24. Bajingan yang sama.

80 6 1
                                    

Dia disambut hormat oleh beberapa orang yang ditugaskan untuk mengantarkan tamu penting dalam undangan. Pakaian rapi mengubah aura berantakan dari montir ke pria berjas bijaksana.

"Silahkan lewat sini Pak Darel." Begitulah dia dipanggil dengan sungkan meski usia masih terbilang muda.

Rapat pemegang saham, itulah alasan utama kedatangan Darel ke kota. Mata karyawan yang kebetulan lewat tersirat rasa kekaguman atau mungkin beberapanya adalah ketertarikan terpendam, Darel tetap berjalan lurus percaya diri.

Sampai di ruangan tujuan, beberapa pria telah duduk rapi saling berjabat tangan dan berbincang-bincang sebelum semua pemegang saham tiba. Darel akan menjadi yang termuda di antara mereka, biasanya mendengar tawaran perjodohan dari mulut bapak-bapak itu untuk putri mereka.

"Apa kabar, Pak Darel?" Pria yang cukup mendapat penghormatan dari Darel menyapanya terlebih dahulu. Pardi namanya, dia berbaik hati beranjak untuk menarik kursi disebelahnya mempersilahkan duduk.

"Terima kasih, Pak. Saya seperti yang Anda lihat, sehat."

Mereka bertukar senyum, Darel juga menyapa beberapa orang lainnya. Memuji satu sama lain sampai waktu rapat akhirnya dimulai. Memperhatikan, bertanya atau meragukan, sedikit debat menegangkan, lantas selesai. Mereka telah mendapat kesimpulan dan keputusan.

"Saya dengar Pak Darel sudah menikah, ya?" Rapat telah berakhir, tidak ada salahnya mengobrol hal lain. Pardi berhasil merenggut perhatian atas pertanyaannya, pandangan penasaran tertuju pada Darel.

"Bapak tahu dari siapa?" Darel menebak Dika mungkin bercerita pada temannya yang kebetulan ada hubungan dengan Pardi.

"Kabar burung."

"Benar." Ia mengaku, pun tidak ada alasan sehingga dia harus menyangkal. Dan kini ia merasakan hawa putus asa dari mereka yang menginginkan Darel sebagai menantu. Lupakan, Darel tidak tertarik pada perjodohan, kendati dia berakhir dijodohkan oleh warga di desa. Ya, mereka tidak harus tahu bagaimana pria tersebut mendapatkan pasangan.

Ketertarikan putri mereka pada Darel terlampau jelas saat mereka bertemu Darel di kantornya atau di manapun itu, akan menangis jika mendengar kabar ini dari ayah mereka masing-masing. Tentang keburukkan sikap Darel dalam memperlakukan pacarnya, maksudnya mantan pacarnya, tersembunyi rapat sehingga mereka tak ragu memuja-muja Darel.

"Sepertinya putriku akan patah hati." Salah satu pria memiliki putri mendengus berat, telah terpikir bayangan rengekkan wanita manja membuat frustrasi.

"Wanita seperti apa istri Anda, Pak Darel?" Pardi berbeda, dia tidak memiliki anak perempuan sehingga tidak punya alasan untuk menjilat Darel.

"Seperti wanita pada umumnya."

Penjelasan yang tidak jelas. Pardi hanya mengangguk-angguk saja memahami sifat Darel terkesan datar. 'Semoga dengan istrinya dia tidak seperti ini.' Harapan Pardi mulia, mengkhawatirkan hubungan minim komunikasi.

"Empat hari lagi putra keduaku akan menikah. Aku harap Anda semua berkenan hadir." Pardi mengeluarkan undangan dari tasnya, membagikan rata pada penghuni yang duduk mengelilingi meja. "Bawalah juga istri Anda, Pak Darel."

"Akan aku usahakan."

***

Darel melepaskan jasnya, melonggarkan dasi, melemparkan sembarangan ke atas meja, kemudian dia menghempas diri ke ranjang hotel empuk serta wangi tanpa melepas sepatu mengkilapnya terlebih dahulu.

Tiba-tiba saja tertawa mengingat sesuatu; jika Renja ada di sini, wanita itu akan dengan sabar membereskan kekacauan yang dibuat olehnya. "Wanita bodoh," gumam Darel, begitulah tanggapan aslinya pada istri super penurut itu.

Renja telah menunjukkan sesuatu yang menjijikkan bagi Darel, yakni pandangan memujanya sama seperti wanita lain. Haus perhatian, ingin dicintai. Menyalakan ponsel, melihat nama wanita bodoh yang mudah sekali luluh itu.

Malen, asisten pribadi, atau sebut saja orang kepercayaan Darel, berdiri di samping nakas meletakkan dokumen dan mendengar gumaman sang majikan terhadap istri. Malen hanya diam, menutup mulut seperti biasanya meski tindakan tersebut cukup kejam.

'Nyonya Renja, apa Anda akan tetap sabar jika tahu suami Anda tetaplah bajingan?' Malen tahu Renja, dia pernah mengintipnya beberapa kali sebagai penduduk biasa.

Mendadak raut panik Darel saat Renja jatuh dari motor melintas dalam benak Malen. Malen didesak untuk membawa dokter secepatnya, itulah pertama kali Malen melihat Renja meski wanita tersebut dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Tersenyum tipis. 'Benarkah dia menganggap Nyonya Renja adalah wanita bodoh? Bapak tidak sadar atas perhatiannya sendiri. Sampai repot-repot mengambil perhiasan peninggalan neneknya semalam.'

"Kenapa kau senyum-senyum?"

Malen berdehem menormalkan ekspresi. "Saya penasaran apa tujuan Anda menikah, Pak."

"Oh, aku ingin anak. Pewarisku. Siapa tahu umurku pendek, tidak sudi jika ternyata hartaku diambil oleh ibu dan suaminya itu."

"Masih ada Dika."

"Anak itu tolol, gampang diperdaya."

"Bagaimana dengan Nyonya?" Malen memicingkan mata melihat prubahan ekspresi Darel. Berpikir, tapi entah apa yang ia pikirkan.

"Renja, ya? Hem, tentu dia berperan melahirkan dan membesarkan. Dia wanita penurut, aku tidak perlu bersusah payah menanganinya."

Baiklah, Malen mengerti, Darel berperan sebagai suami tanpa berniat melibatkan rasa cinta. Pria itu tidak membuang Renja, hanya saja akan menggantungnya seumur hidup. Hubungan tanpa drama adalah niatnya, dan Renja si wanita tidak banyak menuntut adalah figur sempurna untuk hal itu.

Renja akan bertahan karena perasaannya berhasil Darel dapatkan.

"Jadi apa Anda akan membawa Nyonya ke acara pernikahan Pak Pardi?"

"Tidak." Darel melirik Malen tajam, asistennya itu terlalu banyak bicara hari ini.

"Begitu, ya." Malen melangkah mundur. "Jika tidak ada keperluan saya pamit, Pak. Permisi." Lebih baik melarikan diri. Biarkan Darel istirahat dengan sepatu yang masih melekat di kakinya.

Darel berguling terlungkup, menekan nama Renja pada layar ponsel dalam bentuk panggilan video. Menunggu, kenapa Renja lama sekali mengangkat panggilannya? Apa yang tengah dilakukan wanita itu?

'Darel.' Akhirnya dijawab. Suara Renja pelan, dan wajahnya sama sekali tidak terlihat sebab gelap.

"Kenapa gelap?"

'Aku di dalam selimut. Sendirian di sini menakutkan, suara alam di malam hari itu horor. Kau kapan pulang?'

Darel mengulum bibir, napas Renja tersengal, sepertinya dia sesak namun tidak berani keluar dari selimut. "Tidak ada apa-apa, keluarlah."

'Aku tidak berani. Cepatlah pulang, untuk pipis ke dapur saja, meski kebelet aku tahan sampai pagi.'

Benar-benar sosok wanita lemah dan pengecut, Darel menahan diri agar tidak menghinanya. Tidak mungkin wanita seperti Renja pandai menggigit, selain meringkuk seperti peliharaan sakit. Yah, gambaran sempurna sebagai pajangan.

"Aku akan pulang besok siang."

'Mau dimasakin apa?'

"Apapun tidak masalah."

Itu hanya obrolan singkat, Darel tidak dapat melihat wajah Renja selain suara lembut wanita itu yang terdengar-sedikit kecewa. Dia yang menelepon dia yang mengakhiri sepihak, mengabaikan Renja yang pasti ingin lebih lama ditemani. Jika bisa, semalaman meski lewat panggil video saja tanpa kehadiran.

Bersambung....

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang