NOTE: DEAR LADY IVY EKSTRA EPISODE KHUSUS 2 SUDAH ADA DI KARYAKARSA. TERIMA KASIH.
***
“Aku pasti akan tumbuh besar,” ujarku mencoba menerangkan kepada Igor bahwa menjadi mungil selamanya itu mustahil. “Lihat,” tunjukku kepada pohon terdekat, “bahkan tanaman pun tumbuh besar. Bukti bahwa dia termasuk makhluk hidup ialah, bergerak, bertumbuh, dan-hei! Berhenti menepuk kepalaku!”
Igor memberiku senyum jenaka. Kuartikan dia jelas menikmati akses tepuk kepala ini. Siapa aku? Di mana aku? “Benar juga. Kalau tetap kecil, nanti kau mudah kena tipu.”
Kutepis tangan Igor. Lekas kurapikan rambut yang telah ditata rapi oleh Anne dengan pita cantik. “Memangnya kenapa dengan Joa? Apa kau akan pergi ke akademi? Sama seperti anak-anak lainnya?”
Dia mengangguk. “Aku akan ke akademi. Setahun lagi. Jadi, Tunangaku, kau jangan nakal.”
Aku ingin mengoreksi bahwa diriku hanya tunangan di atas kertas saja. Sayangnya kesempatan membetulkan status itu terkendala suara berisik. “Ivy, cepat panggil aku Ayah!”
Duke Joa berderap dengan langkah penuh percaya diri. Mulutku menganga. Sungguh menganga. Karena caranya berjalan, pemandangan, dan segala efek taman yang menurutku cocok untuk panggung model ini membuat mataku tersihir. Duke Joa jadi mirip model kelas atas yang tengah memamerkan rancangan dari desainer ternama.
“Panggil aku ayah, ya!” Duke Joa meraupku dan memberiku pelukan erat. “Sungguh waktu berkualitas. Kau harus tahu. Jadi, tadi aku bertemu Duke Res. Dia marah dan berusaha melukaiku, tapi si bodoh itu tidak bisa. Karena? Sebab aku kuat dan dia lemah!”
Tunggu dulu! “Paman, jelaskan satu per satu!” tuntutku sembari menarik kerah Duke Joa. “Aku tidak paham.”
“Turunkan tunanganku sebelum salah satu kakimu hancur,” ancam Igor.
Di bawah kaki Duke Joa ada sulur tanaman berduri. Tanaman itu memiliki duri-duri tebal dan runcing. Tidak ada daun. Hanya sulur berwarna hijau gelap yang bergerak seperti ular.
“Dia putri yang seharusnya jadi milikku,” sindir Duke Joa. Dengan mudah dia menginjak sulur, melenyapkannya menjadi butiran debu hijau tua. “Berkat peri tidak bisa digunakan untuk melukai keturunan Joa.”
Hobi Duke Joa tidak bagus. Dia semakin memamerkan senyum bangga seakan berhasil menaklukkan pegunungan bersalju yang dihuni monster gorila mesum yang suka menculik anak gadis.
“Paman,” aku berusaha mengalihkan fokus saling bantai, “kalau kau ingin aku jadi putrimu, itu susah. Apa kau akan menerima ibuku? Dia cantik, tapi gila.”
Begitu topik ibuku kusebut, ekspresi di wajah Duke Joa pun perlahan berubah. Dia meraih tangan Igor, yang untungnya tidak bersenjata, dan mengajak kami berjalan semakin masuk ke dalam taman.
Bunga-bunga yang tumbuh makin beraneka. Mawar biru, tupip dengan dua warna dalam satu kuntum, bungur putih, melati seukuran telapak tangan bayi, bahkan bunga matahari berwarna hitam. Kutebak bunga yang tumbuh di sini tidak terpengaruh musim maupun iklim. Tropis maupun berpadang pasir, mereka bisa hidup berdampingan.
Setelah melewati tirai wisteria ungu, kami disambut bangku kayu dan sebuah meja bulat. Benda-benda itu terbuat dari kayu.
Igor dengan patuh duduk, sekalipun dia masih cemberut. Duke Joa mendudukkanku di salah satu bangku, terpisah dari Igor, sementara dirinya berjongkok di hadapanku.
“Apa kau mau berjanji?”
Janji? Terakhir kali aku berjanji, seseorang mendorongku ke depan mulut monster. “Tergantung.”
“Paman ingin kau berjanji tidak menyalahkan siapa pun,” katanya dengan nada lembut.
Perubahan suasana yang terjadi gara-gara aku menyeret topik ibu. Tidak perlu indra keenam, aku tahu arah pembicaraan ini.
“Ibuku sudah dihukum mati, ya?” Pernyataan yang tidak perlu disangkal. “Paman, tenang saja. Tadi aku hanya bercanda terkait Paman bersedia membawa ibuku masuk ke sini. Sejujurnya, tidak ada ekspektasi apa pun. Aku tidak akan mengutuk algojo yang bertugas. Semuanya telah terjadi, tidak ada yang perlu kusesali.” Kecuali satu, mati berkali-kali gara-gara Res. Sampai ujung dunia pun takkan rela.
“Kau tidak ingin tahu pembunuh ibumu?”
Sontak keningku pun bertaut. Kupikir Belinda tewas karena hukuman. Namun, ini.... “Dia dibunuh?”
“Kau tidak perlu tahu siapa pembunuhnya,” Duke Joa berusaha menenangkan padahal tidak perlu. Aku tenang. “Sekarang yang terpenting kau aman di sini.”
“Ivy, ada aku.” Igor mengajukan diri. “Begitu lulus dari akademi, kita bisa menggelar pesta pernikahan.”
“Dia akan ikut denganku liburan ke pulau tropis,” Duke Joa menyela. “Kau selesaikan urusan duke dan aku akan dengan senang hati menyerahkan tugas berat itu kepadamu.”
Mereka berdua mulai bertengkar. Aku memilih menatap bunga-bunga unik yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Sungguh aneh. Kupikir mendengar kematian Belinda akan membuatku sangat senang. Namun, yang kurasakan hanya ... tidak ada apa pun. Kosong.
Emosi ini milikku atau milik Ivy?
Apakah Ivy pernah berharap Belinda sungguh mampu mencintainya sebagaimana seorang ibu?
***
Madam Nana memuji esai yang kutulis. Dia bahkan berencana menyertakannya dalam sesuatu yang sangat tidak ingin kuikuti. Sekalipun lawannya anak seumuranku, iya sekitar enam hingga delapan tahun, tapi itu tidak benar. Secara mental aku dewasa, jelas ini seperti mengambil permen dari anak bayi.
“Kenapa?” Madam Nana tampak kecewa. “Raja suka membaca tulisan anak-anak. Mungkin dia akan tertarik memberimu penghargaan.”
Padahal aku hanya menulis mengenai kemungkinan rakyat jelata diberi kewenangan belajar hal-hal yang hanya didapatkan bangsawan. Istilahnya, memberi pendidikan bermutu agar kelak rakyat bisa mandiri dan menyokong pemerintahan melalui pembayaran pajak selain dari hasil tanah dan sebagainya.
Bila rakyat mendapat akses pembelajaran secara terjangkau, mereka akan menjadi akses dalam memajukan pemerintahan. Bayangkan saja perdagangan, literasi, bahkan pertahanan. Pasti keren dan luar biasa!
Itu saja yang kutulis setelah menyelesaikan esai terkait keluarga kerajaan. Khusus keluarga kerajaan, kutulis kritik. Pemimpin haruslah orang yang tidak mengutamakan otot daripada nalar. Ini murni trauma di kematian pertama sebagai Ivy. Aku tidak mau pangeran kedua yang jadi pemimpin! Dia gila!
“Tulisanku,” kataku mencari jalan keluar, “biasa saja.”
“Jangan begitu!” Madam Nana memberiku perengutan menggemaskan. “Sekarang Nona Manis hanya perlu belajar dan biarkan Madam yang menyelesaikan segalanya.”
Aku tidak suka ide Madam Nana.
Tidak suka.
Seperti yang kucemaskan, Raja Enua memberiku undangan. Oke, bukan untukku. Undangan tersebut dialamatkan kepada Duke Joa, tetapi di dalamnya ada catatan penting yang mengharuskanku ikut ke istana.
Rasanya aku ingin memiliki kekuatan berubah wujud. Kucing? Dengan begitu aku bisa berjemur di bawah sinar matahari, hanya perlu meong-meong, dan tidak harus memikirkan pajak.
“Dia....” Duke Joa meremas undangan dengan erat dan kuat. “Beraninya dia....”
“Duke,” ajudan Duke Joa memperingatkan, “ada anak kecil.”
“Ada banyak orang yang mengincar putriku!”
Aku menyerah mengoreksi Duke Joa. Biarkan saja dia menyebutku sebagai putrinya. Asal dia senang, dunia aman dan damai.
“Tidak ada yang boleh menyentuh putriku!”
“Dukeeeee!”
***
Duke Joa: “Beraninya ada lalat yang menempel di kulit putriku!”
Duke Res: “Dia anakku! Kau menculiknya!”***
Selesai ditulis pada 20 September 2024.***
:”( Tenggorokkan masih sedikit sakit. Sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy (Tamat)
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...