7. Rumah dingin.

112 10 1
                                    

Tempat tidur di sebelahnya dingin dan kosong, Renja menatap lama oleh tatapan sayu dan senyum tipis yang dipaksakan.

Renja turun dari ranjang tinggi menyentuh lantai Kayu halus tak bermotif. Ia pergi ke meja segi panjang, memeriksa lauk-pauk yang ia masak. Maniknya gemetar, tak sedikitpun makanan di atas meja berkurang setelah ia tinggalkan tadi malam.

"Dia kenapa tidak pulang?" Renja menatap pintu tertutup rapat, tidak bergerak dari tempatnya untuk mencoba membiarkan udara masuk.

Dia menggelengkan kepala juga sedikit mengetuk dahinya sendiri. "Dia pasti sibuk, atau dia kelelahan dan tertidur di sana." Renja memperingati dirinya untuk mengerti.

Dia memungut makanan basi, membawa ke dapur untuk dibersihkan. Rambut panjang diikat asal menggunakan karet yang ia temukan di atas kompor, Renja mulai melakukan keahliannya dalam mengurus rumah.

Siang ini ... Darel pulang tidak, ya? Dalam sela-sela kegiatannya, dia memikirkan lagi suaminya. Apa yang disukai? Dan cara apa yang akan disenangi Darel untuk menyambut kepulangannya.

Informasi yang Renja terlalu sempit, tetangga sekitar sepertinya bukan tipe yang mau bersosialisasi--mereka diam di rumah, tak mencoba bertanya siapa dan apa yang terjadi ketika ada penghuni baru di lingkungan mereka.

"Aku tidak yakin mereka juga saling mengenal," gumam Renja, tempat ini cenderung mengabaikan urusan orang lain, mereka seperti menikmati kesunyian alam dan segala keindahannya.

Tipe penghuni privasi tinggi.

Pukul 10 siang barulah Renja membuka pintu depan, dia duduk di bangku teras sambil meletakkan teh dan camilan di atas meja bulat kecil. Menghirup aroma hangat ditemani alam subur, sensasi ini ... Renja merasa diseret ke dunia fantasi, atau zaman sebelum dunia belum mengenal teknologi serta mesin.

Nyatanya dia hanya jauh dari pemukiman masyarakat biasa.

Renja melepas ikat rambutnya, membiarkan angin bermain pada setiap helai tipis surai panjang itu. Matanya berkedip sayu setiap kali mengangkat gelas teh, merasakan uap panas membantu menyiram wajahnya.

"Terlalu tenang sampai rasanya aku hidup sendiri di dunia ini." Dia bersandar pelan, mendongak pada langit-langit kemudian menghela napas ringan.

"Haruskah aku pergi mengantar siang ke tempat kerjanya?"

Renja menimbang-nimbang niat, tetapi setelah dipikir-pikir mungkin Darel akan malu nanti. Kenapa? Renja pernah melihat semasa dia sekolah dulu, anak laki-laki malu ketika ibunya datang membawakan bekal. Renja belum mengenal Darel, dia tidak boleh mengambil langkah sembarangan.

***

"Aku penasaran seperti apa wajah istrimu. Apa dia cantik?" Yona, wanita tomboy yang merupakan adik dari pemilik bengkel bertanya. Dia juga sebagai montir, rambutnya hitam pendek, sering memakai baju kaos gelap.

"Hmm." Darel hanya menjawab singkat, tangannya sibuk melakukan sesuatu dalam perbaikan mesin mobil dam. Dia tidak melirik wanita itu sama sekali, tak ada minat juga terhadapnya.

Mata Yona gemetar, geraman tertahan tertuju pada seseorang yang tidak pernah dilihatnya, istri Darel. Yona menatap pria itu lama, mengikuti garis rahang mendamba. Pria yang ia sukai secara mendadak memiliki istri, Yona hampir pingsan mendengar kabar itu.

"Be-begitu, ya." Lalu dia tertawa sumbang. Ia berdiri, akan mengerjakan sesuatu agar otaknya sedikit sibuk.

Percuma. Rasa sakit tak terkira terus menghantam dadanya, membuat Yona selalu kehilangan fokus bahkan tidak dapat menyelesaikan pekerjaan setelah sekian jam dia di sana.

"Darel, ini sudah siang. Kau tidak pulang? Istrimu pasti sudah menunggu untuk makan siang."

Yona melirik sedikit saat abangnya menyapa Darel.

"Nanti saja."

Jawaban Darel membuat Yona mengernyit. Kenapa Darel tidak pulang? Tadi malam juga. Apa Darel tidak menyukai istrinya? Senyum Yona merekah, itu pikiran yang dapat memulihkan energinya.

'Kasihan sekali istri Darel.' Yona tertawa dalam diam. Dia kembali menatap Darel, wajah pria itu datar seperti biasa padahal dia baru saja memiliki istri. Darel sama sekali tidak memiliki semangat pengantin baru.

***

Lagi-lagi masakan Renja dingin, Darel tidak pulang ketika makan siang tadi. Matahari di luar sana akan tenggelam, Renja memilih memanaskan makanan tersebut kembali dari pada memasak yang baru.

"Malam ini pasti pulang." Dia semangat menata piring di atas meja, duduk nyaman sambil menopang dagu.

Renja melirik jendela, di luar telah gelap gulita. Karena takut, Renja pergi menutup jendela itu dengan kain, lantas dia kembali duduk dalam posisi menunggu.

Bunyi jarum jam terdengar jelas, Renja hanya terus diam tanpa tahu informasi suaminya pulang atau tidak. Jika saja dia memiliki ponsel, maka Renja akan langsung bertanya.

"Dingin lagi." Dia berucap lesu, tangannya menyentuh piring-piring memastikan suhu.

Wajahnya tergambar jelas tengah kecewa.

"Sepertinya dia tidak pulang lagi."

Renja mulai makan seorang diri, dia tetap menyisakan sedikit untuk suaminya, masih ada kemungkinan bahwa suaminya akan pulang. Dia kembali menekankan diri untuk menjadi istri yang tidak gampang mengeluh, dia harus menjadi penyemangat dan tempat pulang yang nyaman.

"Jangan manja, Renja."

Renja tersenyum tipis, usai itu dia mengemas piring bekas makannya sendiri. Menutup sisa di atas meja agar tetap aman dari kotoran.

"Jangan terlalu dipikirkan." Renja masuk ke dalam kamar, menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Dia sendiri lagi, tapi tidak apa-apa, Renja adalah sosok yang pengertian.

Seperti malam sebelumnya, suara-suara alami alam di malam hari itu menakutkan. Renja memeluk bantal guling erat, menyembunyikan kepala pada benda panjang itu untuk setidaknya meredupkan suara-suara di luar.

'Tidak ada apa-apa di sini. Darel juga biasa hidup sendiri di sini, dan dia baik-baik saja.'

Pengap mulai terasa, Renja lupa menghidupkan kipas angin, tetapi dia tidak berani keluar dari selimut atau mencoba mengintip ke luar.

Pada akhirnya Renja tetap seperti itu sampai pagi kembali tiba.

Renja duduk menyibak selimut, menemukan kasur dingin di sebelahnya. Dia menurunkan kaki ke lantai halus, akan membuang makanan basi di atas meja.

"Benar, kan? Basi." Renja menyayangkan makanan-makanan yang ia buang. Dulu saat di rumah orang tua, dia tidak pernah membuang makanan sebanyak ini. Dia merasa bersalah.

"Hari ini dia pulang nggak, ya?" ucap Renja sambil mengemas piring. Dia menahan air mata, entah sedih karena Darel yang tidak mengingatnya, atau atas makanan yang akan ia buang.

Renja menyeka air matanya, gadis itu langsung terduduk sembari terus menghapus setiap tetes yang keluar dari matanya. "Kenapa aku menangis?" Dia juga bingung, tapi perasaan tidak nyaman muncul seakan seseorang yang terbuang. "Dia sedang sibuk saja. Dia tidak lupa."

Esoknya hal serupa terjadi lagi. Renja sendiri.

Tiga hari ... ketika rumah masih baru ia pijak, lalu tuan rumah tidak kembali lagi setelah kedatangannya. Apa yang akan dirasakan? Pasti tidak enak hati. Itulah yang Renja rasakan, sebelumnya dia pernah menginap di rumah sepupu, tapi mereka tidak meninggalkan Renja seperti orang transparan.

Renja berharap hari ini Darel pulang, memakan masakannya dengan lahap. Itu saja, Renja tak meminta lebih.

Bersambung....

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang