21. Keinginan besar.

793 34 0
                                    

Renja terpaksa bangun dalam kondisi bingung, sesuatu tengah menggenggam dadanya kuat, dan napas panas di tengkuk menggelitik, benjolan di paha. Renja menoleh ke belakang, pada tatapan sayu Darel menginginkan pelampiasan.

“Tidak perlu mengkhawatirkan lukamu lagi, kan, Renja? Semua kulitnya sudah terlepaskan?” bisiknya sambil menjilati kuping Renja.

Renja merinding, menahan tangan Darel di dadanya. Terlalu kuat membuat dadanya sakit. Renja masih mencerna situasi karena otaknya lambat ketika baru bangun tidur.

Pita gaun tidur Renja ditarik, menjatuhkan pakaian gadis itu tanpa merasakan perlawanan. Dia tahu Renja sedang berpikir keras sekarang. Darel bergerak menindih Renja, mencelupkan mulutnya menikmati tonjolan di atas dada istrinya. Tangan Renja terulur mengelus rambut hitam Darel, membelai penuh kasih sayang bagai seorang ibu yang menidurkan anak.

“Kau haus, Darel?” Suara Renja serak-serak basah khas bangun tidur. Akhirnya ia tahu apa yang diinginkan oleh Darel, Renja tidak akan menutup akses sentuhan pria itu lagi.

Selagi Darel sangat sibuk, Renja berusaha bergerak mengintip gorden; belum terlihat sinar mentari menembus kain itu karena mungkin di luar masih gelap. Kembali melihat Darel, pria itu menarik dalamannya, dilempar ke belakang menghantam cermin.

Tidak ada ciuman panas di mulut, aneh melakukan ketika mereka sama-sama baru bangun tidur. Darel menjulang di atas Renja, melepas celana menyesakkan batang kerasnya. Matanya memandang lapar, sengatan dari tatapannya saja sudah menggairahkan bagi Renja seakan dibius obat terlarang.

Darel bermain-main, menggosokkan itu sensual sebelum memasukkan hati-hati. Erangan istrinya lembut, Darel menikmati wajah cantik bernafsu itu. Matanya berkaca-kaca bagai permata, rambut berantakan di atas bantal lebih menarik daripada untaian emas.

“Da-Darel,” Renja memanggil manja, mencengkram bahu Darel, menahan ritme cepat memusingkan walau usahanya sia-sia. “Pelan-pelan.” Air matanya jatuh, berlinang oleh sensasi panas sampai ke ubun-ubun.

***

Untuk kedua kalinya dalam satu malam Renja bangun, kali ini gorden lebih terang menahan cahaya masuk ke dalam. Tempat tidur lebar terasa sempit sebab pelukan erat Darel, Renja tersenyum, meletakkan tangan di atas lingkaran lengan Darel. Tiada kehangatan yang lebih baik daripada ini.

Pelan-pelan Renja melepaskan dekapan, memastikan Darel tidak terbangun oleh pergerakannya. Renja tidak mengkhawatirkan pekerjaan Darel, dari pengamatannya selama ini, Darel melakukan pekerjaan sesuka hati seolah dia hanya main-main. Kadang heran, tapi Darel bilang bengkel itu milik teman baiknya, Afri, abangnya Yona.

Mengingat nama Yona membuat Renja tidak senang, merusak pagi cerahnya.

Masak, beres-beres, mandi. Dalam waktu satu jam Renja sudah tidak memiliki pekerjaan rumah lagi, rumahnya sudah bersih dan dia sudah rapi.

“Darel, bangun, ayo makan, ini sudah siang.” Dia mengguncang tubuh Darel, tidak sulit karena Darel bangun setelah tidur cukup lama.

“Masak apa?” katanya sambil membersihkan pinggiran mata. Tubuhnya polos, hanya tertutup selimut sedikit yang melingkar di perutnya. Rambut legam acak-acakan, wajah bantal, biar begitu dia makin mempesona.

Hanya Renja yang bisa menikmati Darel dalam keadaan seperti itu, Yona mana bisa. Renja mengulum senyum, wanita yang merasa paling mengenal Darel itu hanya untuk bagian umum saja.

“Nasi goreng. Nasi semalam sayang kalau dibuang.” Renja berkata halus, tangannya menyusun bantal di atas tempat tidur.

Darel hanya mengangguk. Tanpa malu dia berjalan telanjang dengan handuk yang disematkan di pundak menuju kamar mandi. Pun akan malu sama siapa? Renja? Tidak mungkin.

Renja duduk menghadap meja, menunggu Darel selesai mengemas diri, mengetuk-ngetuk meja menggunakan jari telunjuk sembari dia melihat pemandangan di luar dari pintu yang terbuka lebar. Tadi malam dia juga menunggu sampai tertidur, entah jam berapa Darel memindahkannya ke kamar hingga membangunkan ketika dia menginginkan hubungan intim.

Dia menunggu, terus menunggu, tanpa bosan menunggu, hanya demi mendapatkan secuil perhatian.

“Sudah aku peringatkan berkali-kali, kalau lapar makan saja duluan.” Darel akhirnya datang, duduk di hadapan Renja menghalangi pandangan gadis itu dari pintu terbuka.

“Aku lebih menikmati makan bersama.” Renja mengulas senyum manis, meyakinkan bahwa dia sama sekali tidak keberatan, memang hal tersebut berdasarkan keinginan besarnya. Hanya itu yang bisa Renja lakukan untuk meyakinkan diri bahwa dia tidak sendiri.

Darel mengambil piring, menyuap duluan karena Renja tengah melihatnya intens.

“Enak,” ucap Darel tanpa perlu dimintai keterangan oleh sang pemasak. “Tidak ada yang kurang. Pas.”

Renja tertunduk mengulum senyum, dia akhirnya menarik piringnya sendiri. ‘Untung enggak ada kulit koreng yang perlu dikhawatirkan. Semua telah terlepas.’

Daripada kenyang oleh makanan, Renja lebih puas melihat piring Darel kosong. Kalau saja Darel tidak olahraga, maka dia akan gemuk demi membuat istrinya tidak murung. Pria itu bersandar di dinding, perut terlampau penuh merenggut napasnya.

“Emm… Darel.”

Darel menoleh pada gadis yang menampakkan binar lebih dari matanya, tampak ragu mengungkapkan kelanjutan dari kata-katanya. “Kenapa?” Darel menyambung, agak takut melihat gelagat istrinya yang terang keceriaannya mengalahkan warna di luar.

“Apa kau ada waktu jalan-jalan bersamaku? Keliling kampung saja, atau ke pasar malam.”

Darel mendengus. “Renja, siang ini aku akan pergi ke kota.”

Sayang sekali Darel harus melihat ekspresi surut dari wajah ceria istrinya. Mendadak wanita itu bungkam, lantas mencoba tersenyum meski sangat terlihat memaksa. “Lain kali saja, Renja,” sambung Darel.

“Iya, enggak apa-apa.”

Renja baralih mengemas piring di atas meja, membawanya pergi ke dapur sekaligus melarikan diri agar wajah kecewanya sedikit tersamarkan. Langsung dia mencuci piring bekas makan dan masak tadi, sengaja mencuci lambat agar dia memiliki waktu menata hatinya sebelum kembali ke dekat Darel.

Renja selesai, piring dan perasaannya sudah lebih bersih. Tidak butuh lama karena dia memiliki keahlian untuk mengerti daripada dimengerti. Dengan segelas teh panas di tangannya, Renja membawa ke meja untuk diberikan pada Darel.

“Berangkat jam berapa?” tutur Renja setelah duduk rapi.

“Sebelas.”

“Kapan pulangnya?”

“Mungkin tiga hari atau lebih.”

Renja mengangguk paham, di sisi lain dia menahan gejolak takut. Malam sendirian di tempat ini menyeramkan, Renja pernah merasakan itu. Bersembunyi di balik selimut sampai pagi akan terulang kembali, akan berkeringat sebab kepanasan.

“Kenapa lama banget?”

Darel mengambil gelas teh, menghirup aromanya sebelum meminum—dia mencari jeda untuk memikirkan alasan bagus. Mengintip sedikit, Renja masih menunggu dengan matanya yang selalu tertuju padanya.

“Membeli alat-alat bengkel dan mengunjungi beberapa tempat.”

“Aku boleh ikut?”

“Renja, aku sedang tidak pergi liburan.”

“Tidak bisa? Aku cuman mau dibonceng aja di belakang, enggak bakal nuntut pergi ke sana ke sini apalagi ini itu. Ya, Darel, boleh y-”

“Renja.”

Renja berhenti bicara, menunduk menunjukkan penyesalan serta kesedihan. “Maaf,” katanya pelan namun masih dapat didengar. Apa Renja terlalu banyak merengek? Kali ini salah lagi? Renja tidak tahu, keinginan besar terus mendorong untuk pada akhirnya ditekan ke dalam lagi.

Darel berdiri, mempersiapkan diri untuk keberangkatan.

“Jangan lupa selalu kunci pintu,” ucap Darel ketika dia sudah siap, pergi ke luar diikuti Renja untuk melepas kepergiannya. “Kau dengar, Renja?” Dia menoleh ke belakang.

“Iya, aku dengar.”

Darel pun pergi.

Bersambung....

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang