36. Dia tidak peduli.

70 6 0
                                    

Kurang lebih pukul dua malam, Renja masih melamun menatap luar yang gelap dari jendela kamarnya yang kecil. Ia sibuk berperang dengan otaknya sendiri, dalam perasaan buruk seperti saat sekarang, Renja tidak memiliki rasa takut pada sosok menyeramkan—justru tidak ada di dalam pikirannya sekarang.

Ia melihat Sera mengendap-endap keluar dari jendela di sebelah—kamar mereka berdekatan—dari halaman samping menuju ke arah belakang. Pasti jemputan Sera telah menunggu di sana.

‘Dasar anak nakal.’

Sera beruntung lantaran Renja tidak memiliki tenaga untuk mengurusinya saat ini. Dari balik jendela gelap, dia hanya memperhatikan sampai si adik menghilang dengan sorot mata yang kosong.

Satu keinginan Renja saat ini; Tuhan buatlah ia mengantuk, otaknya terlalu capek memikirkan suaminya di sana. Harus seberapa banyak air mata yang harus ia keluarkan?

Sampai Sera pulang di saat langit menjadi jingga di sebelah barat, Renja tetap terjaga dan menyaksikan Sera kembali mengendap-endap masuk ke jendela seperti maling.

‘Perasaan baru sebentar dia pergi.’ Jika saja langit tidak menunjukkan warna, Renja akan berpikir Sera hanya kurang kerjaan; berlatih menjadi mata-mata saat semua sedang tertidur.

Lalu suara kendaraan di jalan mulai terdengar satu atau dua di setiap menitnya, mereka yang memiliki kebun berangkat lebih pagi agar bisa menyelesaikan banyak hal untuk kebutuhan panen. Renja terus memperhatikan, tidak ada lagi kegelapan di seluas ia melihat. Warna pagi yang sejuk, ditambah sedikit kabut embun, Renja membuka jendela gelap yang semalaman ia tutup.

‘Untuk pertama kali dalam hidupku, aku tidak tidur semalaman. Ini rekor yang patut dicatat sebagai malam penuh pikiran.’

Renja berdiri, melakukan peregangan ringan gara-gara punggung terasa pegal. Lalu ia menuju ke arah cermin yang hanya bisa memuat bayangan kepalanya saja—cermin kecil. Renja bereaksi tidak puas, di rumah suaminya ia bisa melihat dari ujung ke ujung bayangannya.

Wajah sembab akan menjadi pertanyaan nanti, namun sulit menyembunyikan mata merah dan kelopak mata yang membengkak. Cepat-cepat Renja keluar dari kamar membawa handuk—kamar mandi cuman satu, untuk bersama—sebelum yang lainnya keluar.

Dia akan mencoba yang terbaik menghias wajah menyembunyikan jejak kesedihan nanti.

“Renja, kau di dalam?”

Kinda mengetuk kamar mandi, orang yang sangat Renja harapkan agar bangun siang lantaran kepekaan tajam pria itu.

“I-iya.”

Siapa lagi yang bangun sepagi ini kalau bukan Renja? Kinda tahu itu, alasan kenapa dia menyebut nama Renja kendati penghuni rumah ini merupakan satu keluarga lengkap.

“Cepatlah, abang sakit perut.”

Renja selesai mandi, memakai pakaian yang semula ia pakai tadi. Handuk ia letakkan di atas kepala, berguna untuk menutup wajah Renja untuk melewati Kinda.

“Sudah selesai?”

“Sudah.”

Karena perutnya sakit, Kinda buru-buru masuk ke kamar mandi. Renja mengelus dadanya lega. Dia langsung ke dapur, menyiapkan sarapan cepat, mudah, dan enak, yaitu nasi goreng menggunakan nasi sisa semalam.

Kinda belum juga keluar dari kamar mandi walau Renja telah selesai masak. “Jangan bilang dia ketiduran di kamar mandi? Ah, tidak mungkin. Perutnya pasti sangat mules.” Renja tersenyum, jahat sebab bersyukur oleh Kinda yang belum keluar akibat sakit perut.

Kini ia bisa lega berdiam diri di kamar menjelang matanya pulih.

“Aku harus tidur setidaknya satu jam.” Renja menguap, akhirnya dia merasakan kantuk memedihkan mata.

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang