Tia tak mendapati Aoom berada di kamarnya. Sudah hampir dua jam Tia menunggu. Malam telah larut. Dan Aoom tidak tahu sedang berada di mana.
Nack meminta agar Tia menginap saja. Takut jika adu mulut kedua kakaknya kembali menyala. Jujur saja Nack tidak akan bisa mengatasinya jika itu kembali terjadi.
Tina beranjak ketika ia merasakan kehadiran Tia disekitarnya. Mereka sedang berada di sisi kiri halaman belakang. Duduk sambil memandangi gelombang kecil di permukaan kolam renang.
Kadang Tina suka berada di tempat ini sendirian. Ketika Engfa tak berniat mengajaknya pergi, maka ia akan memilih untuk menenangkan pikirannya di tempat ini.
“Aoom belum kembali?” Tina memandang Tia yang melempar lamunannya entah kemana.
Tia tidak menjawab. Kekhawatiran menjadi tanda paling tampak diwajahnya.
“Jika kau sangat khawatir, aku akan menemanimu mencarinya.” Seru Tina.
“Tidak usah. Engfa akan marah jika ia tahu aku membawamu.” Tia tersenyum pahit.
“Dia sedang tidur. Dan ini sudah terlalu larut untuk Aoom jika dia belum juga kembali.” Usul Tina.
Tia menggeleng.
“Dia akan kembali.”Tina tak lagi banyak bicara. Ia tahu keberatan hati Tia. Mungkin kejadian tadi menjadi pukulan terberat bagi mereka. Keluarga ini memang kekurangan komunikasi. Tapi, Tina bersyukur jika disaat seperti ini Tia ada di sini.
“Apa kau pikir Engfa akan berubah?” Tanya Tia mengisi keheningan diantara mereka.
Pantulan sinar lampu diatas permukaan air mengundang pengelihatan Tina untuk memandang.
Jika berbicara tentang Engfa, apa yang harus ia katakan. Ia hanya pekerja di rumah ini. Sekedar orang yang harus selalu ada di sisi Engfa jika ia memerlukan sesuatu. Hanya seorang yang menunggu perintah untuk dikerjakan.
“Tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya.” Tina berkata lembut.
“Kau yakin jika dia tidak perlu dikhawatirkan?” Tia menanggapinya serius.Tina tidak ada hak untuk menentukan masa depan siapapun. Penilaiannya tidak akan menjadi acuan untuk apapun di sekitarnya. Apalagi untuk Engfa.
Jika ada yang bertanya padanya tentang Engfa, ya itulah jawaban yang ia punya. Apa lagi memang?Untuk apa mengkhawatirkan kehidupan si sulung itu? Ia memiliki segalanya. Apapun.
“Sebenarnya aku juga tidak suka dengan apa yang dia lakukan.” Tia mulai membatin. “Setidaknya jika tidak bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat, dia tidak perlu menambah masalah.”
“Kenapa kau tidak mengatakan itu padanya?” Tina memandang.
“Karena aku tidak bisa.”
“Katakan itu padanya. Mungkin dia akan mengerti. Kalian harus belajar memahaminya. Banyak luka yang ia hadapi. Tapi bukan berarti dia harus melukai orang lain.” Tina hanya ingin mengatakan apa yang ingin ia katakan.Jika ada sesuatu yang mengganjal dikepalanya, dan seseorang memerlukan itu untuk sebuah kebenaran, ia akan mengatakannya dengan senang hati.
Semua orang peduli pada luka yang Engfa alami, tapi Engfa juga harus belajar untuk tidak membiarkan luka itu menginfeksi orang lain.
“Dia akan mengerti. Cobalah bicara padanya.” Tina mengusulkan.
.
Charlotte masih mengulang kejadian konyol yang terjadi siang tadi. Ucapan-ucapan yang ia dengar itu terus terulang di kepalanya.
Ia belum pernah bertemu dengan orang itu tapi perkataannya sangat menyingungnya.
“Engfa waraha…” Charlotte berucap pelan.
Charlotte meraih ponselnya. Karena pikiran kacau tidak bisa membuatnya terlelap, maka ia jadi memikirkan hal-hal yang tidak penting seperti ini.
Ia sering mendengar nama besar keluarga Waraha. Tetapi ia tidak tahu jika perusahaan yang membatalkan pertemuan itu adalah bagian dari perusahaan mereka. Dan juga Engfa Waraha? Nama itu nyaris tidak pernah didengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Blue Gaze
FanfictionCharlotte Austin tertarik pada Engfa Waraha. Orang yang hampir dibencinya karena sebuah kesalahpahaman.