Sementara itu

403 40 3
                                    

Tidak banyak kata yang bisa Engfa katakan pada Aoom ketika gadis itu mengatakan bahwa ia berencana menambah beberapa aset atas nama keluarga Waraha.

Sebagai sulung, Engfa berhak mengetahui tindakan yang akan dilakukan Aoom apalagi jika berhubungan dengan keuangan. Tetapi sejak awal Engfa memang tidak berminat mengurusi apapun.

Ayahnya meninggalkan mereka dengan tanggungjawab yang besar. Tidak memberikan pilihan selain harus tetap berjuang mempertahankan nama besar Waraha. Dan itu adalah beban yang cukup berat untuk Aoom. Ia harus menggantikan ayahnya juga Engfa untuk bertanggung jawab.

Hari ini Engfa menerima panggilan dari Nesa untuk menemuinya di kantor agensi tempatnya bernaung. Sun ingin bertemu. Ada sesuatu yang harus mereka bicarakan.

Tina bangkit berdiri ketika Engfa sudah terlihat muncul dan menuruni tangga, menuju ke arahnya.

"Kalian mau kemana?" Nack yang kebetulan ada di sana bersama Jinny bertanya ketika Engfa berhenti di hadapan mereka.

"Siang, kak Fa." Jinny memberi salam pada Engfa, sopan sambil tersenyum. Mendapati itu Engfa hanya meresepon dengan memainkan wajahnya. Sedikit tersenyum, tapi susah dikatakan jika itu adalah sebuah senyuman. Ia tidak begitu pandai merespon orang lain.

Tina memberikan kepadanya beberapa hal yang dititipkan oleh Nesa. Engfa menerimanya. Kemudian mencoba untuk duduk di sofa di sebelah Nack yang duduk dibawah. "Katanya kau harus memeriksanya sebelum berangkat."

Engfa mengangguk. Mulai membuka tas berisi beberapa kertas lampiran yang baru diterimanya.

"Kalian mau kemana?" Nack bertanya sekali lagi. Berhubung pertanyaannya yang tadi belum mendapat jawaban. Engfa menatap Nack, "Ada sesuatu yang mau kukerjakan." Ucapnya kembali memeriksa lembaran.

"Akhir-akhir ini kau sering keluar. Apa sudah ada tawaran shooting?" Nack bangkit berdiri dan duduk tepat di sebelah Engfa. Ia sedikit penasaran. Jika kakaknya mulai sibuk bekerja, ia juga akan merasa senang. Tapi Nack harus memastikannya terlebih dahulu.

Engfa menatap Nack yang menatapnya. Sekilas ia merasa Nack sedikit menganggu, tapi kadang ia lupa jika Nack juga adiknya.
"Ini bukan urusanmu." Ucap Engfa sedikit datar, dan kembali mengurus pekerjaanya.

Nack menggembungkan pipinya. Sedikit kesal karena Engfa selalu bersikap tidak bisa menyenangkan hatinya. Tinggal jawab saja. Apa susahnya. Nack sering tidak pernah tahu apa yang terjadi di rumah ini. Ia sering merasa tidak pernah dilibatkan dalam apapun.

"Bagaimana bisa jadi urusanku jika kak Fa tidak pernah memberitahu." Serunya merasa butuh keadilan.

Engfa tertegun sejenak. Ia mulai memahami perkataan Nack yang sedikit mengganggunya. Tetapi ada benarnya. Tatapannya kembali ia arahkan ke Nack yang menatapnya kesal.

"Ada beberapa hal yang tidak harus kau tahu. Dan ada beberapa hal yang nanti kuberitahu, jika memang kau harus tahu." Engfa bangkit berdiri. Mulai bersiap pergi. Ia menatap Jinny dan tersenyum. Jinny membalasnya lembut. Lalu ia menatap Nack yang mengalihkan pandangnya. Sepertinya rasa kesalnya masih ada.

Jinny hanya memandangi dua orang kakak-adik itu dengan teliti. Ia merasa ada sedikit ketegangan diantara mereka. Apalagi ketika Nack menampilkan wajah kesalnya.

Nack kembali ke tempat duduknya semula. Mulai mengabaikan Engfa yang mulai beranjak.
"Aku pergi dulu." Ucap Engfa berpisah. Tapi Nack tak menggubris. Melihat itu, Jinny menjawabnya cepat. "Hati-hati, kak Fa." Dengan sedikit lambaian tangan. Ia melihat Nack yang mengabaikan kakaknya. Ia merasa tidak enak melihat keduanya.

"Titip adikku padamu, Jinny." Engfa memandang Jinny sekilas, lalu ia memandang ke arah Nack yang tidak berniat melihat ke arahnya. Dengan lembut, disentuhnya kepala adik bungsunya itu dan mengusapnya. Nack terkejut. Engfa tidak pernah melakukan ini padanya, setidaknya dalam ingatannya.

New Blue GazeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang