[Kaka, mama sakit. Kakak disuruh ke sini.]
Baru saja Renja menyentuh benda pipih setelah usai membersihkan halaman, membaca pesan Sera yang terlewat beberapa menit lalu dalam kernyitan jelas. Renja penasaran mamanya sakit apa? Bergegas mengetuk pintu ruangan Darel.
Darel menyembulkan kepala seperti kura-kura, kacamata terbingkai di hidung mancungnya namun tidak dapat menyembunyikan mata lelah. “Apa?” ucapnya.
Renja jadi ragu meminta tolong padanya.
“Aku mau ke rumah mamak, em… kau mau ikut?”
Darel menoleh ke belakang, pada sesuatu yang membuat dia lelah dan entah apa itu. Menoleh kembali, Darel memperbaiki posisi kacamata sembari berdehem. “Aku tidak ikut, kau pakai saja motorku.”
“Baiklah.”
Renja kembali ke kamar mengambil salah satu tas cantiknya, mengisi beberapa lembar uang tunai dan juga ponsel. Sebelum keluar Renja bercermin, tersenyum puas melihat penampilan istri di tangan suami yang tepat. Tidak tampak seperti pembantu lagi.
“Setelah melihatku nanti, seharusnya mereka tahu aku hidup jauh lebih layak, jauh dari yang mereka pikirkan.”
Renja sampai di depan, menaiki motor kerangka modifikasi Darel sendiri. Motor seksi minim kap, knalpot berisik. Matanya berkedut, penampilan indahnya bertentangan dengan kendaraan yang ada. Helaan napas keluar dari mulutnya, dengan pasrah menaiki motor tersebut sembari menertawakan diri sendiri.
Angin menghantam rambut terikat Renja, gadis itu tidak menggunakan helm karena di desa tidak ada razia merepotkan seperti itu. Anakan surai menari-nari bahagia, cuaca pagi yang hangat memberikan udara bagus untuk di hirup dalam.
Kapan terakhir kali dia berada di kecepatan? Setelah menikah ini kali pertama dia mengendarai motor sendiri, suara knalpot ternyata menyenangkan juga.
Renja sampai di rumah lama pada pukul sembilan pagi lebih tujuh menit. Menyapa Sera yang tengah duduk di kursi halaman di bawah bayangan rumah tetangga. Gadis itu menghampiri Renja, terbelalak ketika kakaknya turun untuk memperlihatkan keanggunannya.
“Astaga, lihat!” Sera berseru menarik perhatian orang setempat. “Kakak! Sejak kapan kau jadi secantik ini?”
Renja tersipu, dia suka reaksi ini. “Aku hanya mengganti gaya berpakaian.”
“Ya, aku tahu, tetapi kulit dan rambutmu juga lebih cantik.” Sera tiba-tiba mendengus, lebih mendekatkan diri sehingga bibirnya berdekatan dengan kuping Renja. “Kau secantik ini, seharusnya bisa mendapatkan suami berpenghasilan di atas UMR. Sayang sekali.” Di balik pujiannya, dia menyematkan sesuatu yang ia rasa adalah kekurangan Renja.
Renja mendorong Sera. “Aku hidup layak, tidak bisakah kau melihat?”
“Aku yakin kau berhutang untuk mendapatkan baju baru.” Dia terkikik. Kakaknya bertambah cantik, Sera mengakui itu, Sera kalah dari Renja soal visual, tetapi tidak ada yang lebih berarti daripada uang. Kelak, Sera bertekad membuat Renja iri dengan kemewahan.
“Sera! Kau-”
“Ups, maafkan aku, Kakak. Ayo masuk, tumpukan cucian kotor menunggumu.”
Pundak Renja menegang, menurunkan alis membentuk keheranan. “Kau berbohong mamak sakit?”
“Mamak beneran sakit, sakit kepala. Terus cucian sudah dua minggu enggak dicuci, mamak mau minta tolong sama Kakak.”
Tetangga tertawa, mereka menjadi pendengar percakapan dua kakak-beradik.
“Datang cantik-cantik cuman buat nyuci, ya, Renja. Mamamu keterlaluan, adikmu pemalas.”
“Bukan pemalas, Buk, tapi aku ini calon nyonya,” Sera berucap bangga, dia masuk duluan ke dalam rumah daripada lebih lama mendengar mulut pedas tetangga bermuka dua.
Pakaian kotor dua minggu, mereka di rumah bertiga, bisa bayangkan seperti apa tinggi tumpukan kain itu? Renja masuk ke dalam rumah memaksa senyum—mamanya tengah duduk di sofa sambil menonton TV, di jidatnya terpasang koyo. Fika memandang Renja, senang si anak paling rajin bersedia datang.
“Renja, kenapa lama sekali di luar?”
“Menyapa tetangga, Ma. Kepala Mamak masih sakit?”
“Masih, nanti kamu tolong pijitin mamak. Cuci baju di belakang dulu sana, terus piring, sekalian pel lantainya. Semenjak kamu pergi lantai belum pernah dipel. Rumput juga sudah tinggi. Mamak capek pulang bantu penjual ikan di pasar, enggak bakal sempat istirahat kalau ngerjain semua itu.”
Mata Renja rasanya panas, dongkol di hati menggebu dan tertahan oleh genggaman tangan di ujung baju.
“Mak, kan ada Sera. Dia jangan dimanjaan terus. Pun Mamak pulang habis tengah hari, masa enggak sempat beres-beres?” Renja berucap lembut, menekan emosi yang tidak diperlukan untuk menghadapi orang tua.
Fika duduk tegap dari yang semula bersandar santai, menatap Renja marah. “Kamu setelah menikah jadi pemberani, ya! Salah mamak minta tolong sama kamu? Jadi kacang lupa kulit, iya?!”
Sera keluar dari kamar setelah mendengar suara gertakan Fika. “Ada apa, Mak?” Memandang bergantian pada Fika dan Renja.
Renja meletakkan buah-buahan di atas yang ia bawa di atas meja, juga tasnya. Cuman sedikit teguran dari Renja, Fika seakan ingin menelannya hidup-hidup. Ia sulit menelan ludah, tenggorokannya terasa sakit dan panas. Bergegas Renja ke dapur, dia akan menyelesaikan semua secepat mungkin lantas pulang.
Pakaian menggunung, tangan Renja gemetar melihatnya. Saat ia mengangkat telapak tangan untuk di tatap, beberapa tetes air matanya jatuh tertampung. Tangan lembut itu… akankah menjadi kasar lagi dalam sehari? Renja takut, dia sangat berusaha menjadi cantik agar terus mendapatkan perhatian dari suaminya.
Sementara Sera terpesona dengan tas Renja, tanpa segan dia meraih tas lantas membuka isinya. Beberapa lembar uang, dan ponsel. Sera terbelalak sebab Renja benar-benar memiliki ponsel seperti yang wanita itu katakan kemarin.
“Ma, lihat kakak punya ponsel seperti ini! Bagus banget, ini harganya belasan juta, loh. Terus ada uang juga, kayaknya Bang Darel habis gajian.”
Fika merebut tas itu dari Sera, menghitung uang Renja. “Uangnya hanya 500 ribu. Tapi… benar ponselnya seharga belasan juta?” Fika mengernyit tidak percaya.
“Iya, Ma. Aku pernah lihat waktu jalan-jalan ke kota sama pacarku.”
“Dari mana Renja dapat uang?”
“Dari suaminyalah!”
“Darel cuman montir tambahan! Enggak mungkin.”
Sera mengetuk-ngetuk meja menggunakan jari telunjuknya, menjepit dagu bergaya tengah berpikir. “Mantanku pernah bilang ada melihat Bang Darel di tempat togel. Cuman lihat sekilas, sih, dia sendiri kurang yakin.”
“Pasti Darel itu! Tidak salah lagi dia dapat duit dari menang togel.”
Ponsel Renja berdering, membuat Fika dan Sera tersentak sekejap. Cool Monster, nama yang tertera di layar sebagai pemanggil. Siapa itu? Mereka berdua tidak tahu, memilih untuk membiarkan saja—takut ternyata Renja memiliki urusan lain lalu pergi meninggalkan semua pekerjaan rumah yang belum selesai.
“Aku ada mendengar nada dering, ponsel siapa?” jerit Renja di belakang.
“Punya aku,” Sera berbohong, dia kemudian menghapus riwayat panggilan agar tidak ketahuan.
“Kalau punyaku ada yang telepon kasih tahu, ya.”
“I-iya.”
Sera bernapas lega. Dia beralih memakan buah bawaan Renja tadi. “Kakak terlihat jelas ingin tampil bagus di hadapan kita, Mak. Pamer. Dia pasti juga malu dikatain hidup susah.”
Fika mendengus. “Terserah dia, tapi kalau hutangnya menumpuk, jangan cari kita. Setelah bersuami dia berubah serakah.”
Sera menggelengkan kepala sambil berdecak lidah meniru cicak. Menganggap Renja telah dapat pengaruh buruk dari pria tampan namun berpenampilan kasar seperti berandal jalanan.
Bersambung....
![](https://img.wattpad.com/cover/368075245-288-k965873.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Following the Current
RomanceGadis yang terbiasa untuk mengerti dari pada dimengerti adalah gadis yang penurut. Hidup sederhana, dan bertutur lembut. Renja adalah gadis desa yang baik, namun cukup sombong dengan menolak banyak lamaran datang ke rumah. Lalu kemudian sebuah kapa...