1

1.9K 312 4
                                    

Apa kesalahanku? Sekian cara kutempuh, mulai dari mendekati tokoh penting, berbuat baik agar semua orang berhenti melabeliku lady keji, dan meninggalkan kediaman utama. Namun, semua usaha mengantarku ke bawah naungan kematian. Mati karena kesalahan diri sendiri yang tidak memperkirakan celah dalam siasat, tewas di tangan orang lain, maupun dikorbankan oleh tokoh penting.

Kematian demi kematian membelaiku, lalu kehidupan menyeretku ke permukaan—membuatku terjerat pertikaian lain. Aku tidak ingin menyerah. Sungguh. Sayang aku tidak mempertimbangkan bahwa menjalani kehidupan, yang sama dengan cerita berbeda, bisa sangat menguras jiwa.

Aku berusaha memperbaiki hubungan dengan Lilia, tokoh utama perempuan, dan mencuci reputasi agar bersih sehingga tidak membuat siapa pun merasa terancam ketika berdekatan denganku. Seperti hari ini. Aku rela menemani Lilia, saudari tiri Ivy, ke perburuan yang diselenggarakan kerajaan.

Bodoh sekali diriku. Naif. Sebesar apa pun usahaku menjadi orang baik, tidak ada guna sama sekali. Aku terjebak di tengah kekacauan, bagian kiri tubuhku sakit karena jatuh dan membentur tumpukan senjata, dan monster-monster berkeliaran memburu manusia.

Teriakan, tangisan, dan erangan. Darah merah bercampur dengan darah monster yang berwarna ungu gelap. Para monster tidak peduli dengan pedang maupun tombak yang teracung di hadapan mereka. Sebab satu-satunya yang ada dalam diri para monster hanyalah memburu.

Lilia telah dibawa pergi, menjauh dari bahaya, oleh seorang kesatria yang kutebak merupakan salah satu pemujanya. Tinggal aku sendiri, tidak berdaya.

“Terkutuk!” teriakku kepada satu titik, tempat Lilia awalnya berada.

Kuraih tombak yang tergeletak tidak jauh dariku. Tanganku licin karena keringat dan darah. Susah payah berusaha bangkit, menahan nyeri yang terasa semakin menekan perut dan bahu.

Kematian pertamaku amat mengerikan. Racun memaksa fungsi organ tubuh berhenti. Dimulai dari paru-paru, jantung, kemudian seluruh organ. Kuanggap kematian itu karena sial belaka, sebab aku menempati tubuh Ivy setelah dia berbuat kriminal. Namun, kali berikutnya dengan kesempatan berbeda....

Hasilnya tetap sama saja.

Seekor monster sebesar anjing berusaha menyerangku. Aku menghindar dan membenamkan tombak ke sisi kanan lawanku. Monster itu mengaing saat aku mencabut tombak. Darah tertumpah, makhluk itu meregang nyawa.

Jalan keluar dari area hutan telah dikuasai api dan monster. Bisa dipastikan orang-orang yang terjebak bersamaku akan tewas. Jumlah kesatria maupun orang yang bisa membela diri hanya tinggal segelintir saja. Ada beberapa monster yang memilih melahap mayat manusia, mengabaikan manusia yang hidup, dan membuatku mual kala mereka memisahkan satu demi satu anggota tubuh.

“Mengapa?” tanyaku kepada diri sendiri. Seekor monster, amat besar, tengah mengamatiku. Meski diriku berusaha berjuang, perkelahian melawan monster yang ukurannya lebih besar daripada diriku tidak akan memberiku kemenangan.

Sepasang mata berwarna kuning mengamatiku dengan intensitas mengerikan. Predator. Dia telah melabeliku sebagai buruan. Gigi-gigi runcing tampak mengancam, air liur menetes dan menyebarkan aroma busuk.

Kakiku terlalu sakit. Susah kugerakkan.

Tidak ada jalan keluar.

Kujatuhkan tombak, bersiap menerima akhir.

Tidak. Ini bukan akhir. Kematian akan mengantarku pada kehidupan baru sebagai Ivy, entah pada masa yang mana. Namun, ada satu hal yang sungguh kuinginkan.

“Tolong biarkan aku kembali saat belum bertemu dengan Duke Res,” ucapku bersamaan dengan cakar yang menghantam tubuhku.

Kehidupanku yang kesekian, berakhir.

Dear Lady Ivy (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang