"Kalau kau gak bisa, tinggal bilang saja. Jangan berjanji."
Malam tadi, harusnya Aoom menghadiri pertemuan penting yang diadakan oleh pihak Universitas tempat dimana Nack kuliah. Aoom sudah berjanji jauh-jauh hari pada Nack. Dan ia menyetujuinya. Tapi, sampai pada hari yang ditentukan Aoom malah membatalkan pertemuannya.
Nack merasa kesal. Sejak pagi ia sudah berada di ruangan Aoom. Jika bisa mengumpat, ia sangat ingin mengumpat di depan kakaknya ini. Padahal sudah diingatkan dari pagi. Tapi tiba-tiba saja ia membatalkannya. Setiap mengingat hal itu, Nack benar-benar kesal.
Aoom memang salah. Tiba-tiba Patcha mengatur pertemuannya dengan yang lain. Jadi ia benar-benar tidak bisa menolaknya. Apalagi memang pertemuan ini juga sama pentingnya. Tapi, jika pun ia beralasan pada Nack, mungkin tidak akan ada gunanya.
Aoom memilih diam karena ia tidak punya kata yang ingin ia ucapkan. Sebenarnnya banyak. Tapi ia yakin jika itu semua akan percuma. Melihat amarah Nack yang sedikit berbeda dari amarahnya yang sering ia lihat, sebaiknya ia diam saja.
Nack mendecak kesal. Benar-benar tidak tertahan. Pertemuan tadi malam harusnya sangat-sangat ia hormati. Berhubung ini adalah pertemuan yang terjadi sekali setahun dalam masa sekolahnya. Dan juga jika tidak bisa datang harusnya tidak masalah. Ia bisa mengatakan bahwa tidak akan ada anggota keluarganya yang akan datang. Jadi pihak kampus pun tidak perlu mempersiapkan tempat untuknya.
Ia benar-benar terlihat seperti sedang dipermalukan, duduk sendiri di antara kursi kosong di mejanya.
"Sebentar lagi kita akan pergi."
Saat sedang bersama dengan Aoom, Patcha menginterupsi kebersamaan mereka. "Kau harus bersiap-siap." Lanjutnya tanpa memandang Aoom dan Nack yang masih dalam keadaan bersitegang.
Nack semakin kesal. Sepengetahuannya, sejak gadis ini menjadi asisten pribadi Aoom, segalanya jadi terasa berbeda. Caranya memerintah dan caranya menginterupsi membuat Nack menjadi sangat tidak nyaman. Awalnya ia tidak begitu peduli selama tidak merugikannya. Tetapi saat ini, karena amarahnya sedang tinggi, ia merasa kehadiran Patcha jadi semakin menyebalkan.
Nack bertindak seperti tidak menyadari kehadiran Patcha yang menunggu Aoom memberi respon akan ucapannya. Ia masih tetap menatap Aoom dengan kesal. Ia tidak mau tahu. Selama ini ia merasa selalu diabaikan. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing.
Aoom tidak begitu ambil pusing. Pikirnya setelah ia meminta maaf, semua masalah akan selesai. "Aku minta maaf." Ucapnya sambil bangkit berdiri seraya bergegas mengambil beberapa keperluannya diatas meja. Ia mengabaikan tatapan Nack yang seperti ingin menelannya.
Nack marah. Kesalnya benar-benar tak lagi bisa ia tahan. Selama ini ia tidak pernah menunjukan perasaannya pada kakak-kakaknya. Selama ini ia selalu merasa terasingkan. Seperti tidak punya wewenang yang sama seperti layaknya anggota keluarga Waraha yang lain. Entah kenapa, kekesalan yang telah dipendamnya selama ini, mendesak keluar seperti tak tertahan lagi.
Ia menarik dokumen yang baru saja diraih Aoom dari atas mejanya, bersiap untuk membawanya. Aoom terkejut. Apalagi ketika semua dokumen itu sudah berantakan diatas lantai karena Nack baru saja melemparnya. Seperti ingin memberi tahu pada siapapun yang melihat, bahwa ia juga punya batasan.
"Apa yang kau lakukan?" Aoom memandang Nack kesal. Lembaran-lembaran berharga itu, seperti tidak ada artinya bagi Nack. Jelas saja, Nack bahkan tidak tahu apa yang tertera di sana. Dan Nack juga tidak mau tahu.
Mereka saling menatap. Amarah Nack berapi-api. Aoom yang memandang itu juga sedang berusaha menahan amarahnya. Jika saja Nack tahu betapa beratnya hari-hari Aoom untuk lembaran-lembaran itu. Tapi Aoom yakin ia tidak akan mau tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Blue Gaze
FanfictionCharlotte Austin tertarik pada Engfa Waraha. Orang yang hampir dibencinya karena sebuah kesalahpahaman.