28. Maksud tanpa kata-kata.

81 9 1
                                    

Gumpalan tanah telah ia sapu, setidaknya tidak lagi tampak seperti serangan babi lagi. Renja mengusap peluh menggunakan pergelangan lengan yang sekiranya cukup bersih, langit pun telah berwarna redup, hawa-hawa menyeramkan mulai tercium meski dunia seakan berhenti berputar.

Tidak ada angin, suhu dingin meningkat, pohon-pohon berhenti, daun dan rumput diam menjelma seperti batu. Satu-satunya yang bergerak hanya Renja, dia berjalan cepat, bisa disebut separuh berlari, masuk dan mengunci pintu secara panik dengan napas yang tersengal.

“Apa yang mengejarmu?”

Ia lega melihat Darel duduk bersandar di dinding kayu, dia diam tapi Renja yakin pria itu menertawakan sisi pengecutnya. Jari-jari Darel mengetuk meja, memberi irama tidak beraturan serupa menanti jawaban yang seharusnya ia dapatkan.

“Seperti yang kau lihat, aku ketakutan.” Sudut bibir Renja terangkat ringan. “Mau makan apa? Aku akan masak setelah membersihkan diri.” Tetap menjadi istri rajin, mengabaikan kelelahan tidak berguna yang tidak pantas menjadi alasan untuk membiarkan suaminya tidur dengan perut kosong.

Ketukan jari Darel berhenti, saling tatap dengan mata jernih Renja. “Mau mi rebus pakai telur saja.”

“Ok.” Renja meninggalkan tempat, menuju kamar mandi setelah dia mengambil handuk.

Dia kembali lagi hanya menggunakan handuk saja, berusaha pura-pura tidak melihat Darel karena takut pria itu menginginkan sesuatu yang tidak bisa ia penuhi dengan tubuh lelahnya itu. Lekas mengunci pintu usai ia berhasil masuk ke kamar tanpa cegatan, bersandar di belakangnya sembari mengusap dada mengucapkan kata-kata bersyukur.

“Ngantuk, setelah selesai makan aku akan langsung tidur.”

Dia keluar dari kamar telah lengkap berpakaian, melihat Darel menatapnya lekat. Renja tahu pria itu tidak suka melihat ia melarikan diri, merasa menjadi monster seperti nama kontaknya di ponsel Renja.

Tadi itu hanya spontan, bentuk perlindungan diri, Renja cukup menyesalinya. Darel pria baik, dia akan mengerti jika Renja menjelaskan—jika ia menginginkan hubungan—pun dia menjadi saksi pergumulan istrinya di halaman menjelma babi.

Benar-benar pengecut lembek, Renja takut membuat Darel kecewa.

“Barusan… kenapa kau buru-buru masuk ke kamar? Melirik saja tidak. Seperti orang yang melarikan diri.”

Seperti dugaan Renja, dia tersinggung.

Renja tersenyum kikuk, haruskah dia menjawab pertanyaan tersebut secara jujur? Tidak perlu, biasanya penolakan akan membuat seseorang merasa tertantang. Mari melemahkan tekad itu, buat dia kekenyangan sampai bergerak saja dia sulit.

“Dingin, Darel. Lagian sudah laparkan? Aku harus cepat memasak.” Dia berbohong, tampak alami meski gelisah.

Kenapa dia sangat yakin? Sebab Darel hari ini banyak tidur siang, dia akan mendapatkan efek segarnya malam ini. Renja tahu itu tidak akan berakhir cepat, pria itu memiliki stamina seperti monster.

Darel ditinggalkan ke dapur, pria itu tidak menuntut hal lain, dia menunggu sembari bermain ponsel.

Aroma yang lewat beberapa kali menggelitik hidungnya, hampir bersin, namun gagal. Sensasi tidak enak yang terkadang membuatnya emosi.

“Renja apa masih lama?” Dia memanggil berirama menuntut, ponsel telah tergeletak di atas meja seolah tidak menarik lagi. Kemudian lega melihat Renja datang dari dapur membawa panci. Darel terbelalak, sepertinya panci itu terlihat Berat. Dan benar saja, panci mendarat dengan isinya yang banyak sekali. Reflek dia menatap cepat wajah Renja. “Selain kita siapa lagi yang akan makan?”

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang