47. Kebohongan lebih banyak.

70 9 0
                                    

Dia kecewa namun ia enggan menyuarakan. Menatap jaket di tangannya, kelembapan membuat ia tak nyaman. Jika tidak segera dicuci akan mengeluarkan bau apek. Yang benar saja Yona mengembalikan barang dari orang yang ditaksir seperti ini? Paling tidak dicuci, jelas mereka ditemani rintik hujan tadi malam.

Hanya satu jaket saja, Renja mencucinya melalui keran wastafel. Seiring tangannya bergerak, rambut panjang menjuntai ke bawah hampir merendam ujungnya sebelum Renja mengangkat kepalanya. Bagaimana ini? Tangannya sudah dipenuhi oleh sabun.

Baru akan mencuci tangan, rambutnya digenggam ke belakang oleh sosok yang mulai terasa kehadirannya.

“Biar aku saja yang ikat,” tutur Darel, ia menggunakan pita putih entah bekas apa tersangkut di paku dinding. Kini leher Renja bersih dari untaian tipis surai hitam, namun bercak-bercak di lehernya tidak tersamarkan.

“Apa tadi malam aku sangat kasar?” Ah, dia merasa tidak wajar dengan kismark bertebaran di mana-mana, itu tidak bagus menurut dokter.

“Seperti monster, aku masih dapat bersyukur kau bergadang semalaman hingga satu ronde saja membuatmu tidur. Jika tidak aku akan mati.”

Darel memeluk Renja dari belakang, mengecup-ngecup seluruh wajah hingga Renja tidak fokus mencuci.

“Sudah, sana mandi.” Renja memalingkan wajah meski tidak cukup terhindar dari kecupan Darel. Apa pria ini senang setelah menipunya? Renja tidak bisa tersenyum mengingat hal tersebut. Kulitnya yang digelitiki oleh bibir Darel ikut mati rasa, pucat dan dingin.

Darel berhenti, akan tetapi dia tidak melepaskan pelukannya. Dagu bersandar di bahu, menyipit baru menyadari apa yang dicuci oleh Renja. Pelukan itu terlepas, ia berdiri tegap memandang Renja yang acuh tak acuh.

“Aku ingat jaketku ketinggalan semalam.”

“Kau ingat padahal kau mabuk?”

Memandang tengkuk jenjang Renja, Darel penasaran ekspresi seperti apa di wajah wanita yang membelakangi dirinya. “Siapa yang mengembalikan?”

“Yona, tadi pagi dia datang.”

“Dia mengatakan sesuatu?”

“Dia hanya menceritakan keseruan kalian merayakan tahun baru di bengkel; bakar-bakaran, mabuk-mabukan.”

Darel menelan ludah kasar, ia ketahuan bohong. Ia tidak bisa setenang dulu saat menganggap Renja hanya boneka pajangan. Emosi baru ini muncul tanpa kendali karena perasaan cinta yang dimilikinya terhadap Renja. Berusaha mengurangi kerenggangan sambil membiarkan kecemburuan meluap.

“Renja, aku tidak tahu mereka akan merayakannya. Aku hanya ikut-ikutan, tentu sambil bekerja.”

“Ya, tambahkanlah kebohongan lebih banyak. Wanita bodoh ini juga tidak bisa melakukan apa-apa padamu. Ini seperti ... aku milik Darel, tetapi Darel bukan milik aku. Hanya ada satu aturan di rumah ini, yaitu aturan Darel saja.”

Tangan Renja berhenti bergerak, menunduk diam-diam menjatuhkan air matanya mengenai jaket terendam tersebut. Bahunya bergetar samar, sangat tipis hingga Darel tidak tahu Renja tengah menangis tanpa suara. Pria itu pikir Renja masih mengucek jaketnya.

‘Dasar cengeng. Seharusnya aku tidak menangis. Kayak anak kecil saja.’

“Pergilah mandi, aku akan memanaskan lauk untuku.”

Darel tidak memiliki kata-kata untuk menyanggah, meski tidak melihat air mata Renja, ia tahu wanita itu sangat sedih. Benar, keinginannya sederhana; ingin ikut merayakan tahun baru karena ia tidak pernah merasakan kebersamaannya. Darel tidak bisa mengabulkan permintaan kecil itu, karena keegoisan tak ingin istrinya menjadi perhatian laki-laki lain.

Kenapa tidak merayakan berdua saja? Tidak, Renja lebih baik di rumah saja. Malam tadi sangat dingin, niat Darel membawa Renja keluar pupus begitu saja. Jika saja tidak gerimis, maka akan ia lakukan.

Keluar dari kamar mandi semua telah tersaji di atas meja, namun ia tidak melihat Renja duduk di sana. Pergi keluar, ternyata Renja berada di samping rumah menjemur jaketnya. Wanita itu berbalik badan, mereka menemukan satu sama lain untuk sejenak tatap-tatapan.

“Kenapa keluar?” tanya Renja.

“Tidak ada.” Darel masuk lagi ke dalam rumah, berpakaian, keluar lagi, dan kali ini Renja telah duduk manis menghadap meja. “Kau belum makan?”

“Aku menunggu bangun dulu.”

Begitulah, bagaimana ia tidak jatuh cinta pada wanita ini? Di mana ia akan mendapatkan wanita seperti ini lagi jika dia kehilangannya? Rumah ini benar-benar menjadi tempat pulang setelah kehadiran Renja. Kelembutan, kesetiaan, pengertian. Bagaimanapun kelakuan Darel, Renja akan membiarkan ia makan atau istirahat terlebih dahulu sebelum menuntut pertanyaan atau apa pun.

Ah, dia jarang menuntut. Pernah, namun bisa dihitung dengan jari.

Selesai makan Renja mengelap mulut menggunakan tisu, melihat ke depan, piring Darel telah kosong, anehnya pria itu menatapnya lekat. “Ada sesuatu di wajahku?”

Darel menggeleng. “Tidak, aku menunggumu selesai makan.”

“Hmm, kenapa?”

“Renja, aku akan pergi ke kota lagi untuk beberapa hari.”

Samar, tetapi mata Renja terlihat membesar. Ia diam, menunggu Darel melanjutkan kalimatnya. Ia yakin Darel belum selesai bicara. Pria itu masih menatapnya lekat seolah ia keberatan atas keberangkatannya sendiri.

“Aku minta padamu, tolong jangan keluar dari gerbang, ya.”

Hah? Dia masih menahan Renja untuk tidak ke mana-mana? Renja berkedip cepat beberapa kali, mencerna perintah Darel berdasarkan perubahannya belakang hari ini. Apa dia memiliki musuh di luar sana? Lalu Renja akan dijadikan sandra untuk menyudutkan Darel.

Ah, tidak mungkin se drama itu. Ingin menghempas pemikirannya, tapi malah lebih terngiang-ngiang, didukung oleh ekspresi tidak tenang Darel. Lalu apa tempat ini seaman itu untuk bersembunyi?

‘Apa yang aku pikirkan? Dasar bodoh!’ Renja menarik napas dalam, kembali menaruh perhatian pada wajah tampan suaminya. “Aku masih tidak mengerti kenapa aku dilarang keluar dari gerbang.”

“Ada penjahat kelamin yang hanya mengincar wanita cantik,” tipu Darel.

“Benarkah?”

“Benar, makanya jangan keluar, ya. Kau bisa jadi korban juga.”

Jikalau Darel berpikir seperti itu, maka dia menyatakan istrinya sangat cantik. Ehem, pujian itu cukup menyenangkan bagi Renja. “Baiklah, kapan Darel akan pergi?” Akhirnya ia tidak memperpanjang masalah pengurungan ini.

Tapi....

“Habis tengah hari.”

“Darel tidak bisa membawa aku?” Ia memastikan apakah dia bisa ikut. Jelas sekali Renja bosan sendirian, pengangguran yang tidak tahu bagaimana cara menghabiskan waktunya selain tidur atau mengurus tanaman.

Darel sudah menduga akan ada pertanyaan seperti ini. “Kali ini tidak bisa, tapi mungkin lain kali.” Seperti biasa jawabannya teramat simpel. Pun Renja tidak begitu berharap, ia tahu ia akan ditolak.

Ia susun piring kotor menjadi satu tumpukan, membawanya ke wastafel untuk langsung dicuci. Ia membiarkan Darel melihat reaksi datarnya, membuat pria itu memijat pangkal hidungnya sendiri, bersandar di dinding.

‘Renja, Renja, kau seperti anak kecil yang merengek ikut ke mana pun ayahnya pergi.’

Bersambung....

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang