22

1.4K 282 4
                                    

Setahun berlalu, Igor akhirnya berangkat ke akademi. Semua anak bangsawan bisa mengenyam pendidikan bergengsi di akademi pilihan.

Tentu saja sekolah yang kumaksud bukan tipikal tempat yang tidak memiliki akomodasi dalam pembelajaran. Berani sumpah, semua pengajar yang ada di akademi, bahkan yang biasa pun, mendapat gaji amat wangi. Tidak ada pengajar yang perlu membanting tulang demi membayar sejumlah pengeluaran tambahan.

Enua sangat menghargai cendekiawan. Aku belum pernah mendengar pengajar maupun peneliti ataupun seniman yang miskin. Setidaknya mereka bisa memenuhi kebutuhan primer, kesehatan terjamin, ada jaminan masa tua, dan itu belum termasuk sejumlah keuntungan. Haha beda sekali dengan negara asalku, ya.

Terus terang aku sedikit kangen Igor. Biasanya aku akan mencari dirinya untuk beberapa hal. Semisal, peri. Sekarang aku hanya bisa mengandalkan Duke Joa saja. Dia lebih sering menghabiskan waktu bekerja! Ke mana perginya duke santai yang bisa mengejar lady itu? Apa novel yang kubaca tidak ada benarnya, sih?

Oh lupakan. Kembali ke topik mengenai diriku sendiri. Aku sibuk. Sangat sibuk. Madam Nana hobi mengajakku berkecimpung ke politik. Oke, berlebihan. Dia suka memberiku topik mengenai sesuatu. Contoh, cara menyebarkan kebiasaan baca di kalangan bawah.

Kebiasaan membaca itu tidak bisa dipaksakan. Menurutku cara terbaik menularkan hobi ialah, dengan memberi contoh secara langsung.

“Maksudmu, kau ingin drama bisa ditonton siapa pun?”

Aku mengangguk. “Madam, tidak semua orang bisa mendapat hiburan. Mengapa tidak memberi suntikan dana ke pegiat seni? Nanti, buat saja novel berdasar drama. Oh tema. Jangan terlalu muluk dan sulit dipahami masyarakat. Mereka sudah kenyang memikirkan cara bertahan hidup. Beri sesuatu yang sifatnya menghibur.”

Pengalaman pribadi. Aku capek diserang kapitalis. Ya mana bisa aku harus baca filsafat ini dan itu. Mauku hiburan!

“Setelah itu,” lanjutku, “coba ke seni yang biasa disentuh rakyat jelata. Buat sesuatu yang berhubungan dengan mereka. Atau, Raja Iza bisa membuat bantuan bagi rakyat yang ingin terjun ke dunia seni. Anggap ini sebagai investasi jangka panjang. Negeri yang tidak memiliki budaya, pastilah akan seperti manusia tanpa jiwa.”

Begitulah. Dengan kata lain, aku menambah pekerjaanku sendiri.

Padahal Penyihir Dorga mulai gemar menambah tugasku! Percobaan membuat jamu, berlanjut ke membuat ramuan lain. Tidak ada jampi. Murni campur-menyampur.

Itulah kegiatanku selama empat tahun. Belajar, belajar, dan belajar. Kadang bermain, kadang membalas surat Igor, kadang melamun, dan lebih seringnya memikirkan alasanku kena kutuk hidup mati hidup mati hidup mati. Sialan! Aku bukan tokoh di Dragon’s Dogma! Mengapa rasanya begini, sih?

***

Usia sepuluh tahun. Tinggi badanku biasa saja. Aku curiga ada sesuatu yang kukorbankan secara tidak sukarela terkait siklus mati hidup mati hidup mati lagi.

Akan tetapi, aku tidak sempat berpikir jauh karena tugas. Kini aku sering mampir ke menara. Asyik kalau sekadar liburan. Sayang bukan. Di sana aku belajar memperdalam ilmu meracik jamu. Apa itu ramuan cinta? Mana adegan merapal jampi? Nol besar. Penyihir Dorga tidak memberiku ilmu ala penyihir seksi dalam imajinasiku!

Belinda? Mana aku tahu. Dia tidak mengajariku apa pun selain mempersiapkan diri sebagai asisten rumah tangga. Hahaha tanpa upah. Cuma makan ala kadarnya.

“Berhasil membuat ramuan penurun panas.”

Pujian Penyihir Dorga mengalihkanku dari lamunan. Sadarlah aku! Diriku tengah berada di laboratorium mencurigakan. Dulu kuanggap sarang pembuat obat terlarang, sekarang pun masih begitu. Tidak berubah.

Dear Lady Ivy (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang