52. Tidak bisa tidur karenanya.

69 6 0
                                    

Darel menurunkan sebelah kaki menahan motor yang berhenti di depan gerbang. Ia penasaran kenapa gerbang yang seharusnya tertutup itu terbuka lebar tanpa seorangpun satpam berjaga di depan. Ia melirik ke post, melihat beberapa kaki terbujur berantakan seolah mereka mati di sana.

Maka ia mendekati mereka. Mengernyit, posisi mereka saling tumpang tindih, berantakan tak peduli tumpahan kopi di mana-mana sebab posisi demikian.

“Hei, bangun!”

Mereka tidak mendengar, Darel geram dibuatnya. Meski malam memang waktunya tidur, tapi itu bukan waktu mereka yang telah menelan uangnya. Setidaknya ada pergantian waktu sebagai peringan perkerjaan, karena mereka berjumlah empat orang.

Ada satu kardus air mineral gelas di sisi teras dalam, dia mengambil satu lantas menumpahkan air di wajah mereka.

“Tuan Darel!” Mereka sontak terduduk, tertekan oleh tatapan tidak senang dari sang majikan. “Ka-kami tertidur?” Mereka saling pandang tidak mengerti, hal seperti ini sebelumnya tidak pernah terjadi sebab mereka cukup profesional dalam pekerjaan.

“Kenapa bertanya? Kalian melalaikan tugas kalian.” Melipat tangan di dada, tidak peduli ia berhadapan dengan sekumpulan orang yang lebih tua darinya. “Kenapa kalian membiarkan gerbang terbuka? Bagaimana kalau ada penyu..! Renja!” Sontak Darel teringat sesuatu, lekas ia bergegas kembali ke atas motor. Dengan kecepatan maksimal ia menuju ke rumahnya.

Aneh, ini memang aneh. Para satpam tampak kebingungan kenapa mereka tertidur. Jelas jika mereka mengantuk akan aneh jika serentak langsung empat orang. Dengan kata lain kemungkinan besar ada peran obat tidur yang tanpa mereka sadari, contohnya kopi yang Darel lihat dari gelas dan teko bukannya dari penjual meniman.

Napas Darel memburu kala ia memarkirkan motor di depan rumah, terdiam sejenak melihat pintu yang rusak di depan sana. Maling? Tidak mungkin. Ini adalah penculikan berencana yang ia tebak pelakunya adalah seseorang yang dia kenal.

Sepanjang ia mencari Renja di dalam, Darel tidak menemukannya. Ya, tidak mungkin istrinya masih ada di dalam dan menunggunya sambil tersenyum manis.

Kaki Darel lemas, kemarahan membuncak tinggi hingga ia terpaksa duduk di birai ranjang sembari memegangi kepalanya yang seakan akan meledak. Dia tertunduk, tidak bisa berpikir jernih selain keinginan untuk membunuh Kinda. Ya, siapa lagi yang memiliki keberanian menculik istrinya? Selain pria yang keras kepala kian rutin bertengger di depan gerbang selama beberapa hari.

“Sialan!”

Ia menggenggam ponsel, seperti biasa ia akan menyulitkan asisten pribadinya yang kompeten.

“Malen, kau cari agen profesional untuk mencari istriku dan penculiknya.”

“Istri Anda diculik, Pak?”

“Otakmu sudah tidak bekerja lagi? Aku akan memecatmu!” Saat ini ia diselimuti emosi, tidak memiliki kesabaran untuk menjawab pertanyaan konyol padahal ia rasa sudah cukup jelas.

“Maaf, Pak. Siap, saya laksanakan sekarang juga. Jika ada foto si penculik akan lebih mempermudah.”

Dari kejauhan sana, Malen telah membayangkan sang majikan memasang ekspresi memangsa, ia harus berhati-hati agar tidak kehilangan pekerjaan bergaji tinggi ini. Tidak mudah mendapatkan kepercayaan Darel.

“Namanya Kinda, sepupu dari Renja, anak dari abangnya bapak mertuaku. Sisanya kau cari sendiri.”

“Baik, Pak.”

Akhirnya Darel menghempaskan diri setelah memutus panggilan. Tolong tenanglah wahai kepala! Entah denyutan pusing atau kesedihan ditinggal istri, ia tak tahu penyebab pasti air matanya menetes. Memalukan, jika saja Dika tahu pasti anak itu akan tertawa terpingkal-pingkal.

Dadanya sesak, untuk bernapas saja serasa menual serta nyeri. Bisakah ia tidur malam ini? Tanpa istrinya? Dalam kedinginan menusuk tulang seakan mau mati.

Darel melipat lengan menutupi matanya, kesunyian membuat telinganya berdengung. Tiba-tiba perutnya berbunyi, dia pulang dalam keadaan lapar lalu terpukul mudur oleh fakta istrinya dibawa pergi.

Oh, iya, tadi tampaknya di atas meja ada tudung. Darel beranjak untuk mengecek isinya. Senyum menyedihkan terangkat tipis, ada bermacam lauk pauk tertata di atas meja. Bahkan Renja sempat membuat masakan untuknya.

Biasa ia tidak mau menyentuh makanan dingin, tapi kali ini sama siapa ia bisa memprotes? Dia tidak berhak. Maka dengan senang hati Darel menghabiskan sendiri makanan, memastikan masakan istrinya tidak terbuang sia-sia.

“Enak,” ucapnya berkaca-kaca, tidak pernah ia makan dalam suasana sedingin ini. Sendiri, tanpa sosok yang menunggunya. Mungkin ia sudah tertular oleh Renja, menyukai setiap waktu makan bersama.

Sebentar lagi matahari akan terbit, sudah berapa batang rokok terbakar untuk menemani pria yang tidak bisa tidur ini? Asbaknya penuh, semalaman duduk di teras memandang kegelapan di hutan dalam lamunan. Ponsel ia letakkan di atas meja, menunggu kabar selanjutnya dari Malen tanpa jeda.

Drttt... Drettt...

“Sudah ketemu?!” ucap Darel langsung, menghempas rokoknya begitu saja ke dalam asbak.

“Sudah, Pak. Agen sewaan kita bertanya apa yang harus mereka lakukan?”

Ini kabar baik yang ditunggu oleh Darel, matanya berbinar seolah menyimpan matahari di sama setelah kabut menyelimuti mata tersebut semalam. Ia berpikir sejenak, apa yang harus ia lakukan terhadap Kinda? Jika menurut kata hati ia ingin sekali membunuhnya.

“Agen masih mengintai?”

“Masih, Pak.”

“Mereka tenga melihat Renja sekarang?”

“Iya, Nyonya tengah melamun di balkon apartemen. Agen kita di atas gedung seberang mengintai menggunakan tropong.”

“Bagaimana ekspresi istriku?”

“Matanya bengkak, sepertinya menangis semalaman. Agen juga melihat beberapa menit yang lalu, Nyonya menampar si penculik.”

Malen menggunakan dua telepon, satu terhubung dengan Darel, satunya terhubung dengan agen sewaan. Dia merupakan perantara yang membatasi privasi majikan.

“Suruh dia mengintai terus sampai beberapa hari ke depan, ikuti ke mana mereka dan memberi kabar apa saja yang mereka lakukan.” Darel tersenyum jahat, ia memiliki maksud dari tindakkan tersebut.

“Anda yakin?”

“Kau menanyakan keputusanku?”

“Ah, tidak. Baiklah kalau begitu.”

Malen menghela napas berat usai Darel memutuskan panggilan. Pekerjaannya semakin panjang sebab harus melanjutkan tugas sebagai perantara. Ia menenggelamkan kepala di atas lipatan tangan di meja. Lelah sekali, ada banyak dokumen mesti diperiksa, besok juga harus pergi meeting penting mewakili Darel.

Bawah matanya tergambar jelas kelelahan, malam semalaman ia tidur hanya dua jam, dan malam ini ia diteror oleh panggilan Darel yang menuntut kabar istrinya.

“Untung gajinya beratus juta, kalau tidak akan kabur dari posisi ini,” Malen bergumam, menertawakan nasib sebagai pekerja keras kerna istri dan putrinya memiliki hobi berbelanja barang branded.

Malen tidak pulang tidak masalah—tidur di kantor—yang terpenting uangnya nyampe.

“Ahahah, dia panik istrinya menghilang. Siapa suruh bertingkah. Pusing, kan?”

Mungkin dia sudah gila menertawakan penderitaan majikannya, anggap saja dia mabuk sebab pekerjaan yang menumpuk akibat memiliki bos yang mengambil alih jika itu urusan memang harus Darel yang menangani.

Malen rindu pulang, rumahnya di kota itu namun sudah dua bulan tidak ia pijak.




Bersambung....

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang