40. Rahasia.

79 8 0
                                    

Kinda si manusia dengan bakat kepekaan yang luar biasa, sejak masuk ke dalam rumah dia sibuk menoleh ke sana ke mari menilai semua benda yang terlihat. Ada banyak hal yang ingin ia ketahui, semenjak dicegat oleh satpam juga panggilan satpam itu pada Renja, ia yakin ada teki-teki yang harus dipecahkan.

Satpam mengenal Renja, kenapa Renja tidak? Tidak mungkin saat itu Renja sedang bercanda, cara bicaranya tidak seperti itu. Kinda mengenal Renja sejak kecil, hidup berdampingan sebelum keluarga memutuskan pindah ke kota.

Suara berisik Sera yang bercerita tidak cukup mengganggu Kinda dalam menelaah, sampai dia tidak sengaja bertemu tatapan tajam Darel duduk di kursi kayu membelakangi jendela terhadapnya. Kinda tersenyum, tapi Darel tidak menunjukkan tanda-tanda persahabatan.

"Besok aku akan membawa teman-temanku ke sini!" Sera antusias, kegirangan sendiri membayangkan reaksi temannya nanti.

Kinda melihat kernyitan halus di wajah Darel, pria itu bereaksi gelap setelah mendengar pernyataan sepihak Sera. Lantas ia menepuk pundak Sera, berkata, "Kau tidak boleh membawa siapa pun. Daerah ini bukan tempat umum," ucap Kinda agar terlihat seperti tamu yang beretika dan baik.

"Masak sih? Jangan bilang Bang Kinda terpengaruh oleh satpam main-main itu?"

"Itu satpam asli. Kau tidak dapat masuk, terlebih teman-temanmu bisa saja merusak."

Sera memberengut, pun Renja tidak membela. Lagian tidak pernah ada yang datang untuk wisata, warga di sini akan memarahi Renja jika Sera membawa teman-temannya yang akan merusuh dan merusak ketenangan mereka.

"Iya, Sera, tidak boleh!" tekan Renja. Diam-diam ia melirik Darel, menoleh ke tempat lain sebelum ia sempat raut wajah pria itu. Aneh saja melihat Darel duduk terdiam di sana seperti sedang mengawasi, tidak mungkin, kan? Dia tidak bertanya tentang Kinda, pasti belum mengetahui hubungan kekerabatan mereka.

"Suamimu memang pendiam, ya? Dia tidak duduk bergabung bersama kita. Tidak senang dengan kami atau kalian tengah berantem?" bisik Kinda terlampau dekat di telinga Renja. Tubuh mereka hampir menempel, dari sudut matanya mencuri-curi pandang, lantas tersentak sebelum Renja menjawab pertanyaannya.

"Di-dia sedang sakit gigi, biarkan saja."

Menurut Kinda tidak seperti itu, tidak ada bengkak di pipi layaknya orang sakit gigi, kecuali kekesalan super yang ia tahan sekuat tenaga. Samar-samar bibir Kinda terangkat tipis seusai menebak-nebak, mendadak merangkul Renja. "Kita dari dulu sangat dekat, jujur aku tidak cukup menganggapmu adik, Renja."

Tingkah Kinda membuat Renja dan Sera berat bingung. Ada apa dengan Kinda?

"Ada apa, Bang? Kenapa tiba-tiba?" Renja tidak ingin berpikir buruk, ia percaya sepupunya memiliki maksud lain kendati ucapannya seperti orang yang mengungkapkan perasaan.

"Tidak apa-apa, lupakan saja." Kinda tersenyum tulus, mata berkaca-kaca memainkan peran begitu baik.

"O-oh, baiklah."

Justru di mata Darel, Kinda tengah menyesali keterlambatannya, keburu telah menikah dengan cara yang tidak dalam perhitungan Kinda. Kegugupan Renja, apa maksudnya itu? Jelas sebelum menikah dengannya, wanita itu memimpikan Kinda sebagai pasangan masa depan. Menyebalkan melihat mereka tampak serasi, ia mengakui tampang Kinda enggak kalah menarik.

"Ibu merindukanmu, bagaimana kalau kau ikut denganku ke kota? Menginaplah beberapa hari."

"Tidak!" bantah Darel. "Renja ada yang ingin aku bicarakan." Darel beranjak, masuk ke kamar tanpa menoleh ke belakang.

"Tunggu sebentar, ya," pamit Renja, berdiri, langsung menyusul Darel.

Usai mereka berdua menghilang di dalam kamar, Sera menampar paha Kinda yang tertekuk di bawah meja. "Apa yang Abang lakukan? Kenapa terlihat sedang mendekati Kak Renja? Terlebih terang-terangan di depan Bang Darel."

Kinda mengelus-elus pahanya yang kepedasan akibat tamparan Sera. Mendengus, ia harus menjelaskan atau Sera akan salah paham.

"Abang sedang membantu kakakmu. Mengingat sifat kakakmu, mungkin ia diremehkan oleh sikap berbakti itu."

"Benarkah?" Sera tak menyangka, tapi jika Kinda yang berkata, maka begitulah kenyataannya. "Dari mana Abang tahu?"

"Sulit dijelaskan. Intinya begitu."

"Jadi tujuan Abang apa? Biarkan saja mereka bermasalah, bagus jika mereka bercerai. Mamak bapak bisa memilih menantu kaya."

"Kau mungkin tidak tahu, tapi Darel kaya raya. Perhatian saja seluruh ruangan ini."

Sera mendongak, menuruti perkataan Kinda. Namun dia tidak memiliki kemampuan menilai, menganggap semua sama saja. Kembali menghadap Kinda, Sera menggidikkan bahu tanda ia tidak paham.

"Rumah ini terbuat dari kayu jati, setiap polesan dalam pembangunnya tampak terencana. Vas itu," tunjuk Kinda di atas meja jendela, dekat tempat duduk Darel tadi. "Itu berasal dari China, diperjualkan melalui lelah di Hongkong dua tahun yang lalu."

"Abang sedang bercanda, kan?" Bibir Sera gemetar, jika itu benar dia akan semakin iri dengan Renja.

"Lukisan di atas pintu kamar itu pernah di pamerkan di musium London. Benda itu memiliki hak paten, siapa yang ketahuan meniru lukisan tersebut akan dikenakan pidana. Kesimpulannya benda itu tidak memiliki tiruan, tidak ada yang berani."

Ponsel mahal, hidup terawat, pakaian cantik, juga tidak tampak seperti orang kekurangan uang. Mengingat semua itu menempel pada Renja, Sera tidak punya alasan untuk membantah.

Jantung Sera berdegup kencang, entah kenapa dia merasa panas dingin. Ah, benar, ini adalah efek obsesi orang tuanya yang begitu berharap pada Sera untuk mendapatkan menantu kaya. Jika mereka tahu, apakah mereka akan berbalik meninggalkan Sera lalu berpihak pada Renja? Tanpa sadar ia mencengkram bajunya, menundukkan kepala sedalam-dalamnya.

"Jangan beri tahu ini pada mamak dan bapak, Bang."

Kinda mengerti kekhawatiran Sera. "Bantulah mamakmu mengerjakan pekerjaan rumah, kelak meski kau gagal memenuhi ekspetasi mereka, kebencian tidak akan membengkas dalam. Contohnya kakakmu, dia masih bisa memilih, menolak lamaran sana-sini dan mereka hanya marah tanpa mengusir."

Kinda menahan diri untuk tidak menyemburkan tawa. Lihatlah bagaimana ekspresi Sera begitu ketakutan. Tidak apa-apa, Kinda sengaja agar Sera tidak bertingkah seenaknya lagi. Dia harus sadar, meski dia gagal, ternyata Renja tidak berada di bawahnya tapi jauh di atas.

"Bagaimana?" ulang Kinda.

"Iya, aku akan belajar."

Selain itu Kinda tidak ingin Renja malah akan dimanfaatkan setelah perlakuan tidak adil Amar dan Fika. Jadi dia memang tidak ada niat membocorkan rahasia tersebut meski Sera tidak mengikuti sarannya.

"Jadi katakan padaku apa tujuan Abang melakukan hal itu di depan Bang Darel?"

"Hanya menggertak, menanamkan pikiran bahwa ada seseorang yang menanti Renja, yang bisa membawanya pergi ketika Renja lelah dengannya. Dengan itu dia akan lebih waspada, berhati-hati dalam bersikap."

"Memangnya akan mempan?"

"Mempan, karena dia mencintai Renja. Kau lihat api cemburu di matanya tadi? Dia belum tahu abang adalah sepupu Renja. Teman kecil, mungkin itulah yang ia pikiran tentangku."

Bersambung....

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang