4. Menrima nasib.

87 9 1
                                    

Pagi ini Renja sudah sah menjadi istri mendadak Darel, disaksikan banyak warga serta keluarga Renja sendiri. Rasanya memalukan menikah dalam nama buruk, Renja bisa melihat bagaimana kedua orang tuanya menahan malu.

Keluarga Renja mendengar penjelasan Renja atas kejadian pagi ini. Setelah mereka tahu Darel hanya seorang montir berpenghasilan kecil, raut mereka berubah tidak mengenakkan. Amar, bapak Renja, hanya diam membayangkan tidak ada yang bisa membantu kemiskinan mereka.

“Begitu, ya.” pak Amar berdehem, rada canggung oleh hutang motornya. "Karena Renja sudah jadi istri kamu, hutangnya sudah lunas, ya, Darel." Jujur Pak Amar tidak punya uang untuk membayar hutang.

"Iya," jawab Darel tidak punya pilihan lain. Sungguh sial; dipukuli dalam keadaan setengah sadar, lalu menikah mendadak dalam kebingungan. Sekarang Darel harus kehilangan uangnya, dan akan selalu kehilangan karena dia harus menanggung kehidupan Renja.

Gadis yang datang ketika dia kelelahan dan sakit, membuat Darel menuntut uang dari rasa sebal itu. Lalu berakhir lebih mengenaskan lagi.

“Keluarga kita sudah miskin, seharusnya tidak menampung orang miskin lainnya,” sindir Amar menoleh ke tempat lain seolah dia hanya menyinggung hantu tidak terlihat. “Salahmu, Renja, jika saja kau menerima lamaran Deka, kau tidak perlu berhutang sehingga menciptakan kejadian seperti ini.”

Mata Darel menyipit. Apa barusan dia dihina? Tetapi Darel diam saja. Seharusnya di sini dia adalah korbannya, tiba-tiba saja direndahkan.

Namun adik Renja, Sera, tidak dapat lagi menahan semburan tawa, semua orang langsung melihatnya. Sera membekap mulut. “Maaf, aku hanya teringat sesuatu yang lucu.” Dia masih terkikik geli membekap mulut kuat. “Aku tidak menyangka kehidupan kakakku akan lebih miskin setelah menikah,” ucapnya sambil meninggalkan tempat. 

“Mak, bapak pergi kerja dulu, uruslah mereka.” Amar berdiri lalu pergi, dia adalah buruh bangunan. Baginya, lebih baik tidak jadi mengambil libur daripada menemani menantu miskin untuk dekat dengan keluarganya.

"Renja, kamu obati dulu suamimu," ucap Fika sembari memijat pangkal hidung.

Renja mengangguk mengerti, membimbing Darel masuk ke dalam kamarnya yang hanya sepuluh langkah dari ruang tamu. Rumah yang memang kecil dan kamar yang sempit.

Baru satu langkah menembus pintu, aroma harum menyerbak terkurung dalam sepetak kamar kecil. Semua barang tertata rapi serta bersih. Darel menoleh ke Renja, gadis cantik namun tidak terawat. Rambut panjang yang kering, kulit putih kusam, dan pakaian jelek ketinggalan zaman.

Darel merasakan genggaman tangan Renja di lengannya dalam membantu berjalan. Tidak seperti tangan perempuan yang pernah ia pegang, telapak tangan Renja kasar, tidak peduli bagaimana jari itu sebenarnya memiliki bentuk cantik serta lentik.

'Dia sepertinya menjadi babu di rumahnya sendiri.'

Darel prihatin, apalagi setelah pembicaraan hutang tadi, orang tua Renja tampak terkejut. Itu artinya Renja tidak memberitahu mereka sama sekali. Dari situ Darel dapat menilai, bahwa Renja tipe anak yang takut sama orang tua. Tidak heran dia bekerja keras lalu menjadi pembantu dan pastinya diremehkan.

"Aku ambil kain dan air dulu." Renja beranjak pergi. Kesempatan untuk bernapas bebas menenangkan otaknya yang panas jika terus di samping suami dadakannya. Renja belum siap, sama sekali tidak memiliki persiapan. Bagai seseorang yang pergi perang tanpa pakaian dan senjata, dia bisa mati kapan saja.

Dia berdiam diri cukup lama di dapur, tenggelam dalam lamunan memikirkan bagaimana cara dia akan menghadapi status barunya tersebut. Mengejutkan.

"Renja." Mama Fika memanggil, mendapat perhatian Renja detik itu juga. Fika membawa keranjang baju penuh yang baru saja ia keluarkan dari kamarnya, wanita itu meletakkan keranjang di lantai lalu berkata, "Cuci ini."

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang