5

1.5K 363 37
                                    

Paladin pun berduyun-duyun keluar menampakkan diri. Mereka semua terlihat gagah dalam balutan seragam resmi. Masing-masing membawa pedang, siap tempur. Namun, di antara sosok-sosok pendatang ada satu orang yang tidak kuduga muncul: Duke Res.

Dalam novel rofan, romansa fantasi, sudah pasti ada adegan papa-papa keren yang mengamuk karena putri mereka disentuh penjahat dungu. Masalahnya aku putri yang tidak dianggap oleh Duke Res. Aku pun tidak berharap diakui olehnya.

Hal paling menyebalkan. Duke Res terlihat berkilau. Seolah dia model dari sebuah majalah busana ternama. Sekali lihat pun aku tahu pasti ia mengenakan pakaian yang dipesan khusus dari perancang kenamaan ... aku terkena gegar otak. Bagaimana bisa memikirkan hal tidak penting saat nyawaku di ujung tanduk begini?

“Duke?”

Belinda mulai goyah. Cengkeraman di lenganku mulai mengendur. Sayangnya tenaga dalam diriku telanjur surut akibat hantaman, susah sekali mempertahankan diri dari orang berengsek!

Kekacauan di sekitar kami berhasil dilumpuhkan oleh para paladin. Mereka menjinakkan anjing maupun manusia yang kesurupan bubuk milik Belinda dengan tepat dan cermat. Perlahan dan pasti, Belinda mulai kehilangan taring.

“Duke,” ujar Belinda dengan suara parau, “kau tidak akan membiarkanku tertangkap, bukan? Lihatlah, aku membawa anak kita!”

“...”

F. F besar dengan tiga huruf dan satu tanda seru.

Aku tidak bisa melihat ekspresi yang dibuat Duke Res dengan jelas. Darah memburamkan pengelihatanku. Bahkan sejujurnya, kesadaranku mulai menipis.

“Ivy!”

“Lepaskan Ivy!”

Kudengar suara rekan-rekanku. Entah ada di mana. Aku tidak tahu. Lututku perih, tanganku sakit, dan sekujur tubuhku seperti baru saja dihantam badak.

“Dia putri kita,” senandung Belinda, terlalu riang dan membuatku mual. Dia memaksaku berdiri, mengarahkan kepalaku agar bisa melihat Duke Res yang ada di seberang kami. “Lihatlah. Dia putrimu. Aku melahirkan keturunanmu.”

Orang gila! Aku menggertakkan gigi, terlalu keras. Rasa-rasanya gusiku bisa saja iritasi. Kupejamkan mata, menolak melihat pria yang berkontribusi dalam beberapa kematianku.

“Aku membesarkannya,” Belinda melanjutkan, “untukmu, Duke.”

Pening melanda, kepalaku seolah diremuk oleh tangan raksasa. Aku tidak mampu mempertahankan kesadaran. Kelopak mata terasa berat.

Bila ketika aku nanti membuka mata dunia berubah, maka itu artinya aku mati.

Lagi.

***

Aku tidak mati. Untungnya. Namun, itu bukan kabar baik. Sebab sekarang aku terjebak di salah satu kamar yang disediakan kuil.

Bagaimana bisa aku tahu?

Mudah saja.

Saat aku sadar, Erica langsung menyambutku dengan senyum prihatin dan ucapan penenang. “Semua baik-baik saja. Tidak ada yang perlu kau cemaskan, Nak.” Dusta. Orang dewasa hobi membohongi anak-anak hanya karena mereka pikir itulah yang terbaik. Padahal sekali lihat pun aku tahu semua tidak baik-baik saja.

Jangan remehkan pejuang hidup!

Kepalaku sakit. Pendeta yang memiliki bakat penyembuh tidak bisa menggunakan kemampuan mereka sesuka hati. Hanya keluarga kerajaan, bangsawan, kesatria, dan paladin sajalah yang diperbolehkan menerima perawatan khusus. Sisanya? Obat. Oke, beri aku puyer.

Kembali ke alasanku bisa tahu diriku tidak mati lagi. Tubuhku masih mungil, penyok di kepala masih ada, Erica juga tidak mau mengabariku mengenai apa pun selain bahwa ibuku sudah diamankan dan kini berada di penjara.

Dear Lady Ivy (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang