32. Bukan pemaksa.

74 4 0
                                    

Piring telah kosong, mengelap mulut menggunakan tisu, Renja melirik Darel diam-diam. Ketenangan pria itu sangat kontras, tiada tanda-tanda bahwa dia akan rela membantu Renja mendinginkan kepala seperti yang ia singgung tadi.

“Aku pikir, kau bisa mencari bengkel lain untuk berkerja.”

Darel meliriknya tidak senang, namun wanita itu berani tidak menundukkan kepalanya. Tatapan lantang itu ... ke mana perginya si wanita penakut? Ia tidak menyukai Renja seperti ini, Renja yang berani menuntut bukanlah istri yang ia kenal.

“Ada apa denganmu?”

“Aku tidak menyukai Yona.”

“Terus?”

Renja mengatupkan mulut, menahan gesekan gigi agar tidak terlihat. Tatapannya masih lekat pada Darel, saling menatap tajam, Renja mencengkeram ujung roknya kuat-kuat hingga menimbulkan bekas kuku di telapak tangan.

“Cari tempat kerja lain.”

Sudut bibir Darel terangkat, terkekeh ringan berbentuk ejekan sumbang. Benar-benar, siapa wanita yang ada di depannya ini? Sulit mempercayai mata sinis itu. Dia cemburu, Darel tahu, hanya saja sikapnya tidak dalam perkiraan yang Darel tahu.

“Mencari pekerjaan bukan perkara mudah. Kau sadar dengar dirimu sekarang? Egois dan kekanak-kanakan.”

Wanita itu melebarkan mata, seolah dia baru saja mendapatkan tamparan pedas. Napasnya tercekat bahkan sesak, tenggorokan seakan dicekik hingga ia kesulitan berbicara. Kemudian Renja melemaskan bahunya, mata yang lantang kembali sayu. Renja berdiri, masuk ke kamar tanpa mengungkapkan kekesalannya.

Piring masih berserakan di meja, wanita itu meninggalkan tanpa mengemasi terlebih dahulu. Darel juga tidak mendapatkan tehnya, duduk bersandar di dinding menatap pintu kamar yang menelan Renja.

‘Dia sama saja seperti wanita lain. Merepotkan.’ Desahan panjang keluar dari mulut, meski berhasil melihat sisi lain Renja, hanya kekecewaan yang akan tertanam. Angan-angan jahatnya—melihat Renja sebagai boneka benang—tidak sepenuhnya dapat dinikmati.

Darel memungut piring yang seharusnya tidak ia lakukan, membawanya ke belakang dan langsung mencucinya termasuk wajan bekas Renja memasak. Dia menciptakan bunyi keras, mencuci piring seperti sedang bertempur di medan perang sengit. Ia sengaja, yakin Renja tengah mengumpat di sana.

Sebentar lagi dia pasti akan keluar, jika tidak mau dapurnya berantakan oleh pecahan piring atau basah oleh air dan sabun. Darel tersenyum tipis mendengar pintu terbuka, disusul kehadiran tanpa suara langkah kaki.

“Apa yang kau lakukan?”

“Mencuci piring.”

Mencuci piring seperti apa yang sambil memukul pantat panci menggunakan sendok? Mata Renja berkedut, dari pada mencuci piring, Darel sengaja mengundang dia keluar dari kamar. Mungkin dia ingin memberitahu; pekerjaanmu belum selesai, jangan meninggalkannya.

“Biar aku saja yang mencuci piring.” Renja menggeser tubuh Darel menggunakan pundaknya, menggosok sisa piring di wastafel, memberengut diam ditemani suara gemercik keran air.

Karena Renja tidak memedulikan keberadaannya lagi, Darel meninggalkan dapur menuju ruang kerja. Beberapa file dokumen kiriman dari Malen menumpuk di komputer; bukan tentang pekerjaan saja, terdapat laporan mengenai keluarganya di kota yang semakin tidak tentu arah dalam ekonomi, di ujung tanduk kebangkrutan.

Kepala Darel berdenyut nyeri, ia pijat pangkal hidung saking geramnya. Lekas dia mematikan komputer, membanting punggung secara kasar di kursi kerja yang empuk. Rasanya ia membutuhkan pelampiasan atas pikiran bikin sakit kepala ini.

Following the CurrentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang