Kecemasan menghantam keberanian Renja, tangannya merinding memegang ponsel usai membaca pesan dari nomor tidak dikenal.
[Mamak dan bapak akan ke rumahmu. Jemput kami di jembatan yang kau bertemu dengan Sera dulu.]
Dari pesannya saja sudah ketahuan siapa pemilik nomor tidak dikenal tersebut, siapa lagi? Pasti mereka mendapatkan nomor Renja dari Sera. Pusing, Renja mengurut pelipis setelah meletakkan ponsel ke meja. Mereka akan datang, setelah kemarin Renja membangkang dan melarikan diri dari tugas rumah mereka.
“Mampus. Tidak mungkin Mama tidak mengungkitnya.”
Renja menghempaskan diri ke sandaran bangku, mendongak dan menghirup dalam-dalam udara segar dari alam. ‘Tenang, tenang. Bersikaplah seperti biasa, Renja.’ Lantas dia menoleh ke ponsel lagi—akan membalas pesannya.
[Telepon aku kalau sudah dekat. Nanti aku ke sana pakai sepeda.]
Renja membuang napas berat, pada akhirnya dia tidak bisa menolak kedatangan kedua orang tuanya.
[Pergi sekarang, kami tidak mau kepanasan menunggu di sana nanti. Awas kalau kami yang lebih dulu sampa!]
Dia menatap lama ponselnya, wajah datar namun di dalam otaknya penuh kutukan. Mereka orang tua yang melahirkan dan membesarkan, Renja menghormati mereka untuk berterima kasih atas makanan dan tempat tinggal yang mereka berikan. Namun, sikap mereka semakin meremehkan, menganggap Renja tidak pandai membenci.
“Seharusnya seorang anak tidak memusuhi orang tua.” Renja berdiri pasrah, masuk ke dalam rumah mencari jaket dan topi. Apa yang ia ucapkan dan kekesalan di dalam benaknya berbanding terbalik. Dia bukan malaikat berhati suci—hanya wanita tidak berdaya yang membungkam mulut karena mengerti dia tidak bisa hidup sendiri, berusaha melakukan yang terbaik agar tidak dibuang.
Memandang diri di cermin, memperbaiki posisi topi, menepuk pipi, lantas tersenyum. “Aku adalah Renja.” Dia kemudian memasang sepatu pansus biru muda selaras dengan rok beludru di atas lutut. Perpaduan yang pas, Renja memliki banyak pakaian untuk dipadu satukan.
Keluar mengunci pintu. Dia memungut sepeda di bawah pondok samping rumah. Udara di dalam kawasan hutan sejuk oleh bayangan pohon menghalangi cahaya matahari. Renja mengayuh santai, melewu rumah-rumah sederhana lainnya yang hampir masing-masing penghuni duduk di teras menikmati alam.
Nyanyian burung, desiran angin, daun-daun berjatuhan. Renja berada di sebuah negeri dongeng tersembunyi. Kedamaian berakhir ketika dia keluar dari gerbang. Panas langsung menyengat, bising dari kendaraan dan aktivitas penduduk mulai terlihat. Tapi tidak buruk, karena mereka termasuk bagian keindahan dalam desa. Anak-anak main layangan, peternak menggiring sapi, pekerja tani mengurus padi.
Tidak buruk bersepeda di siang hari, meski panas, Renja menggunakan topi bucket tebal berwarna putih juga sulaman bunga biru di sisinya.
“Renja!”
Belum sampai Renja ke jembatan, suara Fika membentak namanya. Dia memandang marah, berkeringat duduk di tepian. “Lama! Kami jadi ikan asin di sini. Telepon enggak diangkat!”
“Mama tidak bilang kalau kalian sudah dekat. Aku jadi sengaja mengayuh santai sepeda,” Renja menjawab takut, menoleh ke bapaknya yang tidak bicara namun terlihat kesal. “Y-ya udah ikuti aku.” Renja memutar stang, menguras tenaga agar lebih cepat sampai mengingat mereka mengeluh kepanasan.
Memasuki kawasan dalam gerbang, mereka awalnya meremehkan sampai akhirnya benar-benar masuk. “Pak!” seru Fika memukul-mukul pundak suaminya. “Bagus pemandangannya, Pak.” Terkagum oleh kenikmatan alam tersaji nyata.
“Iya, Ma. Kirain hutan pedalaman buas.” Amar menyadari ternyata Renja tidak sendiri, ada rumah lainnya berbahan kayu dengan jarak satu sama lain cukup lebar. Ia menatap punggung putrinya di depan; rambut panjang berkilau, pakaian cantik, aksesoris dan sepatu. “Renja sepertinya hidup jauh lebih baik dibandingkan masa ia masih gadis,” tutur Amar tiba-tiba.
Fika berdecak sinis sekaligus tersinggung. “Maksudnya kita memperlakukan dia buruk? Jangan tertipu oleh penampilannya, Pak, bisa saja dia sebenarnya rela berhutang demi pamer. Hidup dengan kita jauh lebih baik.”
Amar tidak membantah, pun menantunya hanya montir tambahan di sebuah bengkel.
Renja terlihat berbelok pada rumah kecil dan sederhana. Wanita itu turun dari sepeda, menaikki tangga teras, lantas membuka kunci pintu.
“Rumahnya jauh lebih layak daripada rumah kita,” Amar berbisik.
“Iya, sih. Ini kontrakan atau rumah sendiri, ya?” balas Fika sama pelannya. Fika turun sambil melihat-lihat sekitar. ‘Tempat ini benar-benar menyejukkan,’ ucapnya dalam hati.
Keduanya berjalan beriringan masuk ke dalam, mata melirik sana-sini bahkan mereka mengintip kamar Renja selagi wanita itu membuat minum di dapur. Ranjang, dan segala perabotan. Keraguan muncul dalam benak masing-masing, apa semua barang tersebut bisa dibeli dengan gaji montir?
“Ma, Pak, kalian ngapain?” Renja mengernyit, tangannya memegang nampan persegi berisi minuman dingin.
“Cuman lihat-lihat.” Fika berlagak angkuh, kemudian duduk di depan meja persegi panjang tempat Renja meletakkan nampan. “Suamimu mana?”
“Pergi ke kota, beli alat-alat bengkel.”
“Oh, jadi kacung pemilik bengkel. Coba kamu terima lamaran-”
“Sudah begini mau apa lagi? Aku jalani aja, Ma.” Renja sengaja memotong ucapan Fika, akan panjang dan ribet jika dibiarkan. Kepala Renja akan panas.
Fika tentu kesal, langsung dia menunjuk wajah Renja dengan jarinya berlagak di depan suami. “Lihat, Pak? Sudah kubilang kan, kalau dia ini jadi pembangkang semenjak nikah sama laki-laki itu!”
Renja menghela napas berat, sudah dimulai mengungkit masalah saat itu. Kuatkan hati, tekan emosi seperti biasa yang ia lakukan.
Amar meletakkan gelas usai membasuh tenggorokan kering. “Mamamu sudah cerita.”
Renja tersenyum kecut bertatapan dengan bapaknya. Pria yang tidak pernah membantu pekerjaan rumah karena merasa rumah bukan urusannya ini, mana mungkin mengerti posisi Renja. Bahkan memperbaiki genteng atau menebas rumput saja tidak mau, membebankan semua pada anak pertama.
“Aku tidak menyesal,” Renja memberitahu sambil tersenyum. Tentu mereka berdua terbelalak oleh penuturan berani tersebut. “Jika waktu bisa diulang, tidak hanya melarikan diri, aku bahkan tidak akan datang.”
“Renja!” Amar menilik tajam. “Kau merasa tidak butuh kamu lagi sekarang? Ingat, kalau kau ada masalah dengan suamimu nanti, ke mana kau akan pergi kalau bukan kembali ke rumah orang tua?”
“Tentu, kalau ada masalah aku akan datang ke sana.” Kata-kata yang keluar dari mulut Renja ringan, tidak ada emosi menekan selain suara santai. “Ke mana lagi aku akan pergi?”
“Nah, makanya kamu itu nurut sama orang tua,” sambung Fika.
Renja tersenyum tipis dan manis. “Iya, tapi setelah suamiku.”
Keduanya terhenyak. Kalau dipikir benar juga. Renja datang lalu pergi waktu itu setelah Sera menginginkan ponsel yang dibeli oleh Darel. Pemikiran Renja yang sederhana ternyata sulit dipahami mereka hingga baru mengerti sekarang. Dulu mereka dihormati karena memang tidak ada yang lebih berhak atas Renja, tapi sekarang? Renja mengutamakan suaminya, setelah itu baru mereka.
“Ehem,” Amar terbatuk mengalihkan tamparan tak berbekas dari Renja. Sedangkan Fika tercekat, tidak mengeluarkan bantahan karena tuduhannya pada Renja atas kejadian lalu patah begitu keras.
‘Anak ini … aku salah paham atas sikapnya selama ini. Penurut pada tempatnya.’ Fika menepuk jidat, mendadak bingung bagaimana cara dia mendidik Renja hingga jadi demikian.
Bersambung....
![](https://img.wattpad.com/cover/368075245-288-k965873.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Following the Current
RomanceGadis yang terbiasa untuk mengerti dari pada dimengerti adalah gadis yang penurut. Hidup sederhana, dan bertutur lembut. Renja adalah gadis desa yang baik, namun cukup sombong dengan menolak banyak lamaran datang ke rumah. Lalu kemudian sebuah kapa...