"Meena benar. Kau harus mencobanya jika memang tidak ada pilihan lain." Sun akhirnya bicara pada Engfa setelah dia memanggilnya untuk menghadap. Engfa datang bersama Meena. Di depan Sun, Meena mendengarkan dengan baik dan yakin. Sedangkan Engfa tidak merasa butuh untuk memperhatikan.
Engfa memain-mainkan pena yang ia ambil dari meja Sun. Mengukur panjangnya. Mencari tahu diameternya. Seberapa kuat jika digigit dan seberapa tahan jika dibengkokan. Seperti ingin mengabaikan apa yang telah Sun katakan.
"Aku ingin bernyanyi. Aku tidak mau melakukan hal lain selain bernyanyi." Engfa masih enggan menatap Sun.
"Apa kau tidak menjelaskan padanya?" Sun menatap Meena karena merasa curiga akan sesuatu. Meena yang ditatap, menatap Engfa sengit. Tapi ia menutupi kedongkolannya.
"Ada juga bagian yang kau diminta untuk bernyanyi jika kau mau. Semua dijelaskan di sana. Kau saja yang tidak mau memperhatikanku." Meena tidak senang jika Sun menatapnya begitu. Engfa saja yang keras kepala dan tak mau menerima penjelasan orang lebih dulu.
Sun menarik napasnya. Ia tahu bagaimana sifat Engfa. Meena juga tidak akan ia salahkan.
"Jika kau mau, aku akan mencoba mengaturnya. Tapi untuk sebelumnya, aku ingin bicara berdua denganmu." Sun mencoba untuk tetap tenang.
Meena beranjak setelah Engfa menyuruhnya keluar. Jarang sekali Sun ingin membicarakan sesuatu padanya secara pribadi seperti ini.
"Akhir-akhir ini sebenarnya aku selalu dihubungi oleh seseorang." Sun melepas kacamatanya dan mencoba menatap Engfa yang masih terlihat enggan untuk bersikap serius.
"Penggemar beratmu?" Tanya Engfa sedikit meledek. Tapi Sun tidak mempermasalahkannya. Sun mencoba untuk tetap tenang. Cara dia menyampaikan sesuatu ke Engfa harus ia perhatikan. Ia tidak mau menambah kecemasan gadis ini. Meski saat ini ia memang harus merasa cemas. Tapi Sun tidak ingin itu terjadi berlebihan.
"Aku masih tidak yakin siapa. Tapi, aku pikir itu ada hubungannya dengan keluarga Waraha."
Engfa berhenti memainkan pena yang masih berada ditangannya. Keluarga Waraha lagi ternyata. Tapi ini bukan sesuatu yang harus Engfa remehkan. Jika Sun sudah menyinggung nama keluarganya, bisa dipastikan bahwa ini adalah hal yang sangat tak terduga.
"Langsung saja. Siapa. Kau yang paling tahu siapa keluarga Waraha yang mungkin akan menghubungimu." Engfa menjadi serius. "Atau siapa tahu itu bukan lagi bagian dari keluarga Waraha." Lanjutnya.
Sun sudah menduga jika Engfa akan berpikir siapa yang akan dia maksud. Gadis ini ternyata masih mengingatnya.
"Dugaanku, itu ada hubungannya dengan Ayahmu."
Engfa mengeraskan rahangnya. Ada hubungan masa lalu antara ia dan ayahnya yang sangat mempengaruhi dirinya saat ini. Hubungan mereka tidak pernah baik.
"Apa yang mereka katakan?" Engfa menatap Sun dengan pandangan yang serius. Penyesalan bagi Sun untuk memberitahu pada Engfa langsung muncul begitu saja. Sun tahu jika gadis ini sangat membenci ayahnya. Dan melihat tatapan penuh amarah di mata Engfa, Sun ingin menenangkannya.
"Tidak ada sesuatu yang penting-"
"Jika tidak ada sesuatu yang penting, mereka tidak akan menghubungimu." Engfa menahan nada suaranya. Tidak ada yang baik yang bisa ia ingat dari ayahnya. Semuanya sangat buruk baginya.
"Maafkan aku." Sun pada akhirnya meminta maaf.
"Siapa saja yang tahu masalah ini?" Engfa mencoba mengalah. Permintaan maaf Sun membuatnya menjadi lemah.
"Tidak ada. Hanya aku."
"Jadi apa yang mereka katakan padamu."
Sun menelan ludahnya. Ia memang tidak pernah merespon apapun dari mereka. Setelah ia mengangkat telpon, ia hanya mendengar apa maunya mereka. Dan setelah itu ia memutuskan panggilan. Mereka selalu memakai nomor yang berbeda yang setelah dihubungi tidak akan terlacak kembali. Awalnya dia memang tidak akan menganggapnya serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
New Blue Gaze
FanfictionCharlotte Austin tertarik pada Engfa Waraha. Orang yang hampir dibencinya karena sebuah kesalahpahaman.