19. Warisan.

72 8 1
                                    

Renja bersenandung mengayuh sepedanya di balik awan tebal yang membantu memberi peneduhan dari panas menyengat. Topi pantainya jadi tidak berguna selain untuk aksesoris saja sekarang.

Sebentar lagi gerbang masuk ke dalam pemukiman hutan akan terlihat, Renja menghentikan sepeda untuk mengambil obat KB yang ia beli di apotik, lalu di sembunyikan di atas kepala atau di bawah topi agar jika kebetulan Darel ada di rumah, dia tidak melihatnya.

“Wah cantiknya adek ini.” Ibu-ibu bertopi anyaman daun pandan, memakai sepatu boots berlumpur menyapa ramah. Di lihat dari penampilan dan lokasi, Renja menebak dia adalah pekerja petani padi.

Renja pun balas tersenyum tak kalah ramah. “Terima kasih, ibu dari mana?”

“Itu dari sawah.” Dia menunjuk hamparan hijau dan separuh kuning berdampingan yang menjadi salah pemandangan indah ketika Renja melewati jalan. “Adek tinggal di sini, ya?” Sambung si ibu.

“Rumahku masuk ke gerbang itu, Buk.” Gantian Renja yang menunjuk, pada gerbang yang sudah terlihat oleh mata.

Si ibu langsung menutup mulut sungkan menggunakan tangan. “D-di dalam gerbang itu?”

“Iya.” Renja mengernyit, kenapa reaksi si ibu seperti itu? Mendadak segan. “Pemandangannya sangat indah di dalam. Heran kenapa tidak ada yang berkunjung selain orang yang punya rumah di sana atau keluarganya.”

“Wajar sih, Nyonya. Tempat itu dilarang untuk orang yang tidak punya keperluan.”

Nyonya? Kenapa panggilannya berubah? Ah, terserah si ibu mau memanggil apa. Dan kenapa orang lain dilarang masuk?

“Permisi, ya, Nyonya. Maaf kalau badan saya bau.”

“Ah, enggak, kok!”

“Nyonya baik banget. Permisi.” Dia membungkuk hormat, tidak tahu bahwa Renja kebingungan dan tidak enak hati oleh sikap hormatnya.

***

Sebelum dia turun dari motor, Dika mengatur napas menata keberanian untuk menghadap pada Darel. Pria di sana memekakkan telinga dengan palu godam menghantam ban mobil tronton. Tangan berurat kuat, dia pria kasar yang bermandikan keringat dalam ketelitian.

Dika menelan ludah kasar, seperti biasa Darel tampak dominan memesona, namun mengerikan bagi Dika yang berparas cantik tanpa cacat di kulitnya sebab dia tidak pernah melakukan pekerjaan berat selain merengek seperti bayi.

Berapa lama lagi Dika hanya memandang dari jauh? Sudah 30 menit sejak ia sampai.

Darel meletakkan godam ke tanah, beristirahat sebentar mendongak air. Ban yang Darel lepaskan dari tronton diangkat oleh pekerja lain. Ini kesempatan Dika untuk maju, menekan rasa takut sebab tidak ada benda yang mematikan di tangan Darel saat ini.

“Bang,” Dika memanggil, nyengir kuda seperti wajah penjilat handal.

Darel menoleh, usai itu membuang muka seperti tidak melihat apa-apa. Dia menghabiskan satu botol air, melemparnya ke tong 4 meter jauhnya tepat pada sasaran.

“A-aku bertemu istrimu tadi.” Dika berhasil membuat Darel menoleh lagi, pria berkeringat itu tampak tidak senang digambarkan oleh mata yang menyipit tajam. “Dia baik dan sangat cantik. Kenapa kau tidak perkenalkan pada keluarga? Kami berhak tahu.”

“Keluarga? Aku sudah lama diusir, namaku tidak pernah ada di kartu keluarga kalian.” Darel tertawa, lucu karena tiba-tiba dia harus mengakui punya keluarga saat mereka sedang butuh saja.

“Mama sedih-”

“Jangan basa-basi, katakan saja apa maumu?” Darel terkekeh mengejek, sudah tahu sebenarnya apa tujuan Dika datang.

Dika menggaruk tengkuk, bergerak tidak nyaman sembari memperhatikan sekitar. Beberapa mata memperhatikan, namun setelah tertangkap oleh Dika mereka cepat mengalihkan pandangan bergaya sok sibuk. Dika merengut sekaligus malu jika mengutarakan di tempat ini. Memangnya akan ada kesempatan lain? Dia sudah jauh-jauh datang, persetan dengan malu.

“Bang tolonglah, jika tidak mau membagi warisan milikmu setengah, setidaknya seperempat.”

Benar dugaan Darel, Dika datang selalu meminta warisan milik Darel, padahal mereka mendapat warisan sama rata dari mendiang papanya. Bedanya warisan Dika telah dihabiskan oleh dirinya sendiri, sedangkan Darel mengolah baik warisan itu.

“Aku tidak akan membagi sedikitpun, Dika. Kau tidak punya hak menuntut warisan milikku, jika dibawa ke hukum pun tidak ada gunanya bagimu.”

Dika menggeram, mengepalkan tangan menekan panas di kepala. “Bang aku terjerat hutang!”

“Bukan urusanku. Pergi, jangan menampakkan dirimu lagi di hadapanku.”

“Kau kejam! Aku ini adikmu!”

Bugh!

Darel memukul perut Dika hingga Dika terpental jatuh dan terbatuk sakit. “Jika aku menurutimu karena kau adalah adikku, maka aku akan ikut melarat sepertimu. Pergilah, jangan memancing emosiku, Dika.”

Dika berdiri susah payah, memandang Darel memakai mata menahan tangis. “Sama siapa lagi aku meminta bantuan? Cuman kau dan ibu keluarga kandungku di rumah besar itu.” Dika menyeka air mata, dia benar-benar diujung tanduk oleh hutang yang membuat dia hampir berpikir untuk bunuh diri.

“Tolong aku, Bang, aku janji bakal mengolah warisan itu,” rengek Dika meneteskan air mata menyedihkan. “Penagih terus meneror, aku sudah tidak tahan lagi.”

“Berapa hutangmu?” tutur Darel datar, terpaksa berempati oleh tangisan pengecut itu.

“480 juta.”

“Aku berikan uang 500 juta, 20 jutanya kau pikirkan sendiri untuk apa.”

“Aku maunya tanah warisan itu, Bang. Kalau uang saja akan habis setelah aku membayar hutang.”

“Dika!” Darel membentak, pengunjung dan pekerja terkejut serta terdiam olehnya. Mereka bergegas pura-pura tidak melihat atau mendengar. “Kau hanya akan menjualnya lagi, kan? Setelah itu habis kau akan datang merengek lagi padaku sampai semuanya habis.”

“Aku akan jual beberapa hektar saja, sisanya aku rawat.”

“Tidak! Tidak ada yang perlu dijual barang sejengkal pun. Kau pergi sekarang, nanti aku kirimkan uangnya.”

“Tapi Bang—Agh!”

Sekali lagi Dika mendapat pukulan di perut. Kali ini Darel berdiri melempar rokok masih menyala ke Dika yang tersungkur, memungut palu godam, meletakkan di atas bahu sambil menghadap Dika. “Bicara sekali lagi, aku tidak keberatan masuk penjara setelah membunuhmu.”

Dika meringis ketakutan, selain itu puntung rokok ikut membakar kulitnya. Datanglah bos bengkel ini, membantu Dika berdiri dan memapahnya sampai naik ke motornya sendiri.

“Dika sudah cukup. Kau seharusnya bersyukur Darel masih mau membantu adik tak tahu diri sepertimu.”

“Bang Afri,” lirih Dika pada teman dekat Darel yang merupakan bos di bengkel, dia yang membiarkan Darel melakukan hobinya di bengkel ini atas permintaan Darel tanpa perlu menggaji.

Darel tidak mau menerima uang Afri. Maka dari itu Darel suka-suka hati saja di sini.

“Aku butuh pekerjaan, Bang. Kalau aku dapat sedikit tanah Bang Darel aku akan memiliki pemasukan juga,” sambung Dika.

“Kau pikir itu mudah? Mentang-mentang tanah perkebunan milik Darel sudah jadi, kau bisa tinggal hengkang-hengkang kaki menunggu hasil? Perlu perawatan, pekerja yang perlu digaji, karyawan kantor pengelola. Kau bisa? Seperempat tanah darel tidak kecil, berarti 62,5 hektar dari 250 hektar.”

“A-aku bisa, memang dia aja yang dasarnya tamak. Padahal dia tidak terlalu bergantung dari perkebunan sawitnya, aku tahu dia juga menjadi Investor saham.”

Afri memijat pangkal hidung frustasi, jika saja dia menjadi Darel maka Afri akan meludahi wajah Dika atau menguburnya di tangki septik. Sudah dikasih hati minta jantung.

Bersambung....

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang