“Aku penasaran,” tutur Ray seraya memberiku senyuman mematikan, “bagaimana bila kau melihat Saint Nasha, Igor, mati di depanmu?”
Kupikir Ray hendak memberi perintah kepada para naga agar menyerang Igor secara serempak, tapi tidak.... Jauh lebih buruk daripada diserang segerombolan naga. Ray memerintahkan seekor naga, naga paling beringas dan galak, mengincar Igor. Naga itu memiliki sisik berduri berwarna kuning gelap. Ujung ekornya begitu runcing, persis sengat tawon, dan kutebak itu bukan sekadar hiasan belaka.
“Bersenang-senanglah,” ujar Ray dengan tawa memuakkan.
Naga tersebut langsung mengamini perintah Ray. Dia maju, hendak menyerang, tapi terhalang oleh sekumpulan pohon yang tumbuh subur. Pohon menerjang, mendorong naga tersebut mundur sejauh mungkin, sebelum kemudian tanaman lain yang wujudnya mirip cambuk berduri membelit leher sang naga.
“Naga tidak bisa diremukkan?” sindir Igor yang kali ini melawan mati-matian. “Tidak ada keabadian selain milik dewa dan dewi, bukan?”
Sulur tanaman mengular, mengincar rahang naga. Pemandangan brutal dan liar tersaji di hadapanku. Naga tersebut berusaha membebaskan diri, tapi Igor tidak mengizinkan. Rahang, kedua rahang bagian atas dan bawah, dicengkeram erat oleh sulur. Aku meringis kala menyaksikan rahang sang naga terkoyak, yang sobekannya sampai leher, dan memuntahkan darah kental berwarna gelap. Naga itu terkapar, tubuh menggelinjang, lantas mati.
Ray tidak senang dengan kekalahan yang ia terima. Dia menatap Igor, begitu sengit, seolah hendak membakar seluruh tubuh biar menjadi onggokan abu.
Aku lekas memosisikan diri di hadapan Igor. Memang diriku tidak memiliki kekuatan sehebat Duke Joa ataupun keahilan berpedang sebaik Duke Res, tetapi aku tahu bahwa Ray hanya mengincarku. Jadi, mungkin masih ada kesempatan menemukan titik kelemahan lawanku.
“Kenapa kau bertindak sejauh ini?” Kutatap lekat sosok Ray. Api, asap, keputusasaan. Di mana pun mata memandang hanya ada kesia-siaan. “Kita seharusnya tidak saling menyakiti seperti ini, bukan?”
“Renula,” Ray mengulang, “Lady Renula, kaupikir sekadar penolakan saja yang membuatku marah? Aku tidak suka dengan keputusanmu. Apa yang manusia itu berikan kepadamu? Tidak ada. Sebanyak apa pun pertolongan yang kauperbuat demi mereka, demi rajamu, tidak pernah cukup. Apa kau tidak ingat pengorbanan yang kaulakukan demi menyelamatkan putri mahkota kala itu?”
“Tidak,” jawabku, getir, “aku tidak ingat apa pun selain kenyataan bahwa kau pernah membunuhku. Dengan racun,” jelasku. “Kau membunuhku, Pangeran Ray. Apa sekarang kau ingin membunuhku sama seperti kehidupanku yang lalu?”
Ray menyugar rambutnya. Kegilaan bisa membuat seseorang begitu liar dan mematikan. “Oh tentu saja,” ujarnya. “Aku ingat. Membunuhmu sama sekali tidak bisa memadamkan kemarahan dalam diriku. Melihatmu sekarat tidak bisa membuatku senang.”
Igor berusaha menusuk Ray menggunakan ranting, tapi naga yang berada di dekat Ray pun membakar ranting tersebut sebelum sempat menyentuh majikannya.
“Sungguh menjengkelkan,” kata Ray, “hanya aku seorang yang ingat betapa kurang ajar dirimu, Renula! Kau tidak mau menerimaku, tapi tidak keberatan menghabiskan waktumu bersama seorang pendeta. Dia bahkan tidak bisa membalas perasaanmu ... konyol.”
“Aku tidak ingat apa pun mengenai Lady Renula dan Saint Nasha,” balasku, kesal. “Ini tidak adil! Asal kau tahu, aku terjebak siklus kematian dan kelahiran. Berulang kali mati. Berulang kali hidup. Dalam raga yang sama. Waktu berbeda. Lalu, mati. Hanya aku seorang yang ingat betapa sintingnya dirimu, Pangeran Ray, membunuhku!”
“Pasti menyenangkan bisa membunuhmu berkali-kali,” ujar Ray. Kedua matanya berkilat oleh kegilaan dan kesintingan. Aku yakin tidak ada satu orang pun sudi berhadapan dengan dirinya! “Melingkarkan jemariku di lehermu, menekan tenggorokkanmu, dan memastikan orang terakhir yang kaulihat di saat napasmu berhenti adalah aku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lady Ivy (Tamat)
FantasyHidup seperti kemalangan tiada akhir. Siang dan malam memberiku kegilaan tak tertangguhkan. Sungguhkah bertahan hidup harus mengorbankan sedikit demi sedikit jiwa? Maka sudah pasti jiwa milikku tinggal setetes dan tidak terselamatkan. Orang mengira...