Keributan

326 37 2
                                    

Benar dugaan Aoom. Engfa hanya akan merusak pertemuan ini. Ia beradu mulut dengan Malin. Mereka memang imbang dalam dialog apapun. Bahkan ibu Tia juga tidak bisa menenangkannya.

Tia menundukan kepalanya menahan malu. Jika sudah begini, orang-orang pasti akan selalu menyalahkannya karena perangai Engfa yang seperti ini tidak pernah berubah. Sedangkan Aoom, ia hanya diam. Ia tidak akan memihak siapapun. Ia selalu bersikap netral. Ia tidak pernah mau menjadi sekutu siapapun. Baik itu kakaknya sendiri.

"Jika kau tidak bisa membuktikan kapasitas dirimu, kau belum layak berdebat denganku." Itu ucapan Malin yang membuat Engfa meradang. Gadis ini akan seenaknya bicara jika Engfa tidak memiliki posisi apa-apa di perusahaan Waraha. Itu adalah kelemahan terbesar Engfa.

Tidak peduli jika ia adalah pewaris terbesar di generasi ini, yang pasti selama Engfa tidak memiliki posisi apapun, jangankan berharap didengar, harusnya berada di pertemuan ini pun ia tidak diperbolehkan.

"Jangan samakan aku dengan pelacur sepertimu."

"EngEng!!"

Tia mendengar suara ibunya membentak dengan suara lantang. Sudah cukup rasanya ia mendengar dua orang ini meributkan sesuatu yang tidak akan pernah selesai. Tapi, membiarkan Engfa bicara seperti itu rasanya sudah sangat kelewatan.

Engfa menatap bibinya. Ia tidak suka jika kakak tertua dari ayahnya ini memandangnya begitu. Mereka semua sama saja baginya.

Engfa merebut semua lembaran dari hadapan Malin. Sejak tadi, itu yang mereka bahas tanpa keikutsertaannya. Ia merobeknya di depan semua yang hadir. Tidak masalah baginya jika harus mempertontonkan betapa lancangnya ia dalam berperilaku. Ia tidak akan peduli. Ia melempar semua sobekannya tepat ke hadapan Malin. Membuat gadis itu semakin kesal.

"Tia. Bawa dia keluar. Harusnya kau tidak perlu membawanya jika keadaan jiwanya masih belum stabil."

Mendengar itu keluar dari mulut ibunya, Tia merasa tidak tahu harus berbuat apa. Tapi demi kebaikan bersama, ia menurut. Ia bangkit dan meraih lengan Engfa untuk menuruti kemauannya. Tapi Engfa menolak.

"Ayo, Fa." Tia sedikit memohon. Ia pun tidak suka jika Engfa menjadikan dirinya tontonan di depan orang-orang besar ini. Seenggaknya, beri kesempatan bagi Tia untuk menunjukan pada semuanya bahwa Engfa masih bisa ia kendalikan.

Tapi, ini adalah Engfa Waraha.

"Jika saja dia bukan ibumu. Aku sudah mengusirnya dari keluarga ini." Engfa menepis tangan Tia. Memandang Tia menahan amarah. Sombong sekali si sulung ini mengatakan hal sekejam itu pada Tia. Biar bagaimana pun wanita tua itu adalah ibunya.

"Seperti kau mampu saja melakukannya." Malin menimpali. "Berdiri di kakimu saja kau tidak bisa." Lanjutnya.

Tia mengantisipasi gerakan Engfa selanjutnya setelah si sulung menoleh pada Malin. Takut-takut amarahnya meledak karena gadis itu selalu bisa memanas-manasinya.

"Sudahlah. Ayo! Tolong turuti aku kali ini." Tia memohon. Harapan Tia, Engfa masih harus menuruti orang-orang yang berada di sana jika memang ia masih berharap dukungan.

Meena melangkah mendekati Tia. Membantu gadis itu menarik Engfa. Sedang Aoom, ia masih berada di tempatnya. Tanpa tahu harus melakukan apa. Ia bisa mengerti amarah yang Engfa keluarkan. Orang-orang memang selalu memandangnya remeh. Apalagi tadi bibinya mengatakan sesuatu yang jujur saja itu juga melukai Aoom.

Tapi bukan berarti semua perkataan Engfa bisa dimaklumi begitu saja.

"Aku rasa pertemuan ini harus kita tunda dulu." Aoom akhirnya mengeluarkan suaranya. Ia merasa tidak enak melihat kakaknya membuat kerusuhan di sana.

New Blue GazeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang