"Aku diberitahu Nack kalau kakimu sedang sakit." Engfa tidak menghiraukan pandangan Pom untuknya. Ia tidak peduli ada atau tidak adanya pria itu. Mereka duduk di ruang utama. Mereka bertiga lebih tepatnya. Karena Meena dan Tina memilih duduk di bar di sisi lain ruangan tersebut.
Tina sibuk memeriksa sesuatu yang bisa dimakan. Mengeluarkan segalanya dengan seijin Charlotte. Sambil meletakan di depan Meena jika saja gadis itu mau.
Sedangkan Meena hanya duduk berdiam diri sambil memperhatikan apa yang bosnya sedang bicarakan dengan dua orang lainnya di depan matanya. Sambil mereka mencuri dengar.
Charlotte sangat bahagia dengan apa yang ia hadapi kini. Ia tidak setuju jika orang-orang menyebutkan bahwa bahagia itu sederhana. Tidak. Bahagianya tidak mungkin sederhana. Mari kita hitung nilainya.
Dimulai dari Engfa. Si sumber kebahagiaannya. Tentu saja Engfa sangat bernilai. Ia adalah keturunan Waraha. Keluarga kaya raya yang hampir memiliki segalanya. Ini jika Charlotte disandingkan dengan Engfa, sebenarnya Charlotte tidak ada apa-apanya.
Selanjutnya, bagaimana tidak bahagia jika mendapati anak orang kaya yang pada akhirnya berkenan datang mengunjungimu ketika sakit. Padahal tadi jelas jika Charlotte meneriakinya ditelpon dan seakan menyuruhnya untuk tidak perlu menghubunginya lagi. Eh tahu-tahu Engfa langsung hadir ke sini.
Apalagi, ini Engfa loh! Yang tidak terlalu peduli pada apapun. Charlotte merasa tersanjung luar dan dalam ketika menghitung seberapa dingin sikap Engfa namun ia tiba-tiba berubah menjadi seorang yang sangat peduli sampai ia datang ke sini hanya karena Nack mengatakan jika kaki Charlotte sakit.
Bukankah nilai kebahagiaan yang Charlotte rasakan sekarang ini jelas sangat berharga? Nilainya sangat tak terhingga. Jadi, Charlotte tidak akan setuju dengan umpama yang menyebalkan itu.
Bahagianya Charlotte adalah Engfa Waraha.
"Aku sudah mendingan." Awalnya Charlotte berpikir akan bersikap cuek pada gadis ini sampai akhir.
Tapi ia tidak bisa.
Ia bisa menjadi sangat luluh pada satu-satunya si pemilik hatinya itu. Seakan jika Engfa menjauh dari Charlotte, jantung gadis berdarah campuran Inggris ini akan berhenti berdenyut.
"Sudah ke dokter? Aku bisa pindahkan rumah sakit ke depan rumahmu jika kau sulit berjalan."
Tina menahan tawa. Sampai Meena merasa terganggu dan menghadiahkannya tatapan kesal. Jangan berisik. Tontonan di depannya terlalu menarik. Ia tidak ingin melewatkan komedi ini.
Pom berdehem. Ia ingin seseorang mengakui keberadaanya. Apalagi Engfa. Sepertinya sejak tadi gadis ini enggan menatapnya.
"Kakiku sudah membaik. Aku tidak perlu ke rumah sakit lagi." Charlotte ragu menampilkan interaksinya dengan Engfa di depan Pom. Ia takut Pom salah paham dan menyebarkan sesuatu yang tidak seharusnya disebarkan. "Ada Pom di sini yang sudah membantu." Lanjut Charlotte ingin menaikan harga diri mantan kekasihnya. Sekaligus melihat reaksi Engfa.
Engfa menarik dirinya. Sebenarnya ekspresi yang ia tampilkan itu sangat lah datar. Jika memang ia khawatir, mungkin tidak akan ada yang percaya karena wajahnya tidak terlihat demikian. Tatapannya tetap tenang dan tidak acuh. Sangat kontras dari makna khawatir dan cemas yang orang pahami.
Jadi, Charlotte pun ragu untuk menilai perasaan seperti apa yang Engfa tampilkan sekarang untuk dirinya. Apa ia benar-benar peduli? Atau hanya sekedar ingin meledeknya.
"Banyak orang yang berpikir bahwa mereka telah baik-baik saja. Tapi ternyata besoknya diamputasi."
Charlotte terperangah setelah mendengar ucapan Engfa yang sangat tidak seperti dirinya. Gadis ini kenapa? Apa memang sedang khawatir atau bagaimana? Apa ia sedang ingin bercanda? Tapi menurut Charlotte ini bukan candaan yang membuatnya harus tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Blue Gaze
FanfictionCharlotte Austin tertarik pada Engfa Waraha. Orang yang hampir dibencinya karena sebuah kesalahpahaman.