Engfa duduk bersila dengan tangan terlipat di dadanya. Menatap Tia dan Tina. Juga seseorang yang baru dibawa Tia untuk bekerja dengannya. Mereka seperti sedang melakukan rapat khusus antar negara, yang Meena-nama gadis itu- rasa terlalu hening dan mencekam.
Engfa benar-benar ingin tertawa. Ia sudah sangat lelah dengan hidupnya. Segalanya sangat terkendali. Membuatnya seperti terikat oleh benang-benang yang mengusut diseluruh tubuhnya. Melilitnya sangat erat. Sampai ia benar-benar ingin melarikan diri.
Tapi, ia tahu bahwa Tia tidak berniat untuk mengendalikannya. Ia tahu segala yang terasa buruk baginya, mungkin akan berdampak baik untuk orang lain. Sama saja seperti mengorbankan dirimu untuk orang lain. Kehidupan seperti ini sangat tidak ingin dijalaninya.
"Jika kau sudah menjelaskan semuanya, aku tidak perlu lagi menyampaikan apapun padanya." Engfa menatap Tia dengan tegas. Ia memang masih tidak terima, tapi ia harus melakukannya.
Tia sudah menjelaskan apa yang harus Meena lalukan pada gadis ini. Namun berbeda dari yang lain, Meena harus menyetujui bahwa ia akan bersama Engfa selama dua puluh empat jam penuh. Itulah alasan kenapa Engfa merasa tidak terima. Ini sama seperi ia berada di dalam penjara.
Meena sudah menyanggupinya sebelum ia menyetujuinya. Yang artinya ia akan menetap di rumah ini selama ia masih diperlukan. Atau selama mereka masih punya perjanjian. Itu mungkin bisa sedikit membantu Tia mengawasi keadaan rumah ini beserta pemiliknya.
"Kau tetap harus menyampaikan beberapa kata untuknya. Apa yang kau mau dan apa yang tidak kau mau agar dia tahu." Tia seperti memberikan contoh yang sangat amat jelas pada Engfa.
"Apa jika aku mengatakannya, kau masih mengakui ucapanku?" Engfa menatap Tia tanpa ingin menutupi kekesalannya. Semua keinginannya tidak akan bisa menjadi keinginannya. Jadi rasanya untuk apa ia bersuara.
"Jangan memaksaku, Fa." Tia mengancam.
Baiklah. Engfa mengalah. Ia menatap Meena dengan tegas. Semoga gadis ini secerdik yang ia mau. Engfa malas melakukan interaksi pada siapapun. Jadi, kadang sikapnya yang dingin tidak begitu terampil untuk menunjukan kepandaiannya dalam berhubungan dengan orang lain.
"Dengar. Aku tidak akan mengatakannya dua kali. Jujur saja aku tidak berharap apapun darimu. Tapi, gadis ini," ia menunjuk pada Tia. "Dia yang memaksaku untuk menerimamu."
Engfa memberi jeda sejenak sambil memikirkan apa yang akan disampaikannya. "Aku tidak suka kau mengatur hidupku. Dan jangan mencampuri urusanku. Aku bisa melakukannya sendiri. Tugasmu hanya membantuku. Bukan untuk memerintahku. Dan juga, aku tidak suka jika kau mengkhianatiku. Aku benci pada orang yang berkhianat." Engfa mengatakan itu sambil memandang Tia sekilas. Ia tidak suka orang-orang yang ia percayai ternyata menusuknya dari belakang. Karena ketika ia sudah percaya pada seseorang, ia rela melakukan segalanya.
Tia pun paham maksudnya. Semoga itu bukan sebagai kode untuknya dari Engfa agar tidak mengurusi hidupnya melalui Meena. Mereka berdua sama cerdiknya untuk urusan ini.
Bukan Engfa tidak tahu jika Patcha adalah orang yang Tia percaya untuk menjaga Aoom. Bukan hanya untuk membantunya, tapi pasti ada maksud lain kenapa Tia memperkerjakannya. Bekerja dengan keluarga Waraha bukanlah sesuatu yang muda. Kelalaian sedikit saja mungkin bisa berhubungan dengan nyawa. Mengingat banyak kejadian yang benar-benar telah terjadi. Banyak orang yang sebenarnya tidak mau berurusan dengan keluarga ini.
Dan Tia sadar jika Engfa pun sebenarnya menyadari apa yang dilakukannya. Tapi, selama yang Engfa tahu, semuanya bertujuan baik. Hanya saja, sikap Tia terlalu mengatur. Dan Engfa tidak suka diatur.
"Ada hal yang lain?" Tanya Tia memastikan. Agar semuanya menjadi transparan. Agar semua sama-sama mengerti bagaimana keadaannya.
"Kau saja yang beritahu." Engfa masih menyimpan kesalnya pada Tia. Tapi gadis itu seperti telah terbiasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Blue Gaze
FanfictionCharlotte Austin tertarik pada Engfa Waraha. Orang yang hampir dibencinya karena sebuah kesalahpahaman.