Puluh membasahi dahi dan leher Renja, memantulkan kilatan lelah setelah dua jam lebih dia berurusan dengan pakaian kotor tanpa mesin. Renja berdiri, pinggangnya sakit dan kakinya kebas. Pakaian basah, penampilan compang-camping, bau sabun cuci di mana-mana.
Pakaian tinggal di jemur, sebelum itu dia membutuhkan bantuan untuk mengangkut itu semua.
Renja pergi ke luar melihat tas dan barang-barangnya terobrak-abrik berceceran di atas meja. Saat dia menatap dua orang perempuan di sisi sofa, mereka tak mengacuhkan; Sera bermain ponsel, Fika fokus pada TV. Bahkan bangkai buah bekas mereka makan enggak dibersihkan, mereka begitu malas jika ada Renja.
"Sera, bantu kakak angkat pakaian buat dijemur. Berat," Renja dengan sabar berucap, tetapi Sera enggan melihatnya seolah tidak mendengar apa-apa. "Sera," panggil Renja menambahkan sedikit ketegasan dalam nadanya, matanya menilik besar, siap mencubit Sera jika dia belum bergerak juga.
Sera meletakkan ponsel di samping tempat ia bersandar, tersenyum lantas menarik ponsel Renja yang di atas meja ke dalam dekapannya. "Kak, kita tukeran ponsel, yuk. Kakak ambil saja punya aku."
"Apa?!" Renja reflek merebut ponselnya dari Sera, memasukkan semua barang-barang kembali ke ke dalam tas dan tidak ditaruh lagi ke atas meja. "Enggak bisa."
"Mamak!" Sera merengek.
Wanita yang dipanggil itu menoleh kasar. "Renja! Apa salahnya mengalah dengan adik? Berikan ponselmu padanya."
Renja menggeleng keras, matanya berkilau menahan genangan air mata. "Mamak tak punya hak. Sama sekali enggak ada uang Mamak di sini, aku enggak harus menurutinya."
"Renja!" Fika membentak, sungguh dia benci Renja versi sudah menikah.
Saking penurutnya Renja dulu, sepertinya Fika salah paham. Renja memiliki pemikiran sederhana yang tidak disadari oleh mereka; Renja mengalah karena ia merasa barang yang dibeli, memakai uang orang yang meminta. Bagaimana kalau tidak? Tentu Renja merasa dia tidak ada hak menuntut untuk menyerahkan barang tanpa uang sepeser pun milik orang yang meminta.
"Kalau memang mau, minta sama suamiku. Kan yang membeli dia."
Renja pun berlari keluar, naik ke atas motornya lantas melarikan diri."Renja pekerjaanmu masih banyak!" jerit Fika mengejar namun Renja melaju menggunakan motor berisiknya.
Dulu Renja tidak bisa seperti ini, dia tidak punya tempat untuk melarikan diri. Sekarang berbeda, rumah damai bagai surga menunggu kepulangannya.
Fika mengurut pelipis frustasi, pakaian masih di belakang; belum diangkat dan dijemur. Pekerjaan rumah yang tadi dia sebutkan untuk Renja kerjakan, terbengkalai.
"Sera, kamu kenapa meminta ponsel kakakmu sekarang, sih? Lihat, dia melarikan diri." Fika menyalahkan Sera.
"Aku enggak menyangka kakak bakal kabur, Mak. Ini hal baru untuk kita."
Fika menangguk, dia juga tidak benar-benar mengenal Renja. Salah paham atas sikap penurutnya tanpa tahu jika Renja memiliki prinsip sendiri.
"Lagian kenapa juga kau mau ponsel kakakmu. Ponselmu itu juga bagus, kan? Setengahnya hasil jual ponsel lama Renja."
***
Keringat Renja kering oleh angin dari kendaraan melaju, namun matanya terus menerbangkan air mata menekan sesak di dada. Cepatlah sampai ke rumah, Renja ingin menenggelamkan wajah di bantal. Semoga Darel masih di dalam ruangannya, agar tidak melihat bagaimana Renja seperti pembantu yang ia katakan sebelum dia memakai pakaian cantik.
Mata Renja buram oleh genangan air di pelupuk mata, menggosok dengan satu tangan, namun ternyata sebelah tangannya lagi lemah tak mampu memegang kendali stang. Sedetik waktu terasa lama ketika jantungnya berdegup sadar dia akan terjatuh.
Brak!
Renja berada di tepian jalan beton putih, tersungkur bersama motor yang terpelanting tiga meter darinya. Tidak! Renja yang melambung, bukan motor. Tubuhnya terhempas keras, untuk sesaat Renja kebingungan, menggulingkan badan menatap langit biru.
"Eh?" Otak Renja lambat memberi sinyal, mengulang kembali tragedi yang membuat dia seperti sekarang. "Astaga!" Renja terbelalak, mendudukkan diri menahan sakit dan perih. Lengan dan kaki berdarah, hanya luka-luka luar, Renja masih bisa berdiri. Jalanan sepi, tidak akan ada yang mengasihani Renja.
Tertatih-tatih dia memungut motor, bersyukur motornya masih bisa hidup. "Sial banget aku harus ini," gumam Renja sambil merintih.
Renja merasakan getaran ponsel sebelum dia melanjutkan perjalanan mengenaskan. Mematikan kembali motor, merogoh tas lantas terkejut melihat kondisi layar pecah ponselnya.
Ponsel yang ia rebutkan tadi ... mungkin Renja sedang dikutuk oleh mamaknya sehingga dia mengalami hal ini.
Cool Monster, nama itu masih bisa terbaca di antara ratakan. Pun Renja masih bisa menjawabnya.
'Renja! Aku dari tadi menghubungimu!' Darel langsung bernada kasar setelah Renja menerima panggilannya.
Heran, Renja yakin tidak ada yang memanggilnya tadi, padahal sudah menitip pesan pada Sera untuk mengantisipasi. "Darel, aku-"
'Sial, aku ada keperluan di luar! Cepat pulang, aku ingin pakai motornya!'
Panggilan terputus, Renja benar-benar lemah sekarang. Untuk pertama kalinya Darel membentaknya, air mata Renja lolos dengan mudah seperti air terjun.
"Aku enggak tahu," isak Renja menyeka air matanya menggunakan tangan berdarah-darah itu. Daripada sakit fisik, Renja lebih takut Darel semakin marah. Dia kembali mengebut di jalanan, membiarkan angin menambah sakit pada luka di tubuhnya.
Renja berhasil sampai, detik selanjutnya Darel keluar dengan menggebu. "Renja! Kau-" Darel berhenti menekan kata ketika dia sepenuhnya keluar dari rumah. Terbelalak melihat istrinya tetap tegak oleh banyaknya darah. "Renja!" Kemarahan berubah menjadi kepanikan, berlari menangkap Renja yang terlihat jelas akan tumbang.
Hanya tumbang, tak mampu menopang tubuh lagi, bukan pingsan.
Darel berhasil menahan Renja sebelum membentur tanah. "Renja, kau kenapa? Apa yang terjadi?"
Renja diam, telinganya berdengung keras sehingga dia mencoba untuk keluar dari dengungan itu, matanya menatap kosong, penuh kebingungan.
Darel melirik motornya, terdapat lecet dan beberapa hal menonjol bergelantungan. Jelas Renja baru saja jatuh.
"Motornya ... kau bisa pakai sekarang," gumam Renja, berucap menatap langit seperti dia akan terbang ke sana. "Maaf." Lantas matanya tertutup, tak mampu lagi menahan kesadaran, otaknya terlalu bingung.
Dia masih mementingkan keperluan Darel daripada dirinya sendiri. Entah bagaimana cara dia sampai, mungkin jika dia telah sadar, dia juga tidak tahu jawabannya.
Sementara Darel terpaku membisu menahan Renja di pangkuan, darah ikut mengotori pakaiannya juga. Renja kotor berdebu, baju dan roknya robek. Sandal Renja juga hilang sebelah. Mata Renja sembab, dia mungkin menangis sepanjang jalan.
"A-apa karena aku?" Darel gemetar, berpikir Renja pasti kecelakaan sebab tuntutan kasarnya. Darel menghubungi seseorang untuk datang secepatnya. Hilang sudah niatnya keluar atas keperluan bodoh itu, dia telah mencelakai Renja secara tidak langsung. Itulah yang Darel pikirkan.
Darel melupakan fakta bahwa Renja terlalu cepat sampai jika diperhatikan dari waktu Darel menelepon. Tidak terpikir Renja jatuh sebelum dia memarahi. Kondisi Renja seperti ini, siapa yang sempat menelaah dalam keadaan panik? Hanya mampu menyalahkan diri sendiri.
Bersambung....
Pastikan telah membaca bab 13 dan 14 yang ketinggalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Following the Current
RomanceGadis yang terbiasa untuk mengerti dari pada dimengerti adalah gadis yang penurut. Hidup sederhana, dan bertutur lembut. Renja adalah gadis desa yang baik, namun cukup sombong dengan menolak banyak lamaran datang ke rumah. Lalu kemudian sebuah kapa...