43. Titipan menantu.

65 6 0
                                    

“Apa ini?” Liana menerima bingkisan dengan heran, tidak biasa Dika membawa sesuatu sebagai oleh-oleh setelah dia bermain-main di luar. Senyum tipis anaknya, terasa memiliki makna hangat sehingga ia tak sungkan memegang erat bingkisan tersebut.

“Dari menantumu,” jawab Dika.

Liana membelalak, usai itu menunduk dan mengangkat tangannya yang memegang sesuatu dari menantu. Ia hampir menangis, haru atau sedih menyatu menjadi tetesan air mata. “Da-dari menantuku?” ulangnya memastikan pendengaran.

“Dia wanita yang sangat baik, aku yakin dia tidak akan terhasut kebencian Bang Darel terhadap Ibu. Tipe yang berusaha tidak memiliki musuh.”

Segera menyeka air matanya, Liana lekas duduk ke sofa untuk melihat apa yang ada di dalam bingkisan tersebut. “Apa dia membuat kue ini sendiri?” Liana mendongak, saat itu Dika memilih ikut duduk di sofa, tak luput dari perhatian Liana yang penasaran.

“Iya, dia pandai memasak dan sangat rajin. Renja Elta, menantu Ibu yang cantik.”

Prang!

“Renja Elta?!” Seorang gadis menyahut dari sudut lain menjatuhkan gelas yang ia bawa. “Ka-kalian sedang membicarakan siapa? Apa maksudnya dengan menantu? Jangan katakan padaku Bang Darel sudah menikah.” Giyah bernapas sesak, matanya gemetar juga tidak berani melanjutkan langkah ke depan.

Satu keluarga tahu bahwa Giyah menyukai abang tirinya. Tapi tidak ada yang bisa memaksa anak tertua itu meski jika Giyah mengancam untuk bunuh diri.

Dika mendengus. “Tidak ada yang aneh, Bang Darel berada di usia sempurna untuk menikah.”

“Tapi kenapa tidak ada yang memberi tahu aku?” Suaranya gemetar, hampir tidak terdengar jika tidak mendengarkan secara baik-baik. “Kalian jahat!” Giyah melarikan diri, naik menjejaki tangga, berakhir membanting pintu kamarnya.

Liana dan Dika saling tatap, lantas sama-sama melemaskan bahu. “Sana berilah pengertian pada dia,” perintah Liana, kemudian kembali terfokus untuk mencicipi buatan menantunya. Liana mensyukuri memiliki menantu yang tidak mengabaikan keberadaan mertua, meski sang suami pasti membentuk penghalang di jembatan keterikatan mereka.

Rasa manis melelah di lidah, tekstur lembut dengan aroma harum seketika memaksanya untuk menggambar asal wajah yang tak pernah ia lihat. Tangan seperti apa yang membuat kue seenak ini? Liana tidak peduli jika dukungannya pada Renja kelak akan menyakiti perasaan Giyah, yang ia tahu Darel telah menemukan rumah hangatnya, kebahagiaan anak kandungnya lebih penting. Jelas, darah lebih kental dari pada air.

Dika mengetuk pintu kamar, namun tidak ada respons dari dalam. Ini menyebalkan, kenapa dia harus membujuk Giyah? Mereka tidak sedekat itu. Belum dapat jawaban, Dika membuka pintu kamar itu sendiri. Ia lihat Giyah di posisi telungkup menenggelamkan kepala pada bantal.

“Lebih baik kau fokus sekolah aja, Giyah. Perjalananmu masih panjang,” ucap Dika berterus-terang.

Giyah mengabaikan, tersedu-sedu seolah tidak mendengar. Ucapan Dika sama sekali tidak membantunya. Ia bingung harus apa, sementara nama Renja Elta terbayang-bayang dalam benaknya.

Mendadak ia mengambil posisi duduk, meraih ponsel di samping bantalnya. “Apa dia adalah Renja istri Bang Darel?” Giyah menunjukkan foto wanita yang berfoto dengannya.

“Kau mengenal Renja?!” Ada sedikit sengatan kaget, Dika menahan diri untuk tidak merampas ponsel Giyah guna melihat lebih dekat.

“Dia kakak temanku,” ia berucap lirih, menyeka air mata menggunakan selimut. “Bodoh sekali aku bertanya-tanya siapa suaminya, dan ternyata ialah abang tiri yang sedang aku dambakan.”

Dika hampir tertawa, lekas membuang muka dan menutup mulut. “Jadi kau mau apa? Memusuhi seperti yang ada di drama?”

Giyah menatap lekat ponsel, air matanya kembali turun meski ia tidak mengedipkan mata. “Mana mungkin aku bisa bersaing dengan wanita secantik dia, belum lagi sifatnya yang luar biasa. Rajin serta baik hati.” Giyah mendongak, saling tatap dengan Dika. “Apa aku bisa menang?” tanyanya.

“Tidak. Lupakan saja, Bang Darel mencintai Renja lebih dari pada yang kau bayangkan.”

Giyah rasa itu wajar, justru tidak wajar jika Darel tidak jatuh cinta pada Renja. Pupus sudah harapan Giyah, saingannya adalah Renja Elta, si primadona atau sering dikenal kembang desa. Mendadak teringat Sera. Apa ucap gadis itu? Abang iparnya pria miskin? Bersamaan dengan air matanya, Giyah tertawa. Dika heran, merinding, dan ia pergi tanpa pamit mengira Giyah jadi gila.

***

Menggunakan angkutan umum, Giyah turun bersama wajah lesu kembali menginjak tanah perdesaan. Terlihat Sera duduk tengah ber teleponan di bawah pohon yang terdapat bangku kayu di bawahnya.

Sedetik kemudian Sera mendapati Giyah, lekas gadis itu memutuskan sambungan telepon. Ia sedikit berlari menghampiri Giyah, mengernyit, lalu berkata, “Katanya bakal lima hari di kota. Baru juga semalam berangkat sudah balik lagi. Kenapa?”

“Bukan apa-apa.”

Sera tidak memperhatikan raut wajah temannya. Mengotak-atik ponsel kegirangan menunjukkan foto seorang laki-laki. “Ini pacar baruku, anak desa sebelah, keluarganya memiliki banyak kebun. Dia kaya!”

“Tidak seperti abang iparmu?” singgung Giyah menyunggingkan senyum. Apa perlu ya dia memberi tahu Sera? Tapi Sera pasti akan menertawakannya. Hais~ tidak perlu.

“Su-sudah jangan membahasa abang iparku.”

Mereka berdua sama-sama tidak menyadari kecanggungan satu sama lain, masing-masing menyembunyikan sesuatu yang saling berkaitan. Membuang wajah, mereka berjalan ke arah berlawanan seolah baru saja dipanggil untuk pulang.

Keduanya takut ditertawakan. Ya, meski tidak tahu jikalau akan saling mengejek kemudian hari.

***

“Aw!” Renja terpekik, tersandar di dinding dalam posisi terjebak oleh satu lengan yang memenjarakannya. “A-apa? Aku belum selesai memasak.” Kegugupan menerpa kala menyadari tatapan bernafsu Darel. Bulu kuduk meremang oleh sinyal bahaya ini.

Punggul Renja diremas sensual, Darel bergerak tidak mendengarkan keluhan Renja. Ia menanggalkan spatula dari tangan Renja, usai itu mencium bibirnya penuh penghayatan bagai mengulum kelembutan marshmello.

“Em!” Renja memukul-mukul dada Darel, sejak Dika pergi tatapan pemangsa terus mengikutinya. Renja sudah waspada sejak tadi, berharap datang bulannya tiba sebelum matahari terbenam.

Perasaan terancam begitu mendominasi, sehingga Renja tidak mengerti kenapa Darel terlihat berbeda dari yang biasa ia kenal.

“Kau sengaja seharian mengurus tanaman, kau tahu niatku, kan?” bisik Darel sedikit menggigit cuping Renja.

Mengerikan, terasa ada emosi lain yang tersembunyi dari setiap sentuhannya. Renja menarik napas dalam-dalam, kali ini dia tidak bisa berpura-pura mengurus tanaman, terlebih di malam hari.

“Bagaimana kalau makan malam dulu?” tawarnya mencoba mengulur waktu agar lebih yakin atas insting anehnya tersebut.

“Makan malamku ialah kau, Renja.”

Bersambung....

Adegan 18++ ada di karya karsa. Enggak mau bocil masuk, jadi gunakan cara berbayar. Di skip juga enggak apa-apa, lanjut aja ke bab 44.




Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang