“Cara bicaramu tidak mirip anak kecil,” Duke Res mengeluh.
Karena aku memang bukan anak kecil!
“Paman, pernah tidak makan selama tiga malam berturut-turut?” tanyaku sembari bersidekap. “Memangnya ada anak-anak yang bisa bicara manis bagai gula setelah menjalani hidup demikian?”
Satu, aku ingin menyalahkan Duke Res atas semua kesialan yang menimpaku! Dimulai dari membuatnya merasa bersalah dengan cara menuturkan kisah tragis ala reality show kejar tayang.
Dua, Duke Res pasti terbiasa diperlakukan bagai pahlawan oleh anak-anaknya. Maklum. Gejala orang dengan tingkat narsis berlebihan. Sekali-kali kusuapi fakta bahwa tidak semua anak kecil hidup dalam gelembung peri. Contohnya, aku!
Lekas kubusungkan dada ala ayam jago hendak berkelahi dan menunjuk pintu.
“Kau ingin aku pergi?”
Ujung bibir Duke Res melengkung, membentuk senyum sempurna seolah keinginanku amat imut dan menggemaskan. Mendiang istrinya Duke Res pastilah wanita dengan stok kesabaran seluas samudra. Sekarang saja aku ingin meloncat dan menggigit kepala Duke Res!
“Duke!”
Teriakan si ajudan kalah cepat dengan seranganku. Aku telanjur mengikuti hasrat baku hantam. Persis simpanse, aku melebarkan kedua tangan dan melompat secepat kilat mengincar Duke Res. Kubenamkan kedua tangan di rambut Duke Res dan berteriak lantang, “Aaaaa aku benci kalian! Biang onar! Beban hidup! Tidak bisakah pergi dan tinggalkan aku?!”
Si ajudan berusaha menarikku menjauh dari mangsaku. Namun, percuma. Jangan remehkan dua hal. Genggaman bayi dan amukan anak kecil!
Sekuat tenaga kupertahankan diri sekalipun kepala sakit dan pusing bukan main. Aku memilih menarik rambut Duke Res, mengabaikan erangan bercampur suara tawa yang sungguh aneh diperlihatkan oleh musuhku. Kakiku menendang, tangan menarik-narik rambut seolah itu sama saja dengan rumput liar, dan meraungkan lolongan primata.
“Nona Manis,” si ajudan memohon, “tidak baik menyerang orangtuamu!”
“Dia bukan ayahku!” raungku kali ini sambil menangis. Kedua mataku terasa panas dan sesuatu dalam dada begitu sesak dan butuh kuluapkan dalam bentuk apa pun. “Kau tidak tahu rasanya membersihkan rumah, mencuci baju, merawat kebun, mengurus ayam, dan tidak boleh makan hanya karena memecahkan piring! Jangan berani mengaku sebagai orangtuaku! Aku muak!”
Tangisku makin menjadi seiring setiap tendangan dan tarikan yang kulakukan. Tenggorokkanku sakit dan suaraku pun jadi parau. Meski begitu, aku tetap tidak menyerah. Lagi pula, tidak ada bedanya. Esok bisa saja aku tewas gara-gara Duke Res. Jadi, sekalian saja kusiksa dia!
“Apa yang kalian lakukan-astaga!”
Erica akhirnya datang. Di salah satu tangannya ada mangkuk yang kuduga berisi puding. Ekspresi yang ia tampilkan tidak bisa kudeskripsikan dengan apa pun. Pasi?
Sontak monster yang berhasil menguasai diriku perlahan undur diri, kabur, dan kembali bersembunyi di suatu sudut dalam hatiku. Dia akan muncul kembali saat kubutuhkan. Bagus!
Cengkeraman tanganku mengendur. Si ajudan berhasil menarikku menjauh dari Duke Res. Aku terisak-isak, bercucuran air mata, dan pasti saat itu wajahku merah padam.
Setidaknya kondisiku jauh lebih oke daripada Duke Res. Dia definisi seseorang yang baru saja selamat dari amukan monyet. Rambut berantakan, pakaian kusut, dan sedikit ada bekas ingus menempel di pelipisnya. Oh ingusku. Ingus yang juga masih menggantung di hidungku.
Erica meletakkan mangkuk di meja dan merebutku dari si ajudan. Dia bahkan sempat memberi tatapan tajam kepada mereka.
“Kau tidak akan menjualku kepada mereka, bukan?” tanyaku sembari menyedot ingus agar tidak mengotori pakaian Erica. “Aku tidak mau!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy (Tamat)
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...