“Luna, anakku! Ke mana saja kau? Ibu mencarimu kemana-mana! Bagaimana bisa kau menghilang tanpa jejak setelah pergi ke pusat kota dengan teman sekolahmu yang bahkan kau tak kenal dekat dengannya?” Suara seorang wanita setengah baya menyapa telinga Rhison dan Luna.
“Bagaimana wanita ini tahu kau ke pusat kota bersama Sam—maksudku, Ervin,” Setelahnya, suara Rhison ikut terdengar di pikiran Luna.
“Entahlah.”
Luna membalas ucapan Ibunya dengan sebuah pelukan serta, “Aku merindukanmu, bu. Maafkan aku, belakangan ini terjadi sesuatu yang buruk padaku, tapi untungnya Rhison datang menyelamatkanku,” ucap Luna.
Ibu Luna lantas melepas pelukannya dan menatap pemuda yang datang bersama anaknya itu dan berkata, “Dia? Menyelamatkanmu? Atau justru dia yang membawa dan menjebak dirimu untuk ikut ke dunianya?”
“Luna, bagaimana bisa kau percaya dengan mudah kepada orang asing? Bukankah selama ini kau membencinya? Kau selalu merundungnya di sekolah, bagaimana bisa dia menyelamatkanmu jika dia saja selemah itu hingga dirundung seorang gadis?” lanjut wanita itu.
“Tidak, bu! Justru aku yang sebenarnya dirundung oleh kakak kelas karena di paksa menyiksa Reno! Reno yang menyelamatkan aku dari Kakak kelas gila itu! Tolonglah bu, jangan terus mencurigai teman-temanku,” ujar Luna membela diri.
“Berarti orang yang mengajakmu ke pusat kota itu yang membawamu?” tuduh Ibu Luna lagi.
“Bu, aku kembali karena merindukanmu, tak bisakah Ibu fokus saja pada kehadiranku? Aku bisa menjaga diri dan melawan mereka semua, jangan khawatir.” Tatapan wanita itu masih tajam ke arah Rhison, meski mulai menggenggam tangan Luna dan mengajaknya masuk.
“Reno, kemarilah,” ajak Luna.
“Lunaku, menurutmu bagaimana Ibumu bisa mengetahui keseharian kau sedetil itu?” ucap Reno kembali mengajak Luna telepati.
“Ini aneh, apakah Ibu bisa menguntit tanpa keluar rumah?” sahut Luna.
“Luna, untuk apa temanmu ikut kemari? Ibu pikir dia hanya mengantarmu pulang, atau ... dia ada maksud lain?” Ibu Luna yang baru datang dari dapur menyimpan segelas air putih di hadapan Luna lalu kembali menatap Rhison penuh curiga.
“Ah, iya, sebentar lagi aku ada urusan dengannya di luar, jadi dia tak bisa langsung pulang saat ini. Tak apa, 'kan, bu? Aku janji takkan pulang larut.” Luna berusaha menahan dirinya agar tak emosi dengan kecurigaan Ibunya.
“Kau baru saja pulang, tapi kau harus keluar lagi, nak? Ibu merindukanmu dan ingin menghabiskan waktu denganmu, tapi ... sepertinya dia ingin menghabiskan semua waktu kita? Dan lagi, kau tak ingin minum?” Luna benar-benar ingin marah, wanita ini tak henti-hentinya menuduh Rhison.
“Reno dan aku telah menentukan janji ini sebelum mengantarku pulang, lagi pula waktuku untuk Ibu akan lebih banyak dibandingkan dengannya.” Luna menarik napas setelah berkata demikian, lalu hendak menarik gelas dari atas meja.
Namun, Reno lagi-lagi mengajaknya telepati, “Auranya abu-abu, aku curiga itu bukan air putih murni. Jangan di minum.” Dan akhirnya membuat Luna menarik niatnya untuk minum.
“Maaf, bu, sebelumnya aku telah mampir ke minimarket membeli minum dan camilan, jadi aku tak haus saat ini. Dan tolong jangan menuduhnya lagi, aku mengenalnya dengan baik,” ucap Luna lagi.
“Jadi, kau pikir Ibu menuduhnya? Astaga, Ibu hanya mengkhawatirkan anak Ibu sendiri, bagaimana bisa kau berpikir begitu? Apa bergaul dengannya membuatmu seperti ini?” Baiklah, ini semakin buruk. Namun, kini Luna merasa bersalah.
“Aku ... tak bermaksud begitu, Ibu terus berpikir negatif padanya dan aku ingin menghentikan Ibu, itu tidak baik, bu,” elak Luna. Dalam hatinya ia meringis kesal. Kapan obrolan ini akan berakhir?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bonjour, Prince! [Lee Know]
Fanfiction[End] Terlahir sebagai seorang anak dari Raja dan Ratu mungkin terdengar menyenangkan bagi sebagian orang. Lagipula, siapa yang tak suka terlahir di keluarga yang kaya raya, dan di istana yang megah? Ya, ada. Sang anak itu sendiri. Disaat ia memilik...