Prolog

4.2K 337 11
                                    

Bulan menggantung di langit, seperti mutiara yang dikelilingi ribuan kunang-kunang. Pepohonan cemara, pinus jarum, dan waru hitam berhimpitan seperti rombongan raksasa hendak menjulurkan tangan, mencoba menguasai langit, dan memberikan kegelapan.

Aku tersungkur, menahan sesak yang menekan dada, dan berusaha bangkit. Usaha sulit, sebetulnya. Terlebih hanya mengenakan gaun tidur berbahan kasar dan bertelanjang kaki. Hujan malam lalu berhasil melembutkan tanah, membuatku berperang dengan lumpur yang membenamkan jemariku, dan mengirim gelenyar dingin di permukaan kulit.

Serangga musim panas mulai mendendangkan lagu, ditemani nyanyian burung hantu dan makhluk pengerat. Semilir angin menggoyang semak, sempat membuatku berjengit karena mengira keberadaanku berhasil diketahui oleh pengejar.

Sendirian. Tidak ada siapa pun menemani. Sekalipun putus asa, kupaksa tubuhku bangkit dan berlari secepat yang kubisa. Makin masuk ke hutan, berharap aromaku akan membaur dengan wangi tanaman perdu dan jamur. Cahaya bulan hanya mampu menerobos sela-sela pepohonan, sedikit memberiku penerangan.

Mengapa segalanya berjalan tidak sesuai dengan ekspektasi? Aku tidak menginginkan apa pun selain kesempatan menjalani hidup dengan sebaiknya. Aku tidak menganggap diriku suci tanpa dosa. Sejujurnya, tidak berani melabeli diri sebaik itu. Sebagaimana manusia, aku ingin berjuang sebaik mungkin.

Akan tetapi, hidup tidak berjalan sesuai aturan siapa pun. Napasku makin memburu, angin membelai wajahku, dan kurasakan energi dalam diriku kian menipis. Terburuk, tidak membawa perbekalan baik uang maupun perhiasan. Terlalu panik sampai tidak berpikir jernih. Yang kumau hanya kabur dan lari sejauh mungkin, meninggalkan pondok terbengkalai, dan mencari jalan keluar.

Ujung ranting menggores tangan, membuatku berdarah, saat aku berusaha makin dalam menembus lebatnya hutan. Bisa saja ada beruang, tapi binatang itu tidak semenyeramkan pemburuku.

Aku ingin hidup.

Aku mohon biarkan diriku hidup.

Doa-doa yang membaur bersama keputusasaan. Harapan yang kian mengering, meninggalkan sensasi pahit. Lalu, usahaku yang seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Tidak bisakah aku mendapatkan hak bernapas?

Pandangan mataku memburam, air mata membasahi pipi. Tenggorokkan terasa sempit, seakan ada tangan yang mencekik, membuatku makin kesulitan.

Ke mana perginya keajaiban di kala aku membutuhkannya?

Apakah keajaiban hanya diperuntukkan bagi segelintir manusia?

Kumohon berikan keajaiban. Apa pun, kumohon.

Sesuatu yang dingin menembus bahuku. Aku tidak sempat mengelak, tubuhku ambruk, membentur tanah bercampur dedaunan busuk. Udara seolah terpompa keluar dari paru-paru, membuatku sesak. Cairan berbau anyir langsung menghantam indra penciuman.

Darah.

Aku tidak berani memastikan luka yang kuterima. Jalan buntu. Tidak bisa berlari lebih jauh. Kesempatan hidupku telah lenyap dan aku harus menghadapi takdir.

“Lady Ivy.”

Gigilan dingin menjalari sekujur tubuh. Jantung berdebegup kencang, membuat diriku tegang. Kudengar suara langkah kaki. Tidak perlu menengok, sekadar mengecek, sebab beberapa pria langsung menampakkan diri di depanku. Salah satu di antara mereka memegang busur, sementara yang lain pedang. Salah satu pengejarku mengenakan pakaian paling mewah, cara berpakaian yang sebetulnya tidak cocok diasosiasikan dengan kejadian semacam ini.

“Kau tidak berencana lari dari tanggung jawab, ‘kan?”

Rambut sehitam selimut malam, mata segelap bulu burung gagak, dan paras yang begitu memikat. Dia amat berbahaya. Aku tidak memiliki kesempatan.

Susah payah kupaksakan diri, mengeluarkan kata-kata, meskipun tidak ada esok bagiku nanti. “Aku tidak bertanggung jawab atas kemalangan yang menimpa saudari tiriku, Lord.”

Mataku terasa pedih. Aku ingin menyeka, tapi tanganku mati rasa. Apakah ada racun di senjata yang mereka gunakan?

“Ada banyak orang yang iri kepadanya,” kataku berusaha membela diri. “Mengapa Anda berprasangka demikian?”

Dia menggeleng, memberiku senyum mematikan. “Lady Ivy, botol racun ditemukan di kamarmu. Apa itu artinya?”

“Ada seseorang yang ingin menjebakku.” Aku tidak tahu-menahu mengenai racun maupun siasat buruk. Sial saja kejadian itu bertepatan dengan rencanaku meninggalkan kediaman utama. “Apakah Yang Mulia tahu bahwa Anda melakukan tindakan ...” Sejenak aku berusaha mengambil napas sebab dadaku kian sesak. “... menyerang sipil.”

“Lady Ivy, semua bukti mengarah kepadamu.”

Sial. Andai aku merasuki Ivy jauh sebelum segala kejahatan yang ia lakukan terjadi, mungkin masih ada kesempatan bagiku memperbaiki keadaan. Namun, tidak. Nasi telah menjadi bubur. Segalanya telah berlangsung dan tugas menerima akhir sang tokoh jahat jatuh ke pangkuanku.

Aku menunduk, mengalihkan pandang. Air mataku berderai, berjatuhan di atas dedaunan basah. Semenjak kapan akulah yang harus menanggung akibat perbuatan orang lain? Tidakkah ada tempat bagiku bernaung? Apa benar hanya keputusasaan yang menantiku di ujung jalan ini?

“Lady Ivy, mencoba melukai bangsawan tidak akan memberimu keringanan.”

Terlebih bila yang melukai memiliki darah jelata, pikirku. Seperti Ivy.

Ivy, sang penjahat, otak dari segala kejahatan.

Betapa ironis, akulah, orang asing, yang menuai kejahatan Ivy.

Bahu berdenyut, seiring udara yang makin sulit kuhirup. Aku berguling menyamping, memeluk diri sendiri, dan berusaha meredakan rasa sakit.

“Racun milikmu,” lanjutnya dengan nada suara sedingin es, “pada akhirnya kau pun harus mencicipinya, bukan?”

Bergulat dengan maut bukanlah pengalaman menyenangkan. Terlebih saat perutku seolah diremas, membuatku muntah. Bahkan di saat seperti ini pun keinginan menghajar pemburuku masih belum padam.

“Lord....” Kuangkat tangan kanan, memamerkan jari tengah. “Semoga kita tidak perlu bertemu lagi.”

... kegelapan menyergapku.

***
Selesai ditulis pada 3 September 2024.

***
ISEKAIIIIIIIIII! Hehehehe semoga kalian suka. HAHAHAHAHAHAHAHA! HAHAHAHAHAHA!

Dear Lady Ivy (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang