“Ada apa?” tanya Renja, sekali-kali ia melirik pintu yang menutup akses dengan tamu di luar. Perlakuan Darel terhadap tamu buruk, Renja tidak enak hati pada Kinda namun tidak dapat menyangkal fakta bahwa Darel diperlakukan buruk oleh keluarganya.
“Aku ingin mengajakmu keluar. Jadi bisakah suruh mereka pulang?”
Kenapa ada tamu baru mau mengajak keluar? Renja membaca niat Darel dengan sengat jelas. Melakukan hal itu untuk mengusir mereka. Ia hanya bisa menghela napas, apa yang bisa ia lakukan jika suaminya tidak menyukai keluarganya? Itu dapat dimaklumi.
Juga ... tak dapat dipungkiri Renja senang dengan tawaran Darel. Ia hampir melompat kegirangan, berterima kasih pada bakat akting alaminya yang pandai mengendalikan ekspresi.
“Baiklah, tapi aku akan berganti pakaian dulu agar terlihat lebih meyakinkan.”
Renja keluar menahan raut bersalah di wajahnya, apa lagi tatapan Kinda pada langsung tertuju pada Renja seakan bertanya-tanya apa yang terjadi.
Kinda mengernyit setelah pintu kamar terbuka setelah sekian menit menenggelamkan pasangan suami-istri di dalam sana. Pakaian Renja berbeda dengan yang tadi, lebih terlihat bergaya dan rapi dalam balutan suasana hati gembira serta kecanggungan yang disamarkan.
“Maaf, Bang Kinda, Sera. Kami akan pergi keluar.”
“Hah? Kami baru saja sampai!” Sera tidak dapat menerima, kesal jika dia harus pulang sekarang. Bagaimana pun dia belum puas menikmati tempat tinggal Renja yang menarik minatnya ini. “Kenapa tiba-tiba sekali?”
“Tidak tiba-tiba, kami sudah berencana sejak semalam,” tipu Renja meringis dalam benak. Tidak pernah dalam hidupnya mengusir tamu, ini adalah pertama kalinya. “Lain kali kalian bisa bermain lebih lama di sini.”
Sebelum merespons Kinda mengintip dari celah pintu di belakang Renja yang sepenuhnya belum tertutup. Darel duduk di tepi renjang sembari mengotak-atik ponsel dengan gaya tidak peduli. ‘Temperamennya buruk sekali.’ Kinda tersenyum tipis menyembunyikan rasa khawatir terhadap Renja. Sungguh Renja bisa bertahan dengan pria seperti itu? Karakter mereka bertolak-belakang.
‘Hm, mungkin akan baik-baik saja dengan cinta mereka masing-masing.’ Kinda meyakinkan diri. Lantas dia berdiri, menarik paksa Sera untuk ikut berdiri. Gadis itu tersentak, dia hampir mengigit lidahnya sendiri sebab perlakuan Kinda di saat Sera masih mengeluh.
“Baiklah, aku juga ada janji dengan teman. Kalau begitu kami pulang sekarang, Renja.”
“Bang! Kita baru duduk sebentar,” Sera masih mempertahankan egonya.
“Mau bagaimana lagi? Renja mau pergi keluar, kitalah yang bersalah datang mendadak. Pamit, ya, Ren.” Kemudian Kinda menyeret Sera pulang, mulut gadis itu masih berkicau tidak terima sepanjang Kinda memaksanya pulang.
Renja menghembuskan napas lega mendengar suara motor merek menjauh. Berbalik badan, menemukan Darel belum bersiap-siap. “Kenapa belum ganti pakaian?” tanyanya.
Darel melirik sebentar, sebelum dia kembali lagi terfokus pada ponselnya. Lantas menjawab acuh tak acuh, “Tidak jadi, aku ada pekerjaan lain.”
“Apa?!”
Darel melirik lagi, kali ini dia tidak membuang muka setelahnya. Pria itu berdiri, berjalan, tubuhnya menggeser Renja yang berada di ambang pintu. Di depan pintu ruangan sebelah, sebelum masuk pria itu berkata, “Antarkan teh ke dalam.” Usai itu dia menghilang.
Renja masih berdiri menghadap pintu ruangan tersebut, mencengkeram ujung baju hingga bekas kukunya menempel di telapak tangan. Ternyata Darel hanya ingin mengusir keluarganya, tidak segan menipu Renja untuk alasan tidak berperasaan seperti itu.
“Percuma saja aku berganti pakaian.” Ia menunduk melihat pakaian yang ia kenakan, jika pakaian bisa berbicara, maka mereka akan menangis seperti bayi.
Bagaimana dengan gaun yang bukan miliknya di jemuran? Apa dia sedang tertawa? Ah, pasti mereka semua sudah kering. Renja pergi ke luar, mengambil pakaian untuk dilipat dari pada meratapi nasib tidak menyenangkan. Ia bawa semua pakaian itu ke kamar, memisahkan satu gaun untuk tidak dimasukkan ke dalam lemari.
“Buang saja gaun itu atau bakar, meski dia datang jangan pernah membukakan pintu untuknya.”
Hah~ Renja teringat kemarahan Darel atas gaun tersebut. Tapi tidak ia lakukan, justru ia letakkan gaun itu di atas bantal Darel. Bertanya-tanya, apa yang ia lakukan? Darel akan marah. Namun entah bagaimana bisa Renja malah menantikkannya. Apa dia sudah gila.
Seketika tubuh Renja menegang saat mendengar pintu kamar terbuka. “Renja, kenapa lama sekali? Di mana teh–apa itu?” Dia langsung menatap gaun di atas bantalnya. Sementara istrinya menatap tanpa bersalah.
Darel melangkah cepat, menggenggam gaun itu dalam kepalan keras. “Sudah aku bilang benda ini dibuang saja, kan? Kenapa masih kau bawa ke dalam rumah ini?!” Kata-katanya di tekan kendati menahan diri agar tidak menaikkan intonasi. Tapi itu saja memberi getaran takut serta merinding bagi Renja.
Ia menyesal menuruti kata hatinya sendiri dari pada logika. Lihatlah sekarang, apa yang harus ia lakukan pada aura monster itu?
“A-aku lupa.”
Darel mendesah berat, kenapa banyak sekali hal yang membuat emosi hari ini?
“Ikut aku.” Darel menarik tangan Renja, berjalan tergesa-gesa ke arah halaman belakang membuat Renja hampir terjatuh kesulitan mengimbangi langkah Darel. Tiba mereka menginjak tanah, Darel merogoh sesuatu dalam sakunya. “Lihat ini.” Dia mengangkat tinggi gaun itu di sebelah tangan, tanpa segan atau penyesalan dia membakar dari ujung gaun menggunakan korek gas yang merupakan benda yang ia dapatkan dari saku tadi.
Renja terbelalak, terlebih ketika gaun tersebut terlempar di tanah dengan balutan api yang memakannya. Sepertinya Renja salah, gaun itu tidak sedang tertawa, dia sedang menangis mendekati ajal. Pasti begitu.
“Begitulah caranya, Renja,” imbuh Darel sembari mengelus pipi Renja lembut.
Renja ingin menunduk menyembunyikan wajah, tapi ia tidak bisa, jari Darel menjepit dagunya agar terus mendongak menatap wajahnya. “Ba-bagaimana jika pemiliknya datang menjemput?”
“Usir saja, oh kau tidak perlu melakukannya. Orang lain yang akan melakukannya.”
“Siapa?”
“Satpam di depan. Aku akan memberi tahu mereka agar tidak membiarkan wanita itu masuk apa pun alasannya.”
Ya, benar, satpam. Renja belum mendapatkan jawaban kenapa ada satpam di sana? Setelah mendengar itu dari Kinda dan Sera, Renja bertanya pada Darel. Namun ....
“Satpam itu mungkin sedang bermain-main.” Begitulah jawabannya yang justru malah Darel yang keliatan tengah bermain-main. Dia mengawasi Renja dengan tanaman di halaman, entah kenapa suasana hatinya tampak buruk sehingga Renja merinding di punggung oleh tatapan pria itu.
“Apa yang kau pikirkan? Ayo masuk.” Darel memecah lamunan Renja, merangkul pinggangnya dengan wajah puas seolah barusan dia tidak membakar gaun, tetapi membakar mood jeleknya.
“Katamu satpam di depan cuman main-main. Kenapa mengandalkan mereka?”
“Kenapa, ya? Enggak tahu.”
Siapa yang perlahan-lahan mulai gila di sini? Renja atau Darel? Renja tidak menemukan jawabannya, mengikuti langkah Darel yang merangkul pinggangnya sampai masuk ke dalam rumah.
“Jangan lupakan tehku, ya, Renja.” Dia meninggalkan Renja di dapur, tidak peduli keheranan istrinya belum padam.
Bersambung....
![](https://img.wattpad.com/cover/368075245-288-k965873.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Following the Current
RomansGadis yang terbiasa untuk mengerti dari pada dimengerti adalah gadis yang penurut. Hidup sederhana, dan bertutur lembut. Renja adalah gadis desa yang baik, namun cukup sombong dengan menolak banyak lamaran datang ke rumah. Lalu kemudian sebuah kapa...