23. Tempat kenangan berlalu.

707 37 0
                                    

Jamuan Renja luar biasa, dia memastikan meja terisi oleh buah, cemilan, dan minuman. Kedua orang tuanya menerima kebaikan Renja secara sungkan sebab khawatir Renja terlalu memaksakan keadaan untuk membuktikan bahwa dia tidak begitu miskin.

Putri pertama mereka adalah menantu idaman, cantik dan Rajin, semakin cantik dan terawat setelah menikah. Penampilan Renja menjelaskan harga diri Darel, pria yang mampu merawat Renja jauh lebih layak.

“Mau tambah tehnya lagi?”

Dia bertutur kata lembut, elegan dalam setiap gerakan. Rasanya tengah melihat seorang putri bangsawan dari abat 18. Apa yang dibuat Darel pada putri mereka? Amar dan Fika saling menatap bingung, memilih bungkam menikmati jamuan Keya.

“Kami akan pulang, bapakmu ada kerjaan jam dua nanti.” Fika meletakkan gelas yang selesai ia teguk, membenahi diri sebelum berdiri.

“Cepat sekali, aku pikir Mamak dan Bapak akan menginap.”

“Tidak, kami cuman mau lihat bagaimana bentuk rumahmu. Syukurlah enggak bolong-bolong.”

Renja tersenyum tipis membalas dugaan buruk berupa omong kosong. Dia mengikuti dari belakang langkah kedua orang tua, berhenti di depan pintu sementara bapaknya telah turun dari teras.

Mereka berdua tampak tidak puas, niat membujuk Renja untuk cerai, lalu menikah dengan pria yang menjabat sebagai direktur perusahaan, gagal. Mereka baru tahu ternyata Renja memiliki pendirian kokoh yang mereka salah pahami sejak awal.

“Hati-hati di jalan.” Renja melambai melepas kepergian mereka. Seketika senyuman surut usai mereka sudah jauh, lekas menutup pintu seolah dia tidak mau menerima tamu lagi hari ini.

“Tidak tahu apa aku jatuh dari motor karena masalah itu?” Renja menatap dirinya di cermin, meski samar namun masih terdapat bekas luka yang bermula dari rumah mereka di kulit Renja. Mendengus pasrah, Renja menghempas diri di kasur. “Semoga Darel cepat pulang.”

***

Motor berhenti di depan sebuah rumah besar nan megah. Darel melepas helm, mendongak menatap bangunan guna mengenang kembali bagaimana dia tumbuh bahagia di rumah tersebut. Semua tinggal kenangan, hancur setelah sang ayah pergi bersama warna cerah rumahnya.

Jika saja tidak ada kepentingan, dia tidak sudi menginjak rumah ini lagi, melihat wajah-wajah penjajah yang menjajah harta ayahnya. Membuka pintu besar membuatnya merinding atas sentuhan dingin itu, terlebih dia dapat melihat mereka yang kebetulan berkumpul di ruang tamu.

“Da-Darel? Kenapa tidak bilang kalau mau datang?” Wanita ini bergerak menghampiri sampai di depan pintu, tersenyum canggung pada anak yang tiga tahun tidak terlihat. Kemudian kesakitan atas reaksi jijik Darel terhadapnya. Jania—nama wanita tersebut—meremat ujung baju mempertahankan senyum.

“Kata Dika kau sudah menikahi, ya?” Mencoba mendapatkan respon Darel, tentu menanggung resiko diabaikan olehnya. Darel pergi melewatinya begitu saja, menatap pun tidak lagi.

Laki-laki bertubuh gempal mendekati Jenia, ia tepuk pelan pundak wanita yang menyandang status sebagai istrinya itu. “Selagi dia ada di sini, pujuk dia untuk membantu keuangan kantor. Pun itu usaha peninggalan ayahnya.” tuturnya menghasut, sesekali memandangi anak tangga yang dilewati si anak tiri tadi.

“Rizal, melihat wajahku saja dia tidak sudi. Tidak mungkin mau mendengarkan permintaan tak tahu diri itu.” Jenia mendengus, hampir menangis serta sesak seakan paru-parunya di remas.

Rizal menggeram marah, mata membulat besar terarah pada Jenia. “Meski perusahaan ayahnya sudah menurun drastis? Anak macam apa dia?”

“Yang makan uang hasil perusahaan itu kita! Bukan Darel! Kau yang bertanggung-jawab atas kegagalanmu menjabat sebagai pemimpin,” Jenia membentak, mendorong Rizal untuk menjauh darinya. “Sana pujuk dia kalau bisa.” Usai itu Jenia melangkah cepat ke sofa, menghempas pantat di atasnya sembari memijat pangkal hidung.

Bisakah? Rizal menatap lama anak tangga, bimbang namun ingin mencoba saran Jenia. Semakin lama berdiam, pikiran pun semakin kusut. Pada akhirnya dia mencoba memberanikan diri, menghampiri Darel di kamarnya.

“Darel.”

Yang dipanggil tidak menyahut, sibuk membongkar-bongkar laci entah apa yang ia cari. Sekali lagi Rizal meneguk liur kasar. Tangan kekar anak tirinya itu … akan sangat menyakitkan jika dia mendapatkan pukulan setelah berhasil menyulut emosinya.

“Pe-perusahaan ayahmu dalam masalah. Jika kau tidak ingin melihat usaha yang dibangun ayahmu runtuh, bantulah-”

“Aku tidak peduli.” Darel berhenti mengacak-acak lemari, memegang sebuah kotak perhiasan peninggalan mendiang nenek di tangannya. “Ayahku pun tidak akan bangkit, dia tidak memerlukan nama dan harta lagi. Urusannya bukan di dunia.”

Rizal bungkam, bicara lebih banyak dapat dipastikan dia akan bonyok; seperti masa lalu saat ia dipukuli sebab selingkuh dengan Jenia. Perhatian Rizal juga tertuju pada kotak yang dipegang Darel, sebelumnya dia sudah mencari harta peninggalan mertua Jenia itu namun tidak berhasil ditemukan. Sial, Darel telah mengambilnya.

“Itu… di mana kau menyembunyikannya, Darel?” Jenia hadir saat Darel akan melewati Rizal. Tangannya hendak mencapai kotak tersebut sebelum Darel mengangkat tinggi-tinngi kotaknya. “Darel, itu seharusnya milik ibu, Nak.”

“Ini milik menantu keluarga Chatra. Ibu bukan lagi menyandang nama Chatra, sekarang ini akan menjadi milik istriku. Bersyukurlah kalian sebab masih aku biarkan tinggal di rumah ini untuk membatasi tingkah Dika. Ingat kalian cuman menumpang, baik-baiklah dengan Dika.” Kata-katanya cukup tajam, namun itulah faktanya. Rizal, Jenia, dan anak-anak mereka hanyalah orang luar.

Seketika tangan Jenia turun, menyerah menggapai sesuatu yang baru ia sadari ternyata bukan miliknya lagi.

Tidak ada lagi suara yang akan menghalangi langkah Darel keluar dari rumah, mereka tahu mereka tak punya cukup kuasa untuk menantangnya. Seperti apa istri Darel? Sosok wanita yang berhasil menempati posisi sebagai istrinya pasti sangat luar biasa.

Jenia memperhatikan setiap gerak Darel kian menjauh, ia sesali kelakuannya yang merusak keutuhan keluarga. Setiap malam, sebelum tidur, terbayang wajah mendiang suami yang syok berat setelah menangkap perselingkuhannya di kamar hotel, suami memiliki jantung lemah akhirnya meninggal sebelum mendapatkan penanganan.

Wajar jika Darel membencinya. Lebih parah Jenia menikah lagi dan membawa selingkuhan ke dalam rumah ini beserta dua anak pria itu. Waktu itu dia dibutakan oleh cinta Rizal, yang enam tahun lebih muda darinya, tampan dan tidak gempal seperti sekarang.

“Sekarang apa? Kita suruh Dika saja, ya, membujuk dia.” Rizal bergerak menyentuh layar ponsel yang ia dapatkan dari saku celana banyak kantong.

Belum sempat ia menekan nama Dika, Jenia merebut ponsel itu. “Sudah, jangan kau manfaatkan lagi Dika! Harta Dika juga sudah habis sebab kau ikut campur dan menghasutnya. Jika Darel tahu ini, dia akan membunuhmu!” Telunjuk Jenia lurus mengarah tegas wajah Rizal. Sungguh dia sudah muak dengan pria tersebut, orang yang sama namun terasa berbeda usai mereka menikah. Kemana perginya pria romantis yang menjeratnya di masa lalu? Di sini hanya ada sosok pria boros haus harta.

Bersambung....

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang