Darel kembali ke tempat tidur usai mengosongkan piring makannya, memutuskan bermalas-malasan memeluk bantal guling. Suara air dari Renja yang mencuci piring sampai ke telinganya, sebab pintu kamar masih terbuka lebar. Memejamkan mata kemudian, rasa kantuk menyerang lebih pekat, jika diingat selama di kota dia kesulitan tidur.
Rumah sendiri memang yang paling nyaman.
Melewati kamar, Renja mendesah kasihan melihat Darel terlelap. Ia pikir pria itu telah bekerja teramat keras. Berapa bonus yang didapatkan Darel setelah membeli alat-alat mesin ke luar kota? Pun sejak tadi dia tidak melihat ada benda tersebut di rumah ini.
‘Bisa jadi telah diantar terlebih dahulu ke bengkel.’
Mengambil topi di atas lemari kayu, niatnya Renja akan pergi ke luar hari ini. Halaman di depan luas, ia telah berangan-angan menanam banyak bunga di sana. Pasti menyenangkan melihat bunga bermekaran sambil duduk di teras, setidaknya ia memiliki kegiatan merawat bunga dari pada menghabiskan waktu dengan tidur.
“Aku pergi keluar dulu,” Renja berbisik di telinga Darel, tidak peduli jika permintaan izinnya didengar atau tidak.
Merapatkan pintu kamar, Renja bergerak tidak sabar menuju sepeda di samping rumah. Seperti biasa, melewati kawasan hutan menyenangkan ketika hari masih terang, lagi pula warga di sini tidak banyak tingkah; tenang dan damai, tidak menyindir atau sejenisnya.
Rambutnya menari-nari, gerbang kayu pun dilewati, barulah Renja bisa mendengar aktifitas masyarakat normal pada umumnya di desa.
“Mereka tetap bekerja meski terik.”
Kekaguman kecil berlabuh mudah di netranya sedemikian rupa, ia memaknakan bagaimana lelahnya para pekerja keras di sawah sana dengan tubuh kurus dan legam.
Mengayuh sepeda terasa ringan di sepanjang jalan ketika dia mensyukuri keadaannya, memasuki area yang lebih ramai ketika dia melewati jembatan panjang. Di sinilah pusat perbelanjaan orang desa, banyak jejeran toko menjual berbagai hal.
Celingak-celinguk, kemudian ia berhenti di toko yang terdapat berbagai macam tanaman di depannya. Biasa itu akan dibawa ke kota oleh truk, dijual dengan harga yang lebih mahal.
“Pak aku mau beli bibit tanaman yang bagus untuk halaman luas.” Renja bermaksud meminta rekomendasi, kebenaran dia adalah pemula tidak dapat disangkal.
Bapak pemilik toko lekas mengambil albumnya, memperlihatkan pada Renja dengan sangat bagus dalam pelayanannya. “Kalau halamannya luas, lebih menarik kalau ditambah rumput hias,” tuturnya di akhir penjelasan.
Di saat Renja sibuk memilih-milih, di seberang toko—warung bakso—seorang gadis menyipitkan mata memperhatikan. Lantas dia menepuk lengan teman di sebelahnya. “Sera, itu Kak Renja, bukan?”
Sera berhenti menyuap nasi, mengikuti arah telunjuk Giyah, temannya. Wanita bertopi, memakai rok di atas lutut, rambut digerai, baju dimasukkan ke dalam. Seperti biasa, penampilan kakaknya anggun, sebelum menikah atau sudah menikah. Tidak peduli jika sebelumnya dia memakai baju lusuh, dia tetap lebih menonjol dibandingkan Sera.
“Rumahnya memang di daerah sini,” jawab Sera sembari mendengus.
“Bagaimana kalau kita berkunjung?”
Saran Giyah membuatnya dipukul oleh Sera. “Gila, ya? Kita sedang bolos sekolah, dia akan memarahiku!”
Tapi mereka sudah ketahuan, Renja melihat ke arah mereka. Tampak dia pamit sebentar ke bapak penjual bibit, mendekati dua orang yang terpaku tak dapat melarikan diri.
“Sera, Giyah, kalian bolos sekolah!?” tekan Renja bersuara tegas. Dua anak SMP itu menggaruk kepala. Renja frustasi oleh tingkah nakal mereka, mau marah tapi ada banyak orang di sini.
“A-anu, Kak, kelas kami pulang lebih cepat,” Giyah membuat alasan, dia cukup berani sebab dia sering main ke rumah dan berteman baik dengan Sera.
“Pembohong. Sera, aku laporkan ini ke bapak kau bisa dipukul.”
“Kak jangan.” Sera memohon, berwajah sedih namun mengutuk Renja di dalam benaknya. Kenapa harus bertemu Renja hari ini? Salahnya juga melarikan diri ke daerah tempat kakaknya tinggal. Ketegasan Renja terkadang membuatnya merinding, kakak yang lembut dan baik hati bagaikan air laut nan tenang. Padahal dia tidak tampak menyeramkan, tipe wanita mudah ditindas.
Sera selalu berusaha membuat dirinya sendiri memiliki kuasa dengan akses kasih sayang orang tuanya lebih dominan ke arah Sera. Sera dipukul untuk kesalahan besar, tapi Renja bisa dipukul bahkan untuk masalah yang kecil, contohnya jemuran jatuh.
“Kembali ke sekolahmu, Sera.”
Sera mengepalkan tangannya, mengeraskan rahang menahan emosi. Kemudian dia berdiri, manarik tangan Giyah yang tidak sengaja terfokus pada cincin melingkar di jari Renja.
“Aku akan menelepon gurumu, kalau dalam satu jam kau masih tidak ada di sana, awas saja.”
Ini demi kebaikan adiknya, Renja bisa menghukumnya sendiri meski dia akan mendapatkan kemarahan dari Fika. Ya, Sera satu-satunya harapan mereka mendapatkan menantu kaya.
Dua gadis itu naik ke atas motor, sengaja meninggalkan tagihan yang belum dibayar. Renja sudah didatangi oleh pemilik toko di sana, Sera menyunggingkan senyum karena setidaknya ia membalas Renja dengan cara itu.
“Cincin kakakmu …” Giyah tiba-tiba bersuara, dia berada di boncengan sehingga Sera bisa mendengar meski menghantam angin cukup berisik. “Di mana kakakmu membelinya?”
“Cincin? Aku tidak lihat. Memangnya kenapa?”
“Mirip cincin milik ibu tiriku yang merupakan warisan turun-temurun menantu perempuan atau anak tertua.”
Sontak Sera tertawa mengejek. “Mana mungkin. Keluarga tirimu di kota sana kaya, kan? Yang dipakai kakaku pasti cuman barang murah yang ia beli di pasar, atau malah ia memungutnya di jalan.”
“Benarkah? Tapi berlian dan corak di ring sama persis. Aku sangat ingat, karena aku masih berharap mewarisinya.”
Giyah menyukai abang tirinya, sengaja tinggal bersama kerabat di desa dekat tempat tinggal Sera, karena kabarnya sang abang tiri berada di desa tersebut. Tapi sampai saat ini dia tidak menemukannya.
“Mungkin abangmu sudah menikah. Berhentilah berharap pada orang yang tidak terlihat.”
“Sama kakakmu? Soalnya cicin itu….”
“Heh! Abangmu kaya, kan? Tidak mungkin abang iparku yang melarat itu adalah abang tirimu.”
“Benar juga.” Giyah telah mendengar cerita tentang Renja dan suaminya dari Sera. “Aku penasaran seperti apa suami kakakmu. Seandainya waktu itu aku enggak pulang ke kota, mungkin aku bisa melihatnya juga. Setampan apa dia? Kau menghinanya miskin, tapi memuji-muji rupanya.”
“Seperti itulah.”
Sementara itu Renja kebingungan bagaimana cara membawa bibit-bibit bunganya lantaran tidak mungkin keranjang sepeda itu cukup memuat banyak sekali polibet kecil-kecil.
“Suruh orang rumah datang bawa keranjang, Dek.” tutur penjual telah menyadari kekhawatiran Renja. “Rumahnya di mana?”
“Itu, Pak, di perumahan yang lokasinya kayak di hutan itu. Melewati sawah, terus ada gerbang kayu untuk masuknya.”
“Hah? Ru-rumah di sana?!”
“Iya.” Renja mengernyit, bertanya-tanya kenapa si bapak kaget? Apa tempat itu angker? Seperti ibu-ibu petani kemarin, si bapak-bapak tiba-tiba tegang dan sungkan.
“Bi-biar karyawan saya saja yang mengantar, Nona. Anda tidak perlu repot-repot.”
Nah, kan, panggilannya pun berubah.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Following the Current
Roman d'amourGadis yang terbiasa untuk mengerti dari pada dimengerti adalah gadis yang penurut. Hidup sederhana, dan bertutur lembut. Renja adalah gadis desa yang baik, namun cukup sombong dengan menolak banyak lamaran datang ke rumah. Lalu kemudian sebuah kapa...