28 - Dugaan.

15 5 0
                                    

Happy reading! Don't forget to click the 🌟!


*



"Ini sebenarnya kamu pesen paket apa, sih?"

Teriakan Riana membuat Anciel yang lagi sibuk nyuapin Dara terhenti. Ia menoleh menatap ibunya yang berdiri di belakangnya dengan dua paket di tangannya.

Paket-paket sialan itu terus datang walaupun udah semakin sedikit. Ga kaya awal yang sehari bisa enam, sekarang sehari cuma ada dua. Mungkin yang ngirim juga udah capek.

Anicel kembali menatap piring di tangannya, sambil menyuapkan makanan ke Dara, ia lantas berucap. "Dari fans aku, Mah. Harusnya bangga anaknya punya fans."

Ekspresi Riana ga ngenakin, membuka paket tersebut dan tentunya kaget sama isinya. "Manusia mana yang jail sama kamu? Kamu ga pernah bilang Mamah?"

Kekehan kecil terdengar dari Anicel. Mau ketawa sama pertanyaan ibunya barusan, sejak kapan ibunya itu mau mendengarkan keluh kesahnya? Lucu banget pertanyaannya.

"Buat apa? Dara baik-baik aja, itu kan buat Anciel." Balas Aniel.

Riana melotot mendengar penuturan anak tengahnya itu. "Anicel, Mamah serius!"

"Aku juga serius. Dara baik-baik aja."

Manik mata yang tadinya lebar kini berubah menjadi tajam. Riana menautkan kedua alisnya, dengan kasar melempar paket yang ada di tangannya ke sembarang arah.

Dara yang tadinya asik menikmati makanan pun kaget, menatap raut wajah ibunya yang ga bisa dibilang baik itu. "Kaka, takut."

Anicel menyodorkan sendok ke hadapan Dara. "Dara itu kesayangan, Mamah ga mungkin marah ke Dara."

"KAMU GA PERNAH NGERTIIN MAMAH, NICEL!" kalimat penuh amarah itu terlontar dengan keras. Riana beranjak pergi meninggalkan ruang tengah rumahnya itu.

"Kaka.." tangan mungil Dara mencengkram takut lengan baju Kakak perempuannya. Makanan yang ada di lambungnya, bisa kapan aja keluar saking takutnya.

Anicel melirik malas, ia terus melanjutkan kegiatannya menyuapi adiknya. Memang apa perdulinya?

Langkah terburu-buru menuruni anak tangga terdengar, Ansar yang lagi nerima telfon kini keluar dari kamarnya. Atensinya menangkap dua manusia terduduk diam di sofa ruang tengah.

Ponsel di tangannya kini ia simpan begitu memutus panggilan telfon, menghampiri dua adiknya yang terlihat canggung itu.

"Apa yang terjadi? Siapa yang teriak tadi?" tanya Ansar.

Anicel sendiri menaikan kedua bahunya acuh, beranjak ke dapur untuk mencuci piring bekas makan Dara yang masih penuh.

Manik mata yang tadinya menatap Anicel, kini berpindah menatap adik bungsunya. Dara terduduk menunduk menatap karpet, air mata tiba-tiba turun dari sudut matanya.

"Ya ampun," Ansar menepuk jidatnya lelah, membawa Dara digendongannya. Tangis anak tersebut langsung pecah begitu Ansar menepuk punggung kecilnya.

Ansar menatap Anicel yang berjalan melewatinya begitu aja setelah selesai mencuci piring. Langkah cepat Anciel membuat Ansar ga sempat menghentikannya.

Lagi-lagi keributan masalah sepele. Ansar ga boleh menyatukan dua perempuan dengan ego tinggi itu, bisa-bisa dirinya udah stress duluan sebelum meninggalkan rumah.

Tangan kiri Ansar yang kosong terulur untuk memungut paket di pojok ruangan. Paket yang udah terbuka itu masih berisi kertas ga berguna, Ansar udah menemukan beberapa tersangka, tapi belum pasti juga.

ANICELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang