03 | Cahaya Berpendar

14 6 2
                                    

Hidup terkadang memang tak harus sesuai ekspektasi. Tak semua keinginan kita dapat terpenuhi begitu saja. Begitu pula dengan Minho. Suasana hatinya yang sedikit kacau berusaha untuk lebih sabar lagi tatkala dirinya mulai menginjakkan kaki di area sekolah.

Tapi, ya, orang-orang disekitarnya tak membiarkan hidupnya tenang begitu saja. Berusaha 'tuk semakin memancing emosi korbannya untuk melawan. Walau mereka pernah merasa lelah karena sang korban yang masih datar dan tak melawan.

Dan tak ada kata lelah dalam hidup seorang perundung yang belum dibolak-balikkan hatinya. Ada saja alasan mereka untuk meluangkan waktu merinding Minho. Seperti sekarang, saat kelasnya mendapat jam kosong.

Teman sekelasnya memberitahu pada teman perundungnya yang lain tentang keberadaan dirinya yang sedang menenangkan diri di kursi kayu panjang dibelakang sekolah, tempat kesukaannya. Dan jadilah waktu tenangnya tersita begitu saja.

Tubuhnya disirami air yang telah digunakan untuk mengepel lantai, yang membuat tubuhnya kedinginan. Belum lagi dirinya yang tak pernah lupa 'tuk jadi pengganti samsak tinju, hingga dirinya tersungkur dan tak mampu bangkit.

Hal itu yang paling sering dilakukan mereka setiap hari. Dan sepertinya sekarang sedikit berbeda, salah satu dari mereka, Renjun berulang tahun. Teman-teman nya membawa tepung dan beberapa butir telur.

Dan tentu saja untuk dilempari ke arah Minho, hingga tubuhnya serasa bau dan lengket. Namun si perundung justru tertawa-tawa disertai raut bahagia sang empu yang berulang tahun. Hingga akhirnya mereka puas, dan mulai meninggalkan Minho.

Namun semuanya tak berhenti sampai disana. Sebagai penutup dari perlakuan mereka, Ryujin, salah satu gadis yang menjadi salah satu pelaku tentu akan melontarkan kata-kata sarkas untuk memancing emosi Minho.

Selama beberapa kali ia melakukan perundungan padanya, Minho belum menunjukkan raut marah dan memberontak sedikitpun. Walaupun dari raut wajahnya terlihat tak meyakinkan bahwa lelaki itu lemah.

Namun yang selama ini ditunjukkannya justru wajah memelas meminta dibebaskan tanpa banyak melakukan perlawanan. Entah sandiwara apa yang sedang dimainkannya, Ryujin jelas tak suka. Tanpa alasan yang pasti.

“Reno Ardelino, anak dengan tingkat ekonomi keluarga terendah diantara semua siswa sekolah ini. Oh iya, bagaimana bisa tidak rendah, jika orang tuamu saja tidak ada. Kasihan sekali, hanya bermodalkan otak. Kau tau? Secerdas apapun otakmu, uang adalah segalanya, kau akan tetap kalah,” oceh Luna, dengan nama lengkap Luna Kaira Larasati

Kau hanya tak tahu keberadaan orang tuaku, dan kau bahkan tak tahu jika keluargaku adalah orang yang paling berpengaruh diantara kerajaan manapun. Batin Reno mengumpat kesal. Walaupun ia bisa mengontrol kata-katanya, tetap saja raut wajah dan netranya tak bisa berbohong untuk tidak menunjukkan raut marah.

“Ah, kau seperti patung hidup! Bicaralah, bodoh! Apa orang tuamu tunawicara sehingga hal itu menurun pada anaknya? Astaga, sungguh miris sekali hidupmu. Orang tuamu bodoh karena telah mempertahankanmu untuk lahir ke dunia.” Lagi, Luna meremehkannya lagi, dan semakin memancing emosinya dengan mengaitkan semua hal pada orang tuanya.

“Kau yang bodoh karena mencari perhatian laki-laki aneh sepertiku,” celetuk Reno dengan nada datarnya. Namun, ini kali pertama ia membalas ucapan sang lawan bicara. Setelah sekian hari ia membiarkan Luna mengoceh sendirian selama beberapa menit lamanya.

Luna tertawa pelan mendengar penuturan Reno yang seperti menahan amarah. Jelas ia bahagia karena berhasil memancingnya. Setelah ini, barulah gadis itu mencoba mengeluarkan kata-kata yang selama ini dipendamnya.

Dan gadis itu tak menghiraukan ucapan Reno, melainkan mengalihkan pembicaraannya ke arah yang membuat Reno sensitif luar biasa, “Ah, sayang sekali, kau menyayangiku hingga mengulik hal tentangku? Tapi, maaf, aku tak tertarik denganmu. Kau tau tentang negeri gaib itu, kan? Menurutmu siapa pelaku yang menyebarkannya?”

Sahutan tak langsung Luna dapatkan. Akan tetapi, melihat raut wajahnya yang mulai memerah dengan gigi bergemeletuk telah mampu membuat Luna mengulas seringaian khasnya.

Dan, baik Reno ataupun Luna. Keduanya tak menyadari jika cahaya berpendar berwarna hitam yang samar mulai menguar di sekitar tubuh Reno karena keduanya terlalu berfokus melempar tatapan amarah dan remehnya.

Tak lama kemudian, karena tak tahan dengan keheningan ini, Luna kembali berbicara, “Sepertinya dugaanku benar, jika kau salah satu warga dari Negeri aneh itu. Kau ternyata bodoh, kau terus berdiam diri sementara musuh mulai menyerang negerimu.”

“Apa pedulimu? Apa yang kulakukan pun takkan merugikan dirimu, dan mengapa kau sepeduli itu sampai mengatakan hal itu?” Luna yang semula hanya menyeringai kini menatapnya nyalang, tak terima dengan kalimat Reno.

“Kau bahkan tak lebih aneh dari kampung halamanmu itu! Dan—oh, apa ini? Sepertinya akan ada rumor baru yang akan tersebar, seorang Reno Ardelino anak aneh ternyata berasal dari negeri aneh.”

“... Negeri yang digadang-gadang menjadi tempatnya tinggal para Pangeran itu ternyata mustahil! Terlebih jika kau ternyata benar-benar berasal dari sana. Bagaimana respon para Pangeran itu? Ah, itu sungguh mengerikan.” Kalimat-kalimat panjang yang diucapkannya disertai raut wajah jijik dan benci. Jelas saja Reno tak terima, baginya Luna telah kelewat batas.

“Lantas? Kau bahkan tak mampu pergi ke negeri itu dengan tangan dan omong kosongmu itu. Kau hanya tak tau dengan negeri itu dan mencoba memancing emosiku.” Setelah menggeram marah, akhirnya Reno pergi dengan pakaian kotornya itu.

Dirinya belum juga sadar sepenuhnya dengan perkataan Luna. Reno tak menyadari jika ia bisa saja melakukan kesalahan karena tingkahnya ini. Lelaki itu lupa, bahwa ia bukan manusia biasa seperti orang-orang di sekitarnya.

ᕙ⁠(⁠⇀⁠‸⁠↼⁠‶⁠)⁠ᕗ

“Astaga, Pangeran! Bagaimana bisa kau bertindak seperti itu? Mengapa kau tak menyadari ada yang aneh dalam tubuhmu? Sudah cukup rumor tentang Negeri Mont Saint-Michel yang mulai menyebar, jangan apa yang ada didalamnya semakin tersebar, kau akan terkena masalah.”

Sepulang sekolah, cahaya berpendar itu ternyata masih menguar di sekitar sang empu tubuh. Dan tentu saja yang panik sekarang ialah pengawalnya. Jay benar-benar mengkhawatirkan Minho, tanpa sadar bahwa Ayahnya bisa saja menghukum Jay karena telah lalai terhadap tugasnya menjaga Reno.

Keduanya belum juga meninggalkan area sekolah. Jelas saja Jay takkan membiarkan orang-orang menyadari cahaya berpendar ini, “Pangeran, apa ada cara lain untuk meredupkan cahaya ini?”

“Selain dengan mengubah suasana hatiku, tak ada cara lain, Kak.” Jay mengerang kesal, panik mulai menyelimuti isi pikirannya. Sedangkan Reno yang masih dengan wajah tenangnya menelisik ke area sekitar tempatnya berdiri.

“Tunggu sebentar.”

Langkah kakinya ia arahkan ke pohon yang menjulang tinggi, mendekati sebuah objek yang menarik perhatiannya, “Hai, apa kau kelaparan? Aku punya satu sosis untukmu.” Itu kucing, salah satu hewan yang paling ia sukai.

Kucing itu hanya mengeong pelan dan menerima makanan yang diberikannya. Dan dibelakangnya, Jay hanya menatapnya. Melihat cahaya berpendar yang diam-diam pudar dan menghilang, “Oh! Kita adopsi kucing satu itu sepertinya tidak masalah.”

Ucapan Jay tentu membuat Reno terkejut sekaligus senang mendengarnya, “Sungguh? Apa kita takkan kewalahan mengurusnya dengan jadwal sekolah yang cukup padat?” tanya Reno, yang tentu saja menimbulkan keraguan dibenak Jay

“Ah, kita pikirkan saja itu nanti, lagipula kucing itu takkan kemana-mana dan pasti berharap kau kembali dan memberinya makanan lagi. Ayo, kita harus pulang sekarang,” ujar Jay. Reno hanya menghela nafas kecewa karena Jae dengan segala idenya yang jarang terealisasikan.

“Selalu saja begitu.”

ᕙ⁠(⁠⇀⁠‸⁠↼⁠‶⁠)⁠ᕗ
@

fluffyxno
Have a nice day!

Bonjour, Prince! [Lee Know]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang