14. Penurut, bukan bodoh.

890 37 2
                                    

Duduk di teras merupakan aktivitas harian Renja setelah dia menikah. Menikmati teh hangat dan cemilan, sembari mendengarkan burung bernyanyi dan menari di dahan pohon. Renja khawatir dirinya akan gemuk, dia jarang bergerak setelah menyelesaikan pekerjaan rumah di pagi hari. Lalu cemilan ... Renja mendorong semua bungkusan, sudah cukup makannya.

Untuk memastikan Renja menatap lengannya, lalu bernapas lega sebab benjolan tulang di pergelangan tangan masih terlihat. Telapak tangan Renja halus dari yang semula kasar, dia mulai memperhatikan penampilan agar suaminya tidak berpaling.

"Kapan Darel akan keluar?" Menoleh ke dalam, pada satu pintu di sebelah kamar yang tertutup rapat. Sudah delapan hari Darel tidak pergi ke bengkel, banyak menghabiskan waktu di ruangan itu. Entah apa yang pria itu lakukan, katanya merupakan pekerjaan penting.

'Dia akan menegurku jika dia lapar, atau ingin bercinta,' rutuk Renja memajukan bibir, menyayangkan Darel mesra hanya ketika melayani nafsunya.

Renja meraih ponsel tergeletak di sebelah cemilan terbengkalai, mengecek sudah jam berapa sekarang? Usai itu ia berdiri, pergi ke dapur menyiapkan sesuatu untuk makan siang.

Tok tok tok.

Dia mengetukkan punggung tangan di pintu. "Darel, ayo makan siang."

Tak butuh lama pintu terbuka, kaca mata terbingkai di wajah Darel, tampak lebih beribawa. Ya, dia sering lupa melepaskan benda itu ketika dia keluar dari ruangan, maka Renja yang akan mengingatkan atau kacamata tersebut akan berembun oleh uap dari masakannya.

"Ke meja aja duluan, sini kacamatanya aku taroh di dalam." Renja menjulurkan tangan, menunggu Darel memberikannya.

"Aku letakkan sendiri." Darel kembali masuk ke dalam sembari menutup pintu lagi, dia kembali setelahnya menghadap Renja yang masih menunggu di depan pintu.

Sama-sama mereka berjalan beberapa langkah siap mengisi perut dengan hidangan lezat. Renja mengisi piring suaminya, membiarkan Darel menyuap terlebih dahulu barulah dia menyusul. Begitulah cara Renja sangat menghormati suaminya, rumah tangga mereka belum ada memperdebatkan masalah yang tidak perlu.

Terlalu tenang, sampai rasanya Renja takut menghadapi masalah suami-istri seperti kebanyakan pasangan.

"Bagaimana?"

"Enak." Darel tidak pelit pujian atas usaha Renja, dia selalu menghabiskan masakan yang Renja masak dengan penuh kasih.

Tetapi dia tidak menunjukkan ekspresi lebih, Renja ragu apakah yang dikatakan Darel memang kebenarannya? Terlalu sulit untuk memahami Darel, dia tidak banyak bicara sehingga karakternya membutakan bagi Renja. Siapa keluarganya? Di mana dia lahir? Apa yang dia sukai, atau tidak disukai? Masa lalunya? Renja enggan bertanya takut hal itu ternyata adalah luka Darel.

"Kalau ada masalah, katakan langsung padaku."

"Tidak ada masalah, masakanmu selalu enak."

Renja membiarkan Darel menghabiskan makanannya terlebih dahulu, setelah ini dia akan memiliki kesempatan berbicara ketika Darel akan merokok di teras sambil meminum teh melati kesukaannya.

Sudah saatnya Renja tahu.

Seperti tebakan Renja, Darel pergi ke teras, Renja menyusul setelah dia membersihkan meja. Meletakkan segelas teh di atas meja bundar kecil, ikut duduk di sebelah Darel memperhatikan bagaimana asap menghilang seperti udara tidak terlihat.

"Ada apa?" Dia sadar tengah di perhatikan, menoleh sembari mengangkat sebelah alis.

"Kita sudah sebulan menikah, tapi kau sama sekali tidak ada menyinggung tentang keluargamu. Apa mereka tahu tentang aku, maksudku istrimu."

Darel menatap lurus ke depan, pada susunan rapi pohon-pohon tinggi. Lagi, dia menghembuskan asap rokok, matanya tidak terbaca selain pemandangan dia menikmati angin sejuk.

Dia meyukai tempat tinggalnya, ketenangannya, seperti dia tidak memiliki rumah selain di sini.

"Darel?"

"Aku punya ibu, dia tinggal di kota bersama suami dan dua anak tirinya," jawabnya masih dalam tatapan lurus ke dapan.

"Maksudmu ibumu menikah lagi?"

"Iya, mereka semua tinggal di rumah ayahku."

"Terus ayahmu tinggal di mana?"

"Ayahku tinggal di dalam tanah."

Renja langsung menutup mulutnya, astaga, inilah yang Renja takutkan. Baru saja Renja ingin membuka mulut lagi, klakson motor terlebih dahulu menyela. Seorang wanita berpenampilan kotor datang menggunakan motor besar. Itu Yona, yang sepertinya menyukai Darel, Renja pikir begitu.

Dan dia tidak senang melihatnya.

"Rel, kok lama enggak ke bengkel?" ucapnya sembari menapak beberapa anak tangga, naik ke atas teras. Dia berdiri dekat Darel, tidak ada bangku kayu ketiga di sini.

Renja juga tidak ada niat memberikan dia tempat.

Yona melirik Renja, dia sangat berharap Renja pergi meninggalkan tempat duduknya untuk mengalah padanya. Tetapi tidak, Renja mengangkat gelas teh seolah dia dalam keadaan nyaman sehingga siapa pun tidak dapat mengusirnya.

Jika saja Renja tidak tahu Yona menyukai Darel, maka dia akan menunjukkan keramahan layaknya memberikan perhatian pada kakek tua yang kesulitan bergerak.

"Kenapa ke sini?" Darel bertanya, mengalihkan tatapan buruk Yona pada Renja.

"Cu-cuman mau tahu aja kenapa kau enggak ke bengkel seminggu lebih." Dia berkacak pinggang, mengalihkan rasa malu sebab berdiri di antara orang duduk. Sumpah, dia tidak menyangka wanita yang terlihat rapuh ternyata pandai mempermalukan seseorang walau dia hanya diam.

"Bukan apa-apa." Darel melirik Renja dari sudut matanya. Wanita itu tenang menyesap teh, duduk anggun, tampak tidak tertarik dalam pembicaraan, sama sekali tidak ada niat untuk bergabung. Sebab itu Yona seperti mahluk transparan, tidak terlihat di mata Renja yang bersinar terang.

Darel tahu Yona datang untuk menunjukkan seberapa dekat mereka, tetapi wanita itu berujung kehilangan muka. Hebat sekali, Darel baru tahu Renja memiliki sisi jahat juga.

"Ehem, tenggorokanku kering." Yona mencoba taruhan, mempersiapkan diri jika Renja pura-pura tidak tahu dan dia akan kembali malu atau....

Renja berdiri, melempar senyum lembut. "Maafkan aku, kami tidak memiliki kursi lebih. Duduklah, kau mau teh?"

Darel mengernyit, kenapa tiba-tiba saja Renja bisa melihat Yona setelah dia mengabaikannya?

"Oh, terima kasih." Yona menempati tempat Renja tadi, mulai melemparkan banyak kata menutup kecanggungan konyol, kakinya diangkat sebelah naik ke atas kursi. "Mintak rokok sebatang, Rel."

Kemudian selang beberapa menit Renja datang membawakan segelas teh untuk Yona, memperlihatkan reaksi terkejut hampir menjatuhkan gelas sebab baru pertama kali melihat wanita merokok.

"Apa yang kau lakukan?!" pekik Renja tertahan menutup mulutnya.

"Kenapa? Mau?" tawar Yona berlagak sombong, merasa keren oleh tindakannya.

"Tidak." Renja masuk kembali ke dalam rumah, dia menahan senyum sebelum akhirnya tertawa kecil di dapur. "Dia pikir Darel menyukai wanita tomboy. Yah, aku juga berpikir begitu kemarin."

Renja bahagia karena dia berhasil menunjukkan perbedaan menonjol di hadapan Darel: Yona yang berantakan, pergaulan bebas. Atau Renja wanita rumahan yang menjaga batasannya.

Sungguh, Renja jarang terlibat dalam persaingan, itu karena Renja berpikir mengalah bukanlah masalah karena tidak ada perubahan besar setelahnya. Tapi kasus Yona berbeda, efek mengalah akan menghancurkan rumah tangganya, mimpi sederhana Renja. Renja tidak ingin kehilangan itu sebab prinsip Renja, tidak ingin disentuh lebih dari satu pria.

Bersambung....

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang