Sebenarnya, Meena juga merasa jika banyak orang yang memandang remeh padanya. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya untuk saat ini.
"Kau tidak harus melakukan ini jika kau tidak mau." Engfa melipat kedua tangannya di depan dadanya. Kakinya bersilang.
Kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya menambah keintiman ekspresi tajam ditatapannya. Itu membuat Meena mendapat tekanan yang cukup membebaninya saat ini. Apalagi hanya mereka berdua yang berada di ruangan ini. Ruang baca utama yang sering dijadikan Engfa sebagai tempatnya.
Meena mencoba memberitahu tentang dasar hubungannya dengan Tia. Perkenalannya pada Engfa saat pertama hanya mereka lakuka sekedarnya saja. Karena Engfa tetap akan menerima apapun yang Tia berikan padanya. Maupun itu dalam bentuk barang, atau pun dalam bentuk manusia sekalipun. Namun kali ini Engfa berubah pikiran.
Ia ingin menyelidiki siapa Meena. Siapa Tia. Dan siapa Charlotte. Segalanya terlihat samar baginya sekarang. Itu membuat keadaan Engfa terpuruk. Gadis itu tidak akan menunjukan kelemahannya pada siapapun. Ia akan memikirkan segala sesuatunya sendirian. Apalagi untuk saat ini ia merasa tidak ada yang bisa ia harapkan.
"Aku harus." Meena mencari celah.
Well, Engfa mengangkat kedua alisnya. Ia meletakan kedua kakinya sejajar sebelum ia memutuskan untuk berdiri. Langkah kakinya yang menjauh dari Meena menuju ke sebuah rak botol minuman mahal membuat Meena terpaksa mengikuti dari sudut pandangnya.
"Aku akan memberikan penawaran padamu." Engfa memilih botol mana yang akan ia ambil. Ada detail yang harus ia bandingkan sebelum memutuskan mengambil salah satu dari banyaknya pilihan. "Tolong ambilkan aku gelas." Engfa memberi kode pada Meena sebelum ia kembali mendekat. "Dua." Lanjutnya mengambil tempat berbeda dari tempat pertama ia duduk.
"Aku tidak minum." Meena menolak. Ia tahu jika Engfa akan menuangkannya padanya juga. Tapi, Meena sangat menjauhi alkohol.
"Kau harus menurut. Aku ini bosmu." Lanjut Engfa. Ia menuangkan gelas yang telah Meena sediakan padanya. Tetap dua. Meski Meena sudah melakukan penolakan. "Aku tidak akan membunuhmu." Lanjutnya dengan nada serius. Ia tidak main-main dengan perkataannya. Dan Meena menelan ludahnya sebagai respon yang tak ia buat-buat.
Ini masih sangat terik. Iklim di Thailand sebenarnya tidak cocok untuk kebiasaan minum-minum seperti yang dilakukan Engfa saat ini. Tapi, menurut info yang Meena dapat, minum adalah salah satu hobi gadis ini sejak dulu.
.
Meena masih tetap memandang Engfa meski ia sudah menghabiskan lebih dari enam tuang dalam gelasnya. Sedang Meena belum mengecapnya sama sekali yang menjadi bagiannya.
Meena tidak dapat menghentikan Engfa. Gadis ini seperti sedang ingin mengalihkan sesuatu dalam pikirannya dan melarikannya ke minuman.
"Akan kuceritakan padamu sebuah fakta." Engfa menutup matanya saat ia berusaha mengecap-ngecap sisa minuman yang tertinggal di lidahnya. Meena masih tetap memperhatikan. Kurang lebih ia sambil mempelajari kepribadian Engfa yang sedikit demi sedikit. Apalagi saat ini ia sudah terlihat berbeda.
"Kau sudah mulai mabuk." Meena memperhatikan sisa minuman dalam botol. Mungkin itu sisa sekali teguk lagi. Artinya Engfa berhasil menghabiskan sebotol wine mahal hanya dalam waktu tidak lebih dari dua jam. Jujur saja, itu bisa membunuhnya.
"Apa yang kalian lakukan di sini?"
Meena menoleh saat Aoom muncul dari balik pintu. Ia melihat Engfa yang tersenyum padanya. Tidak seperti biasanya. Aoom bisa langsung tahu.
"Kak Fa. Malin mencarimu."
"Dia menghabiskan sebotol wine dalam waktu dua jam." Meena hanya sekedar memberitahu jika Aoom butuh informasi bahwa tidak mungkin Engfa bisa menemui Malin dalam keadaan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Blue Gaze
FanfictionCharlotte Austin tertarik pada Engfa Waraha. Orang yang hampir dibencinya karena sebuah kesalahpahaman.