25. Sengaja terlambat.

71 5 0
                                    

Lagi-lagi terlambat, Darel sengaja dan ingin tahu bagaimana cara wanita itu akan menanggapinya nanti. Jika dia masih memaafkan tanpa merajuk, Darel akan merayakan kemenangan seorang diri. Malam telah kelam, warna gelap teramat pekat ketika memasuki area hutan sunyi menggunakan motor.

Darel berhenti di depan rumahnya, menunggu beberapa saat; apakah wanita itu akan berlari keluar dari selimutnya? Selayaknya istri baik yang ia katakan. Tapi tidak, tiada tanda-tanda pintu akan terbuka sendiri.

“Dia pasti tidur pulas,” gumamnya sembari melihat jam tangan.

Maraih kunci motor, Darel percaya diri melangkah dan membuka pintu dengan kunci lain yang satu gantungan dengan kunci motor. Lampu di dalam padam, meski Renja penakut dia tidak suka terang. Katanya untuk menghemat biaya listrik. Darel menghidupkan lampu untuk mendapati makanan dingin di atas meja, membayangkan berapa lama Renja duduk menunggunya pulang di situ.

Haruskah dia makan? Sayangnya Darel tidak berselera pada makanan dingin. Perlahan dia membuka pintu kamar, cahaya jingga redup dari lampu tidur adalah satu-satunya cahaya sebelum Darel datang. Kasur terisi selimut menggelembung, Darel tahu Renja bersembunyi di baliknya, pasti sesak dan kepanasan. Hebat Renja mampu bertahan.

Menyibak selimut secara lembut, memastikan penghuninya tidak terbangun agar bisa melihat wajah menderita dalam ketakutan itu. Ternyata biasa saja, tidak memiliki kerutan kening seperti yang Darel bayangkan.

Beralih melihat perut rata Renja, dia bertanya-tanya kapan perut itu akan terisi janin. Aneh, masa sebelum menikah ada saja yang mengaku hamil meski baru melakukan sekali dua kali pada mereka. Renja yang setubuhi berkali-kali malah belum terlihat tanda-tandanya.

“Wanita lacur.” Tidak, Darel tidak sedang menghina Renja, tapi pada wanita yang datang membawa perut mereka di masa lalu. Karena Darel yakin itu bukan anaknya, wanita-wanita tersebut melakukan hubungan dengan pria lain juga. Siapa yang akan percaya? Matanya menggelap mengingat itu, menyumpahi salah satu wanita di antaranya yang pernah sangat Darel cintai.

Masa lalu tetaplah masa lalu, ia tidak memiliki niat untuk kembali. Pun dia sudah muak, berharap tidak melihat wajah wanita itu atau dia akan mencekiknya sampai mati.

Masuk ke dalam selimut, menghirup dalam aroma wangi dari rambut Renja. Angin nyaman bertiup begitu saja, membisikkan irama merdu siap membimbingnya ke mimpi yang tenang dan hangat. Ini ia rasakan setiap saat ia tidur memeluk istrinya, entah kenapa bisa seperti itu. Ia pikir, mungkin karena Renja begitu baik dan penuh kasih pada pria kasar kesepian seperti dirinya.

Darel mungkin sulit membuka hatinya, tapi dia cukup sadar Renja adalah tempat pulang ternyaman. Haruskah dia berterima kasih pada warga yang memukulnya waktu itu? Karena setelahnya mereka membayar menggunakan kembang desa padanya. Peduli setan tentang keluarga Renja, nyatanya Darel tidak menjalani hidup bersama mereka.

‘Teruslah jadi istri penurut, Renja.’

Mengecup keningnya singkat, usai itu dia menunjukkan seringai jahat yang bertolak belakang dengan kelembutan barusan. Istri bak boneka benang menggelitik hati, tentu kendali ada di tangannya. Sejauh ini belum ada tanda-tanda perlawanan dari Renja, meninggikan kedudukan Darel seakan wanita itu rela menyembahnya.

***

Sepasang mata jernih menatap kosong pria lelap di sebelah. Butuh waktu baginya mengatur ingatan selepas bangun tidur, menit berikutnya dia mendapatkan seluruh kesadaran, bergembira menahan sorakan dalam batin.

‘Darel pulang!’

Binar matanya tak luput dari gambaran kesenangan, karena semalam dia menanti sampai pinggangnya lelah dalam posisi duduk di meja makan. Yah, setidaknya Darel tidak menunda hari, tidak apa-apa telat selama berjam-jam.

Oleh karena itu dia tidak ragu turun dari kasur, menghempas rasa malas ketika baru bangun. Masak apa pagi ini? Dengan gembira dia menuju ke dapur, lalu berhenti sebelum ia sampai. Meja masih terdapat masakan semalam, Darel sama sekali tidak menyentuhnya.

“Masih bisa dipanasi untuk makan siangku nanti.”

Dia memungut mangkuk, menggigit bibir pelan menahan emosi tidak enak pada makanan yang berharga. Ia pikir suaminya terlalu meremehkan makanan, seolah dia tidak pernah melihat orang kelaparan. Renja tidak menyukai sikap seperti itu.

“Huh, apa yang aku pikirkan? Ini salahku yang tidak bertanya terlebih dahulu kapan tepatnya dia akan pulang.”

Aroma masakan tercium tajam, Darel terbangun oleh itu lantas bersin. Matanya terbuka sayu, ragu-ragu ingin bangun, akan tetapi sengatan aroma ini menyiksanya.

“Masak apa wanita itu?” Dia bangun separuh terpejam, menghampiri Renja di dapur. Sekali lagi dia bersin, memicu kesadaran Renja akan kehadirannya. Senyum lembut wanita itu membungkam Darel yang hendak protes, tercekat di tenggorokan sehingga dialah tampak seperti orang bodoh di sini.

“Sana mandi,” suruh Renja, berbalik badan kembali fokus mengaduk-aduk wajan.

Darel berdehem, penampilan berantakan Renja memasak menggunakan baju tidur tipis menggodanya. Rambut yang dikuncir asal, anakannya berjatuhan di tengkuk dan sedikit lembab oleh keringat. “Cepatlah selesaikan, kita mandi bareng aja,” ucapnya penuh maksud.

Tangan Renja seketika berhenti mengaduk, otaknya sudah mengirimkan sinyal gambaran yang akan terjadi setelah ini. Tidak perlu menoleh ke belakang untuk melihat bagaimana ekspresi Darel, pasti dia tengah kelaparan bermata redup. Mandi berdua tidak pernah berakhir cepat—mengertilah maksudnya—tapi Renja hanya mengangguk, meski nanti akan memanasi masakan lagi usai itu.

Kamar mandi, jujur saja Renja tidak suka melakukan itu di situ. Punggungnya jadi sakit sebab membentur dinding lembab bahkan basah. Berbeda jika berendam berdua hanya untuk mandi, bersandar di dadanya memberikan kehangatan di antara dinginnya air.

‘Tidak mungkin dia tidak bernafsu melihat tubuh telanjang.” Mendesah pasrah, membuka seluruh pakaian tanpa keseganan pada lawan jenis. Tatapan Darel liar ke sana ke mari, dia memperhatikan seksama bagaimana satu persatu kain lepas dari tubuh.

“Semua bekas lukamu menghilang seolah tidak pernah ada,” dia menilai, kesenangan terpancar dari matanya.

“Berkat rutin minum obat dan mengoles salep.”

Darel menariknya mendekat, mengelus sensual punggung polos tanpa hambatan. Gaya dia bercinta selalu penas, melakukan hal-hal kepemilikan mutlak sebelum dia benar-benar memasuki Renja.

Renja merem melek, tidak mencoba menolak meski dia sangat ingin mendorong sentuhan nakal Darel untuk usai.

“Aku punya hadiah untukmu,” Darel berbisik, sekaligus menggigit telinga Renja.

“Eng, apa itu?”

“Kau akan tahu setelah kita selesai.”

Dia tidak berbohong, setelah semuanya beres, dan mereka telah duduk menghadap sarapan, Darel membuka kotak kecil berisi cincin berlian. “Anggap saja ini cincin nikah kita.” Darel juga menunjukkan jarinya yang terpasang cincin, menikmati ekspresi Renja yang hampir menangis oleh haru.

“Ci-cincin nikah?”

Darel menarik tangan Renja, memasangkan cincin di jarinya. “Jangan pernah melepaskan cincinnya, meski sedang mandi atau apa pun itu.”

“Kenapa?”

“Lakukan saja, aman, itu tidak akan rusak atau berubah warna.”

“Iya, baiklah.” Renja melentikkan jarinya, melihat penuh binar. “Terima kasih, Darel.”

Bersambung....

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang