37. Menyerah.

96 7 1
                                    

Tidak ada rasa nyaman sama sekali, malam ini akan panjang seperti malam sebelumnya. Melamun dan bergadang. Renja duduk menghadap jendela kecil dan gelap, otaknya semakin panas lebih mengenaskan dari pada kotoran jatuh dari ketinggian.

Sekali lagi ia hanya melihat Sera keluar mengendap-endap bagai maling. Sampai kapan dia akan menyaksikan aksi nyata adiknya itu dari pergi hingga pulang? Apa besok malam Renja akan melihat Sera lagi? Semoga tidak, Renja berharap bisa tidur.

Subuh buta Renja mulai berkemas-kemas, bisa saja kantuknya datang seperti semalam—di pagi hari. Dia menyelesaikan banyak pekerjaan menjelang matahari terbit. Ia menggigil menyentuh air untuk mencuci, dinginnya menusuk sampai ke tulang.

Setelah semua hal yang ia lakukan, Renja kelelahan—lebih cepat sebab tidak memiliki waktu tidur cukup sejam semalam.

“Oh, sudah selesai semua.” Fika baru saja bangun, menemukan Renja berpakaian lembab serta berantakan. Dia tertawa bahagia, enak sekali kalau ada Renja di rumah. “Nanti buatkan kue bronis ya, Nak. Dua loyang.”

Renja tidak menolak, keluar dari rumah menuju warung sembako tanpa memedulikan penampilannya.

“Seharusnya kau tidak usah lama-lama menginap di rumah orang tuamu, Renja.” Pemilik toko bersuara sembari menyiapkan telur pesanan Renja. “Aku lihat kau datang dengan rapi dan cantik. Lihatlah dirimu sekarang? Pagi-pagi sudah basah, pasti habis mencuci, kan? Aku penasaran apa suamimu akan menangis melihatmu seperti ini.”

Renja mengigit bibir bawahnya menahan diri agar tidak bereaksi jelas. ‘Mana mungkin Darel peduli denganku. Sifat aslinya sudah terlihat.’

“Ini telurnya.”

“Terima kasih, Buk.”

Pemilik toko menatap nanar punggung Renja, sekalian dia mendesah berat. “Itu beli bahan kue pasti pakai uang Renja,” tebaknya, mengingat sepelit apa Fika dan Amar.

Sebelum Sera berangkat sekolah, kue bronis buatan Renja telah matang. Gadis itu membawa beberapa potong ke sekolah, berniat berbagai dengan Giyah sahabatnya.

“Kue buatan kamu enak, Renja. Mama mau jual kue jadinya, tapi kamu yang buat. Setiap hari antar ke sini sesuai pesanan mamak jika kamu pulang ke rumah suamimu.”

Renja yang tengah mengistirahatkan diri di depan TV mengangkat kepala pelan, menatap mamaknya yang mulutnya sibuk mengunyah bersama sang suami juga Kinda. Kerlingan mata tidak senang tidak dapat ia sembunyikan, membuat Fika tersentak dan hampir teesedak.

“Kenapa matamu seperti itu?!” Fika marah, baginya Renja tidak sopan.

“Aku tidak mau, Mak.” Renja berusaha tidak tertelan emosi, intonasinya masih selembut wajahnya. Tapi rasa terancam menggebu-gebu dalam benak, ia mulai ketakutan jika berlama-lama tinggal di sini.

“Kalau begitu kau ambil upah cuci saja selama tinggal di sini. Lumayan buat bayar hutang mamak di warung.”

Renja mencengkram kuat ujung bajunya yang lembab. Sadar Fika akan memanfaatkan dia semaksimal mungkin, sebut saja sebagai pelampiasan sebab Renja gagal memenuhi angan-angannya memiliki menanti kaya. Memang orang tua terkadang bersikap kekanakan dan egois.

Kinda menyaksikan itu bersebelahan dengan Amar, dia diam memendam kekesalannya. Tapi Kinda penasaran apakah Renja akan bertahan menjadi alat terus-menerus.

Renja berdiri tanpa bicara apa pun, pergi ke kamar lantas kembali beberapa menit kemudian. Dia berpenampilan rapi dan menenteng tas di sebelah tangannya. Kinda mengerjap keget untuk sesaat.

“Bang Kinda bisa antar aku pulang?” ucap Renja.

Wanita itu tersenyum lembut, Kinda tak menyangka Renja memiliki keberanian membantah. “Ok, ayo.” Kinda melirik sebentar Fika, wanita tua itu bernapas jelas seperti habis berlari ratusan meter hingga tersengal.

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang