Pondok yang kutempati bersama Belinda, ibu kandung Ivy, terletak di bawah kaki bukit. Beberapa meter dari pondok, terdapat bangunan yang juga dihuni oleh beberapa keluarga.
Setiap pagi aku harus menengok kandang ayam, mengambil telur, dan membersihkan kandang. Itu belum termasuk pekerjaan lain seperti merawat tomat, mencabuti rumput, mengepel, mencuci, dan memasak! Dengan kata lain, aku asisten rumah tangga. Minus, tidak dapat gaji, jaminan sosial, cuti, dan diperlakukan kasar oleh Belinda.
Apa yang Belinda lakukan?
Aku tidak tahu. Dia menghilang, kembali saat matahari berada tepat di atas kepala, lalu keluar lagi ketika matahari terbenam.
Jangan harap kasih sayang seorang ibu. Dia dengan senang hati menamparku hanya karena suasana hati tidak bagus. Lengkap dengan caci dan maki. Aku pernah dengar bahwa binatang tidak menyerang anak kandungnya kecuali anaknya diperkirakan tidak bisa bertahan hidup. Masalahnya, apa Belinda menganggapku tidak bisa bertahan hidup? Makanya, dia berusaha membunuhku secara perlahan.
Mohon maaf. Aku tamat latihan menjalani hidup berulang hanya untuk mati berkali-kali. Jangan-jangan sebentar lagi aku akan tewas!
Seperti saat ini.
“Apa kau tidak bisa mengerjakan sesuatu dengan benar?” teriaknya sembari mendaratkan sebuah tamparan di pipi kananku. “Aku melahirkanmu bukan untuk membuatmu jadi seorang pemalas tidak berguna!”
Dia mengcengkeram erat bahuku, mengguncang tubuhku, dan memberiku tatapan tajam. “Kau tidak mirip denganku!”
Itu karena aku mewarisi sebagian besar genetik Duke Res. Terutama, rambut. Warna rambutku pirang. Namun, bukan pirang berkilau bagai emas. Lebih tepatnya, pirang pudar yang akan mengingatkanmu pada batang padi mengering.
“Ivy, berapa kali Ibu peringatkan agar mengerjakan segalanya dengan benar?!”
Sekarang tubuhku didorong hingga jatuh. Dia mengambil sapu, menggunakannya sebagai tongkat pemukul. Iya, aku yang kena pukulannya. Sudah biasa. Meski begitu, bukan berarti tidak sakit!
“Tidak berguna!”
Lekas aku menggerlung, berusaha melindungi perut dan dada. Gagang sapu menghantam bahu dan punggung. Berkali-kali. Tidak ada ruang melarikan diri.
Bila aku menangis maupun berteriak, dia akan semakin liar dan membuatku babak belur. Bahkan tetangga pun tidak banyak menolong karena mereka setiap siang tidak ada di rumah. Rata-rata bekerja sebagai buruh di ladang. Sial! Tidak ada orang dewasa yang bisa kumintai bantuan!
Saat kemarahan telah surut, dia pun membuang sapu dan berkacak pinggang.
“Ibu ingin kau belajar menjadi orang berguna.”
Setelah itu dia meraih kantong berisi rempah (mungkin) dan melenggang keluar, meninggalkanku meringis kesakitan.
Aku duduk, meraba bahu dan pinggang. Lebam. Parah! Usiaku kurang lebih enam tahun. Orang bisa saja salah mengira diriku balita lima tahun ... eh rentang usianya tidak jauh, sih. Cuma lihat saja. Kering. Kerontang. Kurang makan!
Semua masakan yang kuolah ditandaskan oleh Belinda. Dia bahkan hanya memberiku sisa yang kukorek dari periuk maupun panci. Maka dari itu, aku meluangkan waktu mencuri tomat maupun menyembunyikan telur. Biasanya akan kumakan di saat dia tidak di rumah.
Tinggal setahun, Belinda akan membawaku kepada Duke Res dan meminta pertanggungjawaban.
Tentu saja itu tidak akan kubiarkan berjalan mulus. Persetan dengan keluarga Duke! Kekayaan hanya bisa kunikmati kala nyawa masih melekat di raga. Sudah kubuktikan berkali-kali bahwa kesempatan hidupku di sana nol besar.
Untung aku pun telah menyembunyikan muslihat dengan rapat. Akan kumanfaatkan kesempatan emas dengan baik!
***
“Ini tidak seperti yang sedang kupikirkan, bukan?”
Xar. Dia seorang juru tulis yang bekerja di salah satu kantor milik kerajaan. Anggap saja, PNS. Kami berdua sedang bertatapan. Dia berada di luar kereta, sementara aku menyambutnya di dalam. Pasang senyum manis, lambaikan tangan, dan berharap bisa meniru pesona seekor kucing.
“Ivy, apa kau kabur dari ibumu?”
Dahi Xar berkerut. Padahal wajahnya manis. Dia mirip orang Irlandia. Berambut merah, mata hijau, wajah dihias titik-titik imut. Sebagaimana semua juru tulis, tubuh Xar tidak besar ala pejuang Gladiator. Kurus dan semoga dia makan tepat waktu.
“Aku ingin pergi,” ucapku sambil menarik bagian atas pakaianku. Cukup bagi Xar melihat bahu dan pinggangku. Ada lebam besar di sana. Luka yang cukup mengerikan hingga membuar mata Xar bergetar dan kerutan di dahi pun hilang. “Kau harus membawaku ke kota bersamamu.”
“Apa dia selalu memukulmu?”
Kekurangan Xar. Dia tidak mengikuti perkembangan berita yang terjadi di desa kelahirannya. Pulang kampung pun sekadar menengok kerabat, menemui anak-anak dan memberi mereka jajan, kemudian kembali ke kota untuk menjalani rutinitas budak korporat.
“Mau menolong atau tidak?” Kukembalikan pakaianku agar tidak mengekspos kulit. Takut masuk angin. Lagi pula, susah mengerok diri sendiri apalagi kulitku lebam begini. “Aku tidak keberatan mendapat satu dua pertolongan.”
“Akan kulaporkan!”
“Tunggu!” sergahku.
Aku tidak tahu kekuatan Belinda. Apa dia hanya sekadar mengusik orang melalui medium ramuan atau sampai ke tahap seperti tiga penyihir yang menemui Macbeth. Tindakan gegabah tidak akan membawa kemenangan.
“Kau ingin membela ibumu?” Xar mencengkeram pintu kereta, sepertinya tertarik mencoba debus. “Setelah dia membuatmu seperti ini?”
Kugelengkan kepala sembari berdecak. “Lupakan. Aku ingin selamat. Lagi pula, sebagian warga tahu bahwa ada seorang anak kecil kurang gizi yang mendapat kekerasan. Namun, apa? Mereka tahu pun tidak banyak membantu.”
Ketika Xar hendak mendebatku, lekas kutambahkan. “Tolong bawa aku ke kota. Aku hanya butuh bantuanmu mengantarku ke kantor pengaduan. Kau sebagai saksi dan biarkan pihak berwenang yang mengurus sisanya.”
Xar mengembuskan napas. Lama-lama dia mirip kerbau. “Lalu?”
“Mereka akan membawaku ke panti,” aku menjelaskan. “Di sana akan ada teman, makanan, air bersih, pakaian, dan kesempatan memperoleh pendidikan. Aku tahu, Xar. Kau sangat berjasa dalam hidupku. Hanya kaulah satu-satunya orang dewasa yang bersedia kumintai tolong mengajariku baca dan tulis.”
Aku tidak mendapatkan privelese para penerima isekai. Untung bahasa yang mereka gunakan ialah, Indonesia. Bukan bahasa asing. Namun, ada kekurangan! Sekalipun menggunakan bahasa Indonesia, tetapi huruf dan angka yang dunia ini gunakan sama sekali berbeda! Tidak mirip dengan duniaku!
Bayangkan diriku sebagai Lady Ivy yang tuna aksara! Tidak terhitung upayaku kabur dari masalah yang menyangkut aksara.
“Aku akan memastikanmu tiba dengan selamat bersamaku,” janjinya kepadaku. “Apa kau siap?”
Kuangkat kedua tangan, bangkit, dan lompat ke pelukan Xar. “Kau baik! Baik! Semoga di masa depan gajimu naik, ya?”
Xar mendengkus. Meski begitu, dia tidak mendorong maupun menolakku. Hanya sesekali mengomentari diriku terlalu kurus dan perlu banyak makan.
Hehe dia tidak tahu saja bahwa aku memang berencana memperbaiki gizi. Begitu sudah bisa masuk ke panti, menjauh dari lingkaran plot, maka kebahagiaan dan ketenteraman akan menjadi milikku seutuhnya.
Tolong biarkan aku hidup normal.
Kumohon!
***
Selesai ditulis pada 6 September 2024.***
Halooooooo!Terima kasih telah meluangkan waktu menengok Ivy! Hihihihi! Saya sangat senaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang!
Salam cinta dan kasih sayang untuk kalian semua. Jangan lupa minum air putih secukupnya agar terhindar dari dehidrasi.
Looooove!
P.S: Perut saya sudah normal. Hati-hati saat pilih makanan apalagi bagi yang perutnya sensitif. :”(
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy (Tamat)
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...