Meena meletakan segelas air dihadapan Aoom. Ia tidak sengaja melihat gadis itu duduk dalam kegelapan di bar di ruang makan. Menahan kepalanya yang menunduk dengan kedua tangannya. Ini sudah subuh. Meena sengaja turun untuk memeriksa sesuatu dan tidak sengaja mendapati seseorang yang ternyata Aoom; berada di sana.
"Kau masih memikirkan hal yang terjadi siang tadi?" Meena menarik kursi yang berada di sisinya. Memilih duduk berseberangan dengan Aoom. Mereka tidak pernah terlibat dalam keadaan seperti ini. Tidak sama sekali.
Hanya saja, Meena sudah menjadi saksi dari apa yang terjadi siang tadi. Dimana, Engfa berbicara begitu kejam pada adiknya sendiri.
Aoom mengangguk mengiyakan apa yang sedang Meena tanyakan. Ia tidak bermaksud menutupinya.
"Kakakmu sedang mabuk. Jangan terlalu dipikirkan." Meena ingin memberi singgungan positif siapa tahu Aoom membutuhkannya saat ini. Itulah alasan kenapa ia menjauhi alkohol. "Orang akan mengatakan sembarangan hal jika mereka sedang berada dibawah pengaruh alkohol." Lanjutnya.
"Orang mabuk mengatakan kejujuran saat mereka berbicara." Aoom meraih air yang tersedia di depannya. Meneguknya sekaligus dan meletakannya kembali sedikit agak keras ditempatnya. "Itu jelas dari hatinya."
Meena paham apa maksud Aoom. "Jadi, menurutmu kau yang bertanggung jawab atas kematian calon suaminya?"
.
Tia tiba lebih dulu untuk menemui Engfa yang terluka. Mereka sudah berhasil mengevakuasi Mark terlebih dulu. Tia tidak mau tahu apa yang terjadi pada Mark. Fokusnya sejak tadi hanya pada Engfa. Jadi ia tidak menyadari apapun yang terjadi selain, Engfa dan Engfa.
Setelah mereka berhasil mengevakuasi Engfa, dan memastikan Engfa melewati masa kritisnya, saat itulah kesempatan bagi Tia dan Aoom berbincang.
"Aku harus menyampaikan sesuatu." Aoom duduk mendekati Tia dengan lembut. Ia meraih tangan Tia yang masih dipenuhi noda darah yang mengering. Tia tidak punya waktu untuk mengurus dirinya sendiri sebelum dokter menyatakan bahwa Engfa baik-baik saja.
"Mark tidak bisa diselamatkan."
Tia menegang. Aoom bisa merasakannya karena ia masih menggenggam tangan itu untuknya. Ini adalah kabar yang tidak ingin didengarnya. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Disatu sisi ia merasa bersyukur karena Engfa masih bernyawa. Namun disisi lain, Mark tidak bisa diselamatkan. Ia harus mengatakan apa pada Engfa nanti?
"Bagaimana bisa? Mereka mengevakuasinya lebih dulu. Menanganinya lebih dulu." Tia mulai menangis. Tidak. Bukan karena kematian Mark yang membuat gadis itu menangis. Tapi karena ia tahu bahwa Engfa sangat mencintai pria itu lebih dari dirinya sendiri.
"Mereka sudah berusaha semampunya. Kematiannya dipastikan sebelum mereka mengevakuasinya. Mark tewas di tempat." Aoom memberikan penjelasan yang ia dapatkan dari pihak kedokteran.
Tapi, ada sesuatu yang Tia rasa harus ia tanyakan. Aoom memiliki kesan yang buruk pada kisah cinta dan hubungan kakaknya dengan Mark. Meski Tia takut bahwa pertanyaannya akan menyinggung, tapi Tia berhak mengetahui apa yang sedang terjadi di sini.
Tia meraih kedua pipi Aoom. Menyentuh lembut dan memandang gadis yang ia cintai itu dengan senduh. Berharap apa yang ia tanyakan akan mendapat jawaban penuh kejujuran dari gadis ini.
"Aku ingin kau jujur padaku," Tia menelan ludahnya gugup. Ia ragu, namun ia harus bertaruh. "Katakan padaku jika kau tidak melakukan sesuatu pada Mark." Tanya Tia menahan getaran ditangannya. Ia tidak bermaksud untuk menuduh gadis ini. Hanya saja, pertengkarannya dengan Engfa beberapa saat lalu membuat Tia memikirkan hal yang buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Blue Gaze
FanfictionCharlotte Austin tertarik pada Engfa Waraha. Orang yang hampir dibencinya karena sebuah kesalahpahaman.