas. Sendirinya tidak percaya bahwa kata itu akhirnya keluar dari mulutnya, tubuh Renja gemetaran namun entah kenapa dia tidak menyesal.

Saat ia menurunkan telapak tangan dari wajahnya, ia menoleh ke arah Darel lantas terbelalak kaget. Wajah pria itu penuh akan kemarahan, memandang Renja seolah dia akan membunuhnya. Renja sangat ketakutan, perlahan-lahan merangkak mundur sebelum kakinya ditangkap oleh Darel.

“Cerai katamu? Kalau aku tidak mau bagaimana?” Dia tersenyum, tidak ada kesan persahabatan sedikitpun bagai yang tersenyum bukanlah manusia waras.

“Da-Darel, lepaskan. Kakiku sakit,” ia meringis, pergelangan kaki digenggam kuat oleh Darel.

Pria itu melepaskan kakinya, beralih menarik tubuh Renja guna ia dekap. Darel menyembunyikan kepalanya di leher Renja, ia sangat khawatir sampai tidak disadari air matanya jatuh menetes di pundak Renja.

“Maafkan aku, jangan berpikir untuk cerai lagi. Tetaplah menjadi rumahku, Renja, kumohon. Maafkan aku, maaf, maaf Renja, maaf.”

Dia terus mengucapkan maaf dan maaf, tidak tahu tulus atau tidak, Renja terkulai lemas dalam genggamannya. Terlalu sesak sampai hanya isak tangis tersedu-sedu yang keluar dari mulutnya.

‘Tolong berikan aku penjelasan, maafmu tidak membuatku lebih baik.’

Susah sekali untuk bicara, hingga Renja berharap Darel bisa mendengar suara hatinya.


Bersambung....

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang